Resesi, Inflasi, dan Potensi Badai PHK
Resesi ekonomi global tampaknya masih akan berlanjut di 2023. Tingkat ketidakpastian masih tetap tinggi seiring pandemi yang tak kunjung usai dan perang Rusia-Ukraina yang tak berkesudahan. Fenomena PHK di depan mata.
Di pengujung tahun 2022, awan gelap masih menyelimuti perekonomian global dan nasional. Efek pandemi Covid-19 yang disertai efek perang Ukraina- Rusia masih sangat terasa bahkan cenderung membesar.
Harga komoditas pangan dan energi masih tetap tinggi, menjadikan tingkat inflasi dan suku bunga juga ikut meninggi.
Kinerja sektor industri terasa semakin berat. Sebagian besar pelaku industri harus menanggung beban dan biaya tambahan seiring dengan naiknya harga bahan baku input produksi dan biaya logistik. Dalam waktu bersamaan, para pelaku industri juga harus menanggung tambahan biaya modal dari naiknya tingkat suku bunga.
Naiknya biaya modal ini menjadikan ekspansi usaha para pelaku industri sebagai langkah yang sangat berat. Di tengah naiknya biaya modal, menambah kapasitas produksi, membangun pabrik baru, dan menambah jumlah tenaga kerja menjadi pilihan yang tidak realistis bagi perusahaan. Bahkan, untuk mempertahankan capaian kinerja perusahaan menjadi hal yang sulit.
Baca juga : Resesi Global dan Pilihan Kebijakan
Tantangan di sisi permintaan juga tak kalah besar. Para pelaku industri harus berjibaku meredam efek inflasi. Naiknya tingkat inflasi menggerus daya beli masyarakat yang berdampak pada turunnya permintaan. Tak heran beberapa perusahaan mengambil kebijakan pengurangan jumlah karyawan agar bisa tetap beroperasi di tengah menurunnya permintaan.
Di tengah tekanan yang berasal dari sisi permintaan dan penawaran yang terjadi di waktu bersamaan, dalam waktu dekat perusahaan juga dihadapkan pada kemungkinan kenaikan tingkat upah minimum sebagai rutinitas tahunan kenaikan biaya tenaga kerja.
Berbagai kondisi tak ideal ini mengharuskan para pelaku industri untuk bisa beradaptasi dengan baik sehingga bisa tetap beroperasi walaupun dalam kondisi yang tidak optimal.
Potensi resesi
Awan gelap yang menyelimuti ekonomi global dan nasional sepertinya masih akan berlanjut di 2023. Tingkat ketidakpastian masih akan tetap tinggi seiring pandemi yang tak kunjung usai dan perang Rusia-Ukraina yang tak berkesudahan.
Bahkan, negara-negara besar sudah membuat ancang-ancang dan memasang kuda-kuda menghadapi gelombang ketidakpastian di 2023. AS sudah memutuskan untuk tetap menjalankan kebijakan pengetatan moneter guna meredam inflasi yang masih tinggi. China masih tetap membatasi aktivitas ekonominya untuk meredam lonjakan Covid-19 yang berasal dari varian-varian baru.
Negara-negara Eropa yang tergabung dalam Uni Eropa (UE) sudah terhuyung-huyung akibat gangguan pasokan energi dan melambungnya biaya hidup. Inggris yang tak tergabung dalam UE sudah jatuh terlebih dulu ke dalam krisis ekonomi.
Melemahnya aktivitas perekonomian di hampir semua negara mengakibatkan potensi resesi ekonomi pada 2023 masih tetap tinggi. Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan memperkirakan negara-negara di Eropa akan mengalami resesi yang lebih dalam.
Perlambatan dan resesi ekonomi di AS, China, dan negara- negara Eropa itu akan menekan lalu lintas perdagangan internasional, termasuk arus lalu lintas perdagangan dari dan ke Indonesia. Perusahaan-perusahaan yang memiliki keterkaitan erat dengan lalu lintas perdagangan internasional akan mengalami tekanan sangat dalam. Kinerja perusahaan akan turun tajam, memaksa mereka melakukan efisiensi besar-besaran yang salah satu pilihannya efisiensi tenaga kerja.
Kinerja perusahaan akan turun tajam, memaksa mereka melakukan efisiensi besar-besaran yang salah satu pilihannya efisiensi tenaga kerja.
Potensi badai PHK
Melemahnya perdagangan dunia akibat badai resesi yang mulai melanda perekonomian dunia sudah mulai terasa di Indonesia. Perusahaan-perusahaan yang bergerak di industri garmen dan alas kaki sudah mulai mengurangi jumlah karyawannya seiring menurunnya permintaan global terhadap produk mereka.
Padahal, industri ini industri padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja. Pengurangan jumlah karyawan juga terjadi di industri rintisan (start up). Beberapa perusahaan rintisan yang bergerak di bidang pendidikan daring dan pengantaran makanan sudah mulai mengurangi jumlah karyawan seiring berkurangnya permintaan akibat penurunan daya beli dan mulai aktifnya pertemuan-pertemuan luring.
Ibarat virus, jika tak ditangani dengan baik, fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di beberapa sektor industri bisa menjalar dan menimbulkan efek domino ke sektor-sektor lain. Fenomena PHK ini akan menyebabkan penurunan daya beli masyarakat sehingga akan menurunkan tingkat konsumsi agregat.
Penurunan konsumsi ini akan menurunkan tingkat permintaan terhadap barang dan jasa secara keseluruhan. Sektor-sektor industri lainnya akan mengalami masalah yang serupa dengan sektor industri garmen, alas kaki, jasa transportasi, distribusi dan logistik, serta jasa pendidikan berbasis daring. Jika ini terjadi, potensi badai PHK di depan mata.
Potensi terjadinya badai PHK ini semakin besar jika tingkat upah minimum tenaga kerja untuk tahun depan naik di luar kemampuan keuangan perusahaan. Dalam kondisi normal, tingkat upah minimum baru yang ditetapkan setiap tahun akan mengalami kenaikan sesuai dengan formulasi yang ditetapkan pemerintah.
Namun, di tengah kondisi yang tak ideal dan serba sulit, kenaikan upah minimum ini akan sangat memberatkan para pelaku industri dan menambah beban keuangan perusahaan.
Kebijakan pemerintah
Melambatnya kinerja perusahaan dan menurunnya daya beli masyarakat menjadi hal yang tidak bisa dihindari. Di sisi lain, potensi naiknya harga barang dan jasa masih tetap tinggi seiring dengan masih tingginya tingkat ketidakpastian ekonomi global dan nasional.
Oleh karena itu, tuntutan kenaikan upah minimum yang terjadi saat ini menjadi hal yang sangat wajar dan dapat dipahami. Bahkan dalam kondisi normal, penyesuaian upah merupakan rutinitas yang harus dilakukan setiap tahun guna menjaga daya beli masyarakat sekaligus menjaga agar para pekerja tetap mendapatkan penghidupan yang layak.
Namun, tuntutan penyesuaian upah pekerja dengan menaikkan tingkat upah minimum di tengah kondisi ekonomi yang tidak ideal ini menjadi hal yang dilematis (trade off).
Dalam kondisi seperti ini, menjadi hal yang tidak adil jika beban penyesuaian upah tersebut harus ditanggung sepenuhnya oleh pelaku industri.
Potensi terjadinya badai PHK ini semakin besar jika tingkat upah minimum tenaga kerja untuk tahun depan naik di luar kemampuan keuangan perusahaan.
Oleh karena itu, pemerintah bersama pelaku usaha dan para pekerja harus mencari formula penentuan upah minimum yang paling mendekati nilai-nilai keadilan walau tetap tak bisa memuaskan semua pihak.
Dalam menyusun dan menentukan tingkat upah minimum, terdapat tiga dimensi yang harus dijadikan dasar pertimbangan oleh pemerintah, pelaku usaha, dan para pekerja, yaitu dimensi jaring pengaman, dimensi insentif (bonus), dan dimensi produktivitas.
Dimensi jaring pengaman ini diformulasikan dalam bentuk penghitungan tingkat inflasi daerah yang mewakili tingkat daya beli pekerja. Sementara dimensi kedua adalah dimensi insentif yang diambil dari variabel pertumbuhan ekonomi.
Dengan adanya dimensi insentif ini, pemerintah mencoba memberikan keadilan bagi para pekerja. Keuntungan usaha yang selama ini dinikmati para pengusaha seharusnya bisa memberikan efek tetesan ke bawah (trickle down effect) kepada para pekerja dalam bentuk kenaikan upah.
Dimensi ketiga yang harus diperhitungkan adalah tingkat produktivitas tenaga kerja.
Selama ini variabel yang menjadi indikator tingkat produktivitas adalah jumlah jam kerja. Jika para pekerja bekerja sesuai dengan jam kerja minimal yang telah ditentukan, perusahaan harus membayar sesuai dengan tingkat upah yang telah ditentukan.
Sebaliknya, jika para pekerja bekerja di bawah jam kerja minimal yang telah ditentukan, penentuan upah ditentukan sesuai dengan proporsi jam kerja para pekerja tersebut.
ilustrasi
Dalam situasi yang tidak ideal ini, pemberlakuan formulasi penentuan upah minimum akan tetap menimbulkan pro dan kontra, baik dari kelompok pelaku usaha maupun dari kelompok pekerja. Oleh karena itu, di tengah kondisi yang tak ideal seperti sekarang, diperlukan peran pemerintah yang bisa menjembatani kedua kepentingan yang berbeda kutub itu.
Kita menyadari bahwa kebijakan yang dibuat pemerintah tersebut tidak akan mampu memuaskan semua pihak. Namun, paling tidak, pemerintah dapat membuat keputusan yang tidak merugikan kedua belah pihak.
Dalam menentukan upah minimum, pemerintah tidak harus ”berdiri di tengah”. Kebijakan yang dibuat pemerintah dapat berpihak pada salah satu kelompok. Namun, pemerintah harus memberikan insentif dan kompensasi pada pihak yang kepentingannya tak terakomodasi dalam aturan penentuan upah minimum itu sehingga rasa keadilan tiap-tiap kelompok dapat tetap terpenuhi.
Jika pemerintah lebih memilih untuk berpihak kepada kelompok pekerja, pemerintah harus memberikan insentif kepada para pelaku usaha sehingga dapat mengurangi beban biaya operasionalnya.
Dalam menentukan upah minimum, pemerintah tidak harus ”berdiri di tengah”.
Pemerintah bisa memberikan insentif berupa relaksasi perpajakan sehingga beban pajak perusahaan dapat berkurang dan perusahaan dapat mengalokasikan anggarannya untuk menaikkan upah minimum pekerjanya. Pemerintah juga bisa memberikan insentif pembiayaan dalam bentuk insentif suku bunga dan restrukturisasi pembayaran utang sehingga perusahaan memiliki ruang dan celah pembiayaan yang bisa digunakan untuk menaikkan tingkat upah minimum.
Sebaliknya, jika pemerintah lebih memilih berada di kelompok para pengusaha, pemerintah harus menjamin bahwa daya beli pekerja tetap terjaga dan kebutuhan hidup layak dapat terpenuhi dengan baik.
Di samping harus mampu menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok dengan baik, pemerintah juga harus mampu menambal kekurangan pendapatan para pekerja, baik melalui program bantuan subsidi upah, bantuan langsung tunai, maupun melalui program subsidi tidak langsung, seperti subsidi pendidikan, kesehatan, ataupun subsidi terhadap komoditas-komoditas tertentu.
Jika pemerintah bisa membuat kebijakan penentuan upah yang berkeadilan ini, seharusnya perdebatan panas terkait penentuan upah minimum ini bisa diredam dengan baik.
Diperlukan kesadaran dan keinginan (political will) dari semua pihak untuk dapat menahan egonya masing-masing.
Kelompok pekerja dan pelaku usaha harus memiliki kesamaan rasa bahwa saat ini kita semua menghadapi kondisi yang tidak ideal yang tak menguntungkan bagi semua pihak.
Dengan kesadaran bersama ini, semua pihak dapat saling memahami, menahan diri, dan membantu satu sama lain untuk bersama-sama bersepakat menentukan upah yang adil bagi semua kelompok sehingga dapat mengurangi potensi terjadinya badai PHK.
Agus Herta Sumarto Dosen FEB UMB dan Ekonom INDEF