Pilpres 2024 dan bonus demografi akan menentukan nasib dan langkah bangsa kita ke depan. Kemampuan capres dalam meyakinkan gen Z dan milenial akan menjadi modal penting dalam memimpin Indonesia pada periode 2024-2029.
Oleh
HANDI RISZA
·5 menit baca
Pemilihan presiden dan bonus demografi menjadi dua kata yang saling memiliki ketergantungan satu dengan yang lain saat ini. Pilpres yang akan dilaksanakan pada 24 Februari 2024 akan menghasilkan presiden terpilih untuk periode 2024-2029. Sementara bonus demografi, menurut beberapa lembaga seperti BPS dan Bappenas akan mencapai puncaknya pada 2030 dan berakhir pada 2040. Artinya, presiden yang terpilih dalam Pilpres 2024 akan mengantarkan Indonesia memasuki puncak bonus demografi pada permulaan tahun 2030.
Hubungan pilpres dan bonus demografi hendaknya juga dipandang sebagai hubungan yang saling menguntungkan (mutualisme). Potensi elektoral generasi (gen) Z dan milenial dalam Pemilu 2024 menjadi yang terbesar, hal itu dapat dilihat dari komposisi penduduk berdasarkan umur. Jumlah gen Z, jika mengacu sensus penduduk, mencapai 27,95 persen atau 75,94 juta dari total populasi Indonesia pada 2020 yang sebanyak 270,2 juta jiwa.
Sementara itu, generasi milenial sebanyak 69,38 juta jiwa atau 25,87 persen. Menurut perkiraan, Pemilu 2024 akan didominasi kalangan gen Z dan milenial yang rentang usianya 17-39 tahun, mendekati sekitar 60 persen. Dengan kata lain, pemilih terbesar Pilpres 2024 adalah kalangan gen Z dan milenial yang merupakan aktor utama puncak bonus demografi.
Boleh dikatakan Pilpres 2024 merupakan momentum atau kesempatan terakhir bagi bangsa Indonesia sebelum memasuki puncak bonus demografi. Presiden terpilih 2024 akan menjadi sosok yang diharapkan akan mampu mengoptimalkan kesempatan window of opportunity yang terdapat dalam bonus demografi menuju negara maju. Namun pada sisi lain, akan menjadi bencana door of disaster jika bonus demografi ini tidak mampu dioptimalkan dan dimanfaatkan dengan baik.
Sudah selayaknya jika para kandidat capres dan partai pengusung yang sudah mulai menggadang-gadang nama capres yang akan diusung untuk mempersiapkan kebijakan dan program yang akan dikontestasikan kepada gen Z dan milenial sebagai kebijakan dalam memasuki puncak bonus demografi. Kuncinya adalah kemampuan presiden terpilih dan pemerintahannya untuk mendesain kebijakan yang berkualitas dan berdaya saing tinggi.
Pemilu dan momentum bonus demografi
Studi terkait bonus demografi dan pemilu pernah dilakukan oleh beberapa pakar. Gustav Papanek, Raden Pardede, dan Suhasil Nazarra (2014) mengungkapkan Indonesia akan tumbuh sesuai potensinya jika pemerintahan baru hasil Pemilu 2014 mampu memanfaatkan peluang emas di dalam dan luar Indonesia. Potensi yang dimaksud adalah pertumbuhan ekonomi di atas 10 persen melalui industri manufaktur padat karya dan pada saat yang sama meningkatkan 40 persen penduduk Indonesia yang masih masuk kategori miskin dengan memberi lapangan kerja di sektor formal.
Sementara Handi (2019) mengungkapkan, mempersiapkan bonus demografi yang kita miliki tidak bisa dilepaskan dari pemilihan umum, seperti yang kita laksanakan pada 17 April 2019. Pemilu ibarat pintu gerbang utama bagi terbentuknya sistem pemerintahan dan kepala pemerintahan yang kuat dan berkualitas dalam mengambil kebijakan politik (Schumpeter, 2003). Termasuk, apakah itu bisa memanfaatkan bonus demografi yang kita miliki atau sebaliknya. Idealnya, hasil pemilu akan menuntun kita untuk bisa mencapai cita-cita bangsa menjadi bangsa yang sejahtera, adil, dan makmur menjelang perayaan 100 tahun kemerdekaan (Kompas, 2019).
Gen Z dan milenial memerlukan capres yang memiliki kemampuan membaca peta permasalahan yang sedang mereka hadapi saat ini, mulai dari pekerjaan, rumah, teknologi, hingga lingkungan.
Gen Z dan milenial memerlukan capres yang memiliki kemampuan membaca peta permasalahan yang sedang mereka hadapi saat ini, mulai dari pekerjaan, rumah, teknologi, hingga lingkungan, kemudian mampu mendesain kebijakan yang tepat dalam menghadapi permasalahan tersebut, serta mampu mengoptimalkan tenaga kerja produktif yang tersedia. Oleh sebab itu, ide dan gagasan tersebut harus dikomunikasikan sedini mungkin sehingga narasi yang disampaikan bisa teruji oleh publik.
Masih terdapat waktu kurang lebih 14 bulan untuk mematangkan ide dan gagasan para capres untuk dikontestasikan kepada kalangan gen Z dan milenial dalam merebut pilihan mereka. Saat ini merupakan momentum yang tepat untuk memaksa para capres mulai berbicara tentang konsep bonus demografi, karena konsep tersebut kemudian akan diformulasikan ke dalam bentuk visi misi presiden terpilih dan menjadi bagian dalam kebijakan RPJMN 2024-2029.
Tantangan yang tidak ringan
Tugas berat yang diemban oleh presiden terpilih sudah menanti. Praktis periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin tidak banyak yang bisa dilakukan, selain bertahan dan melakukan pemulihan ekonomi akibat krisis panjang yang melanda dunia internasional, mulai dari Covid-19 kemudian berlanjut konflik geopoltik perang Rusia-Ukraina. Bahkan tahun 2023 banyak negara akan mengalami stagflasi, di mana inflasi dan suku bunga tinggi, tetapi pertumbuhan ekonomi melambat.
Pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,70 persen lebih banyak disebabkan oleh pengaruh tingginya harga komoditas energi dan pangan internasional. Indonesia masih mendapatkan windfall profit akibat tingginya harga beberapa komoditas. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III 2022 yang melebihi ekspetasi terjadi karena low base effect atau basis yang rendah. Sebab, pada kuartal ketiga tahun lalu, terjadi gelombang kasus Covd-19 disertai pembatasan sosial yang ketat sehingga membuat ekonomi tumbuh lambat.
Kualitas pertumbuhan ekonomi kita hari ini belum cukup syarat menjadikan Indonesia mampu menyediakan lapangan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi seluruh masyarakat. Perekonomian Indonesia masih di dominasi oleh value extraction yang berbasis sumber daya alam, ketimbang value creation yang mengandalkan SDM yang memiliki inovasi dan kreativitas yang tinggi.
Kegagalan dalam mengoptimalkan bonus demografi merupakan ancaman yang serius bagi generasi di masa yang akan datang. Indonesia akan terjebak menjadi negara berkembang berpenghasilan menengah (middle income trap) dan semakin jauh tertinggal dari negara lain. Kita akan memikul beban generasi yang akan semakin berat, generasi produktif hari ini, akan memasuki masa penuaan (aging) dan menjadi tidak produktif. Sehingga jika ini tidak berhasil, yang akan terjadi adalah dari bonus demografi menjadi beban demografi.
Penutup
Pilpres 2024 dan bonus demografi adalah dua hal penting yang akan menentukan nasib dan langkah bangsa kita ke depan. Kemampuan capres dalam meyakinkan gen Z dan milenial akan menjadi modal penting dalam memimpin Indonesia pada periode 2024-2029. Capres terpilih akan mengantarkan Indonesia ke gerbang puncak bonus demografi 2030-2040, jika skenario ini berjalan dengan baik, kita patut bersyukur, Indonesia akan menjadi salah satu negara maju pada tahun 2045 atau tepat 100 tahun kemerdekaan.