Transformasi Agrobisnis Indonesia dalam Agenda Presidensi G20
Presidensi Indonesia di G20 perlu diarahkan untuk secara strategis merespons konstelasi geopolitik agrobisnis dalam hubungan utara-selatan maupun selatan-selatan.
Oleh
MAHARANI HAPSARI
·5 menit baca
Presidensi Indonesia di G20 memunculkan peluang dan tantangan optimalisasi peran pemerintah, publik, dan swasta dalam merespons titik-titik kerentanan ekonomi agrobisnis global ke depan. Sebagai catatan, tiga agenda kolektif forum G20 mencakup: (1) sistem pangan dan pertanian yang tangguh dan berkelanjutan, (2) perdagangan pangan yang terbuka, adil, dapat diprediksi dan transparan, serta (3) bisnis pertanian yang inovatif melalui pertanian digital untuk memperbaiki kehidupan pertanian di wilayah pedesaan.
Di banyak negara anggota G20, pemulihan sektor agrobisnis dibarengi dengan upaya transformasi industri guna menopang stabilitas nasional. Tulisan ini menekankan presidensi Indonesia di G20 sebagai momentum diplomasi ekonomi, restrukturisasi rantai pasok dan penguatan regulasi komoditas-komoditas strategis dengan memperhatikan kepentingan pelaku ekonomi skala kecil hingga besar dalam tata perdagangan internasional.
Pandemi, kritik terhadap kinerja subsektor
Pandemi mengekspos kerentanan agrobisnis terhadap fluktuasi pasar global dan proteksionisme baru. Hal ini terjadi dalam perdagangan komoditas-komoditas strategis yang sangat mendukung sistem redistribusi nasional. Menurun atau hilangnya pendapatan masyarakat serta pembatasan mobilitas di lini produksi, distribusi, dan konsumsi menuntut solusi konkret sejalan dengan strategi stabilisasi ekonomi melalui intervensi pemerintah dan mekanisme pasar.
Banyak negara menerapkan hambatan terhadap ekspor komoditas untuk memastikan keamanan pangan dan input domestik. Praktik proteksionisme ini menjadi perhatian di forum G20 karena berdampak kepada tersendatnya implementasi perjanjian perdagangan internasional. Di tengah ketergantungan impor Indonesia dan negara-negara berkembang terhadap produk bahan pangan, teknologi, dan inovasi untuk hilirisasi, diperlukan kecermatan mendayagunakan struktur industri pertanian agar tangguh krisis dan dapat memaksimalkan potensi nasional dalam perdagangan internasional yang makin kompetitif.
Kondisi ini menuntut pemerintah memberi perhatian khusus kepada regulasi komoditas unggulan nasional dan perlindungannya dari proteksionisme di negara-negara mitra dagang. Permintaan pasar internasional juga perlu direspons sebagai peluang penguatan industri nasional dan konsolidasi relasi antar pemangku kepentingan. Perhatian kepada kinerja komoditas kunci di beragam subsektor menjadi dasar penyusunan kebijakan transformasi industri.
Reorganisasi lapangan kerja
Pascapandemi, serapan tenaga kerja di sektor agrobisnis terus menjadi fondasi ketangguhan ekonomi. Badan Pusat Statistik mencatat bahwa di tahun 2020, jumlah tenaga kerja yang menopang industri agrobisnis di Indonesia berjumlah setidaknya 29,76 persen dari total penduduk bekerja, atau sejumlah 38,23 juta orang.
Industri agrobisnis selama ini berperan penting mengakomodasi limpahan tenaga kerja dari sektor manufaktur yang mengalami disrupsi akses lapangan kerja. Pemerintah menghadapi tantangan menciptakan lapangan kerja baru sebagai salah satu indikator subsektor yang perlu secara konsisten dikedepankan karena fungsi kesejahteraannya.
Dari data UN Comtrade 2011-2020, kelapa sawit, karet, kelapa, kopi, kakao, tembakau, dan lada tercatat antara lain sebagai komoditas-komoditas kunci yang memiliki nilai ekspor signifikan. Sistem kerja dan produksi di sub-subsektor ini cukup lentur menopang stabilitas sosial ekonomi masyarakat.
Pascapandemi, serapan tenaga kerja di sektor agrobisnis terus menjadi fondasi ketangguhan ekonomi.
Regulasi industri padat teknologi dan inovasi dengan potensi akses lapangan kerja luas perlu disiapkan dalam menghadapi tantangan ketidakpastian di masa depan. Terlebih lagi, dokumen World Employment and Social Outlook: Trends 2022, Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) memperkirakan akan terjadi stagnasi global dalam hal pemulihan akses ke lapangan kerja di berbagai subsektor agrobisnis. Transisi skema bisnis berbasis agraria ke manufaktur dan jasa karena itu perlu dikawal bersama mengingat dampaknya terhadap hajat hidup masyarakat luas.
Struktur ketenagakerjaan sektor agrobisnis di negara berkembang umumnya ditandai penyerapan tenaga kerja berkeahlian menengah dan rendah. Sementara itu, sumber daya dan infrastruktur saintifik masih sangat terkonsentrasi di negara-negara maju. Ini adalah produk kemandekan sirkulasi keahlian dan sains karena ketimpangan akses global terkait hak kekayaan intelektual di sektor inovasi pertanian serta problematika kesenjangan regulasi nasional.
Komoditas agrobisnis dengan potensi ekspor besar, daya alih sains yang kuat dan potensi serapan tenaga kerja yang padat perlu perhatian menyeluruh di sepanjang rantai pasoknya. Diplomasi ekonomi dan kebijakan strategis perlu diarahkan mendorong agenda diversifikasi komoditas dan penguatan kewirausahaan dalam konteks ekonomi yang inklusif. Dengan demikian, Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya dapat menggeser posisi dalam rantai nilai tambah global dari produsen bahan mentah ke produk bernilai ekonomi tinggi.
Kemakmuran sebagai agenda kolektif
Struktur industri pertanian menghubungkan sirkulasi tenaga kerja, pengetahuan dan sains, kapabilitas finansial, teknologi, dan sumber daya alam dari hulu ke hilir untuk kembali terkoneksi ke hulu. Aspek-aspek sirkularitas ini perlu terus diperhatikan sehingga agenda kemakmuran dapat dibangun di atas ketahanan industri terhadap risiko krisis.
Mengingat Indonesia berada pada titik transisi yang sangat penting dalam reorientasi industri pertanian berkelanjutan, ke depan, setiap komoditas unggulan perlu dibekali dengan kerangka kebijakan strategis dalam menjamin kepastian pengembangan industri, manfaat ekonomi dan kelola distribusi kesejahteraan di rantai produksi.
Di ranah sub-subsektor komoditas kunci, sedang berlangsung supermodernisasi melalui kajian saintifik terintegrasi, pengembangan inovasi nonkonvensional dan upaya leapfrogging oleh pelaku bisnis skala besar, menengah dan kecil. Bentuknya berupa upgrading produk rantai pasok tradisional dan pengembangan diversifikasi ke produk-produk alternatif di rantai komoditas pangan dan nonpangan.
Struktur industri pertanian menghubungkan sirkulasi tenaga kerja, pengetahuan dan sains, kapabilitas finansial, teknologi, dan sumber daya alam dari hulu ke hilir untuk kembali terkoneksi ke hulu.
Regulasi riset dan pengembangan inovasi menjadi kerangka penting dalam mengawal transformasi industri. Hal ini disertai dengan pengutamaan akses masyarakat industri terhadap penguatan keahlian produktif dan perluasan lapangan kerja.
Kesepakatan para pemangku kepentingan akan kerangka kebijakan strategis bagi komoditas unggulan perlu memperhatikan aspek-aspek keadilan dan kesejahteraan. Jika konsentrasi kesejahteraan dan pengetahuan produktif berpusat pada sedikit kelompok, maka dalam jangka panjang proses penguatan kapasitas industrial di rantai pasok akan rentan terhadap konflik akibat ketimpangan sosial ekonomi. Renegosiasi akses terhadap manfaat pengetahuan, sains dan teknologi menjadi bagian integral dari agenda transformasi industri dan diplomasi ekonomi untuk mengatasi akar ketimpangan global.
Presidensi Indonesia di G20 perlu diarahkan untuk secara strategis merespons konstelasi geopolitik agrobisnis dalam hubungan utara-selatan dan selatan-selatan. Membangun struktur industri yang berdaya pengetahuan dan berdaya sains serta peka terhadap asimetri akses dan dimensi kemiskinan di berbagai aras menjadi sangat penting.
Ini terutama ketika praktik-praktik supermodernisasi yang erat dengan keberadaan pemain-pemain ekonomi kuat ke depannya akan semakin dominan. Prinsip keberlanjutan, multistakeholderisme dan inklusivitas harus selalu dijaga dalam membangun legitimasi kebijakan transformasi industri dengan melibatkan para pelaku industri secara langsung dalam tahap-tahap desain kebijakan pemerintah.
Dengan fondasi kebijakan transformasi industri yang kuat, niscaya kita mampu berjuang secara konsisten dalam berbagai tingkatan dan menghadapi tantangan globalisme yang sedang mencari bentuk idealnya.
Maharani Hapsari, Sekretaris Eksekutif Pusat Studi Perdagangan Dunia UGM