Fatwa dari Perempuan untuk Semesta
Dapatkah pengalaman dan penderitaan perempuan korban dipertimbangkan para penyusun fatwa? Bertanyakah pada perempuan korban, apa dukungan agama untuk mereka? Muhammadiyah-Aisyiyah dan KUPI punya peran strategis.
Bagi perempuan aktivis Muhammadiyah-Aisyiyah dan Kongres Ulama Perempuan Indonesia, November ini adalah momen penting. Pertama, bulan ini dilangsungkan Muktamar Ke- 48 Muhammadiyah-Aisyiyah di Solo (18-20/11/2022).
Kedua, bulan ini juga dilangsungkan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Ke-2 di Semarang dan Jepara (23-26/11/2022). Pada 26 November hari pertama dimulainya Kampanye 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan dan pada 29 November Hari Perempuan Pembela HAM.
Maka, pada November 2022, perempuan akan mengukir sejarah perubahan untuk peradaban yang lebih baik, terciptanya situasi kondusif penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
KH Ahmad Dahlan menamai Muhammadiyah dari nama nabi akhir zaman, Nabi Muhammad SAW. Pemimpin terbaik. Tak ada cacat dalam kepemimpinannya sebagai nabi, kepala negara, kepala pemerintahan, pemimpin perang, saudagar, bahkan dalam kehidupan pribadi, bersama istri, keluarga, para sahabat, dan para pekerja rumah tangga. Kiranya, satu-satunya kritik yang sering dilontarkan orientalis adalah kehidupan poligininya dan tuduhan menikahi Siti Aisyah yang masih muda belia.
Adapun KUPI mendefinisikan ulama perempuan sebagai orang-orang berilmu mendalam, baik perempuan maupun laki-laki, memiliki rasa takut kepada Allah SWT (berintegritas) pada urusan kemanusiaan secara umum dan urusan perempuan secara khusus (publik dan domestik/keluarga).
Baca juga : Muhammadiyah, Kemanusiaan, dan Keindonesiaan
Selain itu, berkepribadian mulia (akhlaaq kariimah), menegakkan keadilan, dan memberikan kemaslahatan kepada semesta (rahmatan lil ’alamin) bagi perempuan dan laki-laki, sehingga tercipta relasi kesalingan yang harmonis dan tanpa kekerasan dalam rangka mewujudkan cita-cita kemanusiaan yang adil dan beradab.
Muhammadiyah dan KUPI memiliki peran besar dalam kehidupan perempuan Muslim Indonesia lima tahun ke depan, lewat fatwa. Fatwa menjadi salah satu aspek penting dari Muktamar Muhammadiyah dan KUPI bulan ini.
Fatwa, untuk siapa?
Jamak diketahui, fatwa dilahirkan oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Seolah-olah fatwa keagamaan yang menyangkut hidup orang banyak hanya sah (shahid) jika dilahirkan oleh MUI, karena penamaan fatwa dilekatkan pada MUI an sich.
Pada kenyataannya, masyarakat Indonesia, terutama yang berafiliasi pada organisasi keagamaan tertentu, berhak mengikuti fatwa yang dilahirkan oleh organisasi tersebut.
Misalnya, di Muhammadiyah ada Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) yang mengkaji dan menghasilkan putusan, fatwa, dan wacana. Putusan bersifat mengikat secara organisasi dari pusat hingga ranting. Fatwa sifatnya cerminan pandangan Muhammadiyah dalam agama terhadap suatu masalah. Sementara wacana adalah produk tarjih di luar putusan dan fatwa seperti tulisan-tulisan di Jurnal Tarjih.
Demikian pula Nahdlatul Ulama (NU) dengan Lembaga Bahtsul Masail, Persis dengan Lembaga Majma’ al-Buhûts wa al-Iftâ’, dan lain-lain.
Dari kajian penulis, ada fatwa yang berpihak pada perempuan, dan ada yang sebaliknya.
ilustrasi
Misalnya, fatwa MUI dan NU tentang sunat perempuan. Fatwa ini dinilai banyak pihak merugikan perempuan dan bertentangan dengan semangat perlindungan jiwa perempuan.
Fatwa Muhammadiyah justru melarang pelaksanaan sunat perempuan. Alasannya, praktik sunat perempuan tidak dilakukan pada istri ataupun anak-anak perempuan Nabi Muhammad, dan merugikan aspek reproduksi perempuan.
Di sisi lain, ada pula fatwa MUI dan NU yang termasuk berpihak pada perempuan, walau ada catatan dan pertanyaan besar, yakni fatwa bahwa aborsi bagi korban pemerkosaan adalah haram, tetapi dibolehkan sebelum 40 hari kehamilan.
Muhammadiyah sendiri belum secara tegas membahas soal ini meski sudah punya dua fatwa yang terkait dengan isu ini, yakni dibolehkannya aborsi bagi ibu hamil dalam keadaan darurat dan masa nifas yang sama bagi perempuan yang melakukan aborsi atau dengan kelahiran spontan.
Menariknya, semua organisasi keagamaan di Indonesia belum secara tegas menyatakan ”perang” melawan kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam fatwanya. Lalu, di mana peran perempuan dalam perumusan fatwa? Apakah perempuan hanya sebagai obyek fatwa, tanpa mempertimbangkan tubuh, kebutuhan perempuan, dan dampak bagi perempuan apabila fatwa itu disahkan?
Dapatkah pengalaman dan penderitaan perempuan korban dipertimbangkan para penyusun fatwa? Bertanyakah pada perempuan korban, apa dukungan agama untuk mereka?
Muhammadiyah-Aisyiyah dan KUPI punya peran strategis, menghasilkan fatwa yang memberikan perlindungan pada perempuan dan anak, mendengarkan suara perempuan korban.
Progresivitas fatwa
Becermin dari Muhammadiyah-Aisyiyah, dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT, 2018: 388), bagian ketiga tentang Keputusan Musyawarah Nasional Tarjih Ke-28, tentang Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah: untuk mewujudkan keluarga sakinah, poligami tidak menjadi pertimbangan utama ketika menghadapi masalah antara suami dan istri.
Semua anggota keluarga hendaknya berusaha menjauhkan peluang yang dapat menghantarkan adanya kemungkinan poligami dan mewujudkan prinsip monogami dalam perkawinannya (HPT, 2018: 239).
Fikih Perlindungan Anak (FPA) menyebutkan, ”berdasarkan sumber normatif di atas, maka umur pernikahan anak yang ideal adalah sesudah 21 tahun dan tidak dianjurkan sebelum 18 tahun. Hal ini sejalan dengan maqāshid asy- syar’ah (ḥifz an-nasl), yang menegaskan pentingnya memiliki kesiapan fisik, psikis, ekonomi, dan sosial”.
FPA telah selesai dibahas MTT, menunggu di-tanfidz. FPA juga menarasikan kekeli- ruan tentang pernikahan Nabi dengan Siti Aisyah yang bukan berusia enam tahun.
Demikian pula KUPI Ke-1, 2017, menghasilkan fatwa tentang kekerasan seksual sebagai sebuah keharaman, larangan menghukum korban pemerkosaan, dan kewajiban mendengarkan suara korban. Ada juga fatwa ”perkawinan anak”, yakni pencegahan pernikahan anak/pernikahan dini yang menimbulkan kemudaratan.
Ini berarti, Muhammadiyah- Aisyiyah dan KUPI sama-sama berpegang teguh pada dharuriyyat khamsah; terutama hifzun-nafs (perlindungan jiwa, nyawa), hifzul-’aql (melindungi akal-pikiran), hifzul-irdhi (melindungi kehormatan diri).
Pada Muktamar Aisyiyah ada Pleno IV tentang risalah perempuan berkemajuan dan V tentang isu-isu strategis keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan semesta.
Demikian pula KUPI menjadwalkan pembahasan lima fatwa: 1) peran perempuan dalam merawat bangsa dari ekstremisme; 2) pengelolaan, pengolahan sampah rumah tangga untuk keberlanjutan lingkungan; 3) perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan; 4) perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat pemerkosaan; dan 5) perlindungan perempuan dari bahaya tindak pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan.
ilustrasi
Fatwa zakat untuk korban
Muhammadiyah-Aisyiyah dan KUPI punya peran strategis, menghasilkan fatwa yang memberikan perlindungan pada perempuan dan anak, mendengarkan suara perempuan korban. Termasuk hak korban kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan incest, yang selama ini minim dukungan penting.
Mereka mendapatkan perhatian dari keduanya, salah satunya dalam hal kebolehan mengakses dana zakat. Keberadaan fatwa ini penting. PSIPP ITB-AD, misalnya, selama 2020-2022 berhasil mengampanyekan isu zakat bagi korban kekerasan seksual, KDRT, dan incest. Namun, muzaki masih bertanya ”mana fatwanya?”
Maka, jika fatwa zakat bagi korban belum dikeluarkan Muhammadiyah-Aisyiyah dan KUPI, sekurang-kurangnya ”wacana keagamaan” tentang pembolehan zakat bagi korban bisa dibahas sebagai ijtihad fikih zakat kontemporer, agar fatwa bermakna bagi perempuan.
Yulianti MuthmainnahKepala Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) ITB Ahmad Dahlan Jakarta