Kembalikan Roh Sistem Seleksi Mandiri PTN
Sistem seleksi mandiri di PTN pada dasarnya dibangun untuk memberikan kesempatan kepada mereka yang kurang beruntung, secara ekonomi maupun akses. Namun PTN terjebak ke dalam narasi yang salah, berorientasi kepada uang.
Sistem seleksi mandiri di perguruan tinggi negeri sebenarnya sudah baik, hanya saja kemudian menjadi berorientasi kepada uang. Alhasil, tujuan semula yang amat mulia, dilencengkan dengan sengaja, seperti yang terjadi dalam kasus tangkap tangan Rektor Universitas Lampung.
Sistem seleksi mandiri di perguruan tinggi negeri (PTN) pada dasarnya dibangun untuk memberikan kesempatan kepada mereka yang kurang beruntung. Mereka disebut kurang beruntung karena hampir tidak mungkin bersaing melalui seleksi biasa.
Mereka adalah calon mahasiswa yang berasal dari daerah terpencil, kurang bisa mengakses sistem yang ketat secara nasional, atau dari suku yang secara proporsional masih membutuhkan perhatian. Tentu saja di dalamnya seharusnya termasuk mereka yang masuk dalam kelompok miskin.
Dengan seleksi mandiri, PTN bahkan bisa memberikan keseimbangan kepada perempuan atau mereka yang berprestasi, tetapi kurang beruntung. Karena itulah sistem seleksi mandiri diberikan menjadi kewenangan PTN.
Baca juga: Jalur Mandiri Dinilai Jadi Cara Mudah Kampus Dapatkan Dana
Baca juga: Nila Setitik, Rusak Seleksi Mandiri di Perguruan Tinggi Negeri Semuanya
Perguruan tinggi negeri boleh menggunakan metode seleksi mandiri tentu untuk mengakomodasi mereka yang kurang beruntung tadi karena asas keadilan sekaligus kemanusiaan menjadi alasan hadirnya sebuah PTN. Kita tidak ingin ada kelompok yang mengalami marjinalisasi sekaligus diskriminasi dalam mengakses pendidikan tinggi.
Begitulah seharusnya roh seleksi mandiri yang diberikan kepada PTN-PTN di Indonesia. Ada idealisme di situ.
Namun PTN terjebak ke dalam narasi yang salah. Banyak PTN menggunakan sistem seleksi ini justru untuk jor-joran menjual kursi, demi mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. PTN dijadikan semacam perusahaan yang arahnya kepada keuntungan dan mengejar pertumbuhan jumlah mahasiswa semata.
Mirip seperti istilah “Higher Education Inc” yang ditulis oleh Martin Haigh (2008). Pada model seperti itu, PTN dijadikan ladang bisnis yang menggurita. Mahasiswa direkrut sebanyak-banyaknya. Jejaring PTN dibangun sampai kemana-mana. Promosi pendidikan digenjot dengan memberikan penekanan kepada kebutuhan pasar.
Walakin, mahasiswa diberikan mimpi bersekolah di PTN yang serba “wah”, bahkan kadang dengan pesan-pesan yang menggiurkan. Konsekuensinya, biaya komersialisasi PTN tersebut kemudian mewujud ke dalam beban besar biaya pendidikan yang harus ditanggung mahasiswa. Sumbangan pendidikan yang dikeruk dari kantong mahasiswa dan orangtuanya itu nilainya bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Wajah PTN kita memang saat ini terkesan sarat dengan hitung-hitungan keuntungan. Pengelolaan PTN telah kehilangan roh asali bahwa pendidikan itu bukan hanya soal kapitalisasi satu bangku yang diduduki mahasiswa. Banyak pemimpin PTN lupa bahwa kehadiran sistem seleksi mandiri, punya nilai idealisme yang jauh lebih tinggi keluhurannya dari sekadar pundi-pundi uang untuk mengelola pendidikan.
Perguruan tinggi negeri, kembali meminjam istilah Martin Haigh, seharusnya mewujudkan planetary citizenship. Apa itu? Yaitu bahwa PTN seharusnya bukan hanya memikirkan diri sendiri. PTN harus bertanggung-jawab kepada kelangsungan kehidupan manusia, kepada pencapaian hakiki pendidikan kepada semua orang.
Banyak pemimpin PTN lupa bahwa kehadiran sistem seleksi mandiri, punya nilai idealisme yang jauh lebih tinggi keluhurannya dari sekadar pundi-pundi uang untuk mengelola pendidikan.
PTN harusnya menciptakan agen-agen terdidik yang kemudian akan mengelola diri, lingkungan dan dunianya. Jadi, lulusan PTN harus berkarya bagi kemanusiaan, karya penyelamatan dunia bahkan demokrasi yang adil kepada setiap orang.
Sayangnya, gara-gara membiayai pendidikan yang begitu menyedot kantong selama kuliah, lulusan PTN pada akhirnya pun justru banyak yang berambisi menguras sekitarnya, melalui pekerjaan dan kinerjanya. Alih-alih menghadirkan lulusan universitas yang bermartabat, alumni PTN menjadi berorientasi kepada diri sendiri.
Menjadi lulusan yang egois, sekadar kaya untuk diri sendiri. Wajar karena mereka dididik tanpa konsep planetary citizenship. PTN tidak pernah mengajarkan mahasiswa untuk menjadikan seluruh pelosok dunia ini sebagai lahan agung kiprah menyelamatkan masa depan umat manusia.
Sumber uang
Siapa bilang PTN tidak butuh uang. Memang benar dengan sistem seleksi, PTN dapat mendapatkan uang untuk memutar roda organisasi. Kuota 30-50 persen seleksi mandiri menjadi peluang PTN untuk mandiri.
Tetapi apakah jika semua dikapitalisasi, bahkan kemudian dijadikan alat mendapatkan keuntungan, apa bedanya PTN dengan PTS yang memang didirikan penuh untuk profit? Bukankah kita harus kembali kepada cita-cita luhur PTN bahwa hanya hadir demi mewujudkan keadilan dan kemanusiaan bagi semua anak negeri?
Uang untuk mendanai PTN tidak menjadi alasan untuk mengaburkan makna roh sistem seleksi. Ribuan dosen PTN di ratusan PTN di negeri ini seharusnya mampu menggali pasar, mewujudkan profit melalui kinerjanya.
Uang untuk mendanai PTN tidak menjadi alasan untuk mengaburkan makna roh sistem seleksi.
Uang didapatkan oleh PTN bukan dengan bersikap tidak adil, hanya “menjual kursi” kepada yang tidak mampu. Bukan dengan memasang tarif tinggi masuk PTN sehingga tidak berbela rasa terhadap mereka yang kurang beruntung. Kalau bukan menunjukkan rasa keprihatinan pada kondisi orang lain yang kurang beruntung, lalu bagaimana PTN bisa menyebut diri sebagai pembawa “lilin” dalam “kegelapan moral dan nurani”?
Dalam bukunya Reshaping the University, New Relationships between Research, Scholarship and Teaching, Ronald Barnett (2005) menampar wajah perguruan tinggi kita. Saat ini banyak dosen hanya sibuk mengajar, lupa meneliti. Hari demi hari pekerjaan dosen hanya identik dengan mengajar.
Padahal jika seorang dosen meneliti dengan baik, hasil penelitiannya tersebut dapat dibeli oleh dunia industri, dan menjadi profit. Apalagi jika penelitian-penelitian tersebut dikelola oleh PTN dengan sistem manajemen riset yang baik, adopsi di kalangan industri akan menjadi lebih cepat.
Maka sesungguhnya, kebutuhan uang mudah diatasi jika suasana lingkungan PTN bukan hanya menjadikan dosen sebagai “tutor di depan kelas”. Saya mendengar di beberapa PTN banyak dosen berpangkat guru besar enggan memberikan kesempatan kepada dosen muda untuk mengajar. Mereka lebih suka mengajar di depan kelas. Padahal merekalah yang seharusnya aktif menghela dihasilkannya produk-produk yang dapat dijual pada dunia industri secara global.
Baca juga: Perguruan Tinggi sebagai Kekuatan Moral
Dengan kondisi miskin gagasan ini, maka wajarlah PTN tidak punya jualan lain. Maka jadilah mahasiswa “diperas” secara tidak langsung melalui sistem mandiri yang seleksinya kelihatannya bisa diakalin oleh para petinggi PTN. Bayangkan, tangkap tangan Rektor Universitas Lampung justru melibatkan pejabat universitas lain. Ini berarti aksi suap-menyuap seleksi mandiri telah menjadi lahan bisnis PTN dan bancakan petinggi PTN.
Pun jika kreatif, selain dari industri PTN sebenarnya bisa punya mendapatkan alternatif pendanaan. Banyak industri memiliki dana tanggung jawab sosial. PTN seharusnya bisa meyakinkan mereka bahwa dana-dana yang mereka salurkan melalui PTN akan digunakan untuk membiayai atau mensubsidi kalangan yang kurang beruntung tadi.
Jika PTN memang bisa dipercaya, saya yakin perusahaan pun akan menyalurkan dana. Yang ironis malah, PTN mungkin sudah mendapatkan dana tanggung jawab sosial, sumbangan dana dari mahasiswa yang lulus seleksi mandiri pun tetap dibebankan. Jika ini terjadi, PTN sungguh telah memberikan contoh yang sangat kejam.
Revisi
Pada pelaksanaannya, harus diakui jika peran pemerintah memang sangat minim di dalam memantau roh sistem mandiri ini. Pemerintah terkesan menutup mata, membiarkan kewenangan sistem ini di tangan PTN secara mandiri pula. Padahal seorang rektor di PTN dipilih dan diawasi oleh Kemendikbudristek, kementerian yang mengelola seluruh perguruan tinggi di Indonesia dan yang seharusnya bertanggung-jawab untuk mewujudkan keadilan dan kemanusiaan di dunia pendidikan tinggi.
Dalam Indikator Kinerja Utama (IKU) yang dijadikan target kinerja para rektor PTN, tidak ada satu pun item yang menanyakan mengenai berapa banyak mahasiswa yang berasal dari kalangan yang kurang beruntung. Juga tidak ada indikator capaian berapa persen mahasiswa yang berasal dari kelompok yang termarjinalkan. IKU PTN kini berorientasi kepada “jualan-jualan” PTN dengan bungkus merek “World Class University”.
Baca juga: Kepemimpinan Perguruan Tinggi
Baca juga: Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri Diperbarui, Jalur Mandiri Tetap Ada
Karena itu Kemendikbudristek perlu mengembalikan roh seleksi mandiri ini ke semua PTN. Mendikbudristek harusnya memanggil semua rektor di PTN, meminta mereka menghentikan aksi-aksi koboi menggenjot sumber dana PTN dan mengabaikan idealisme pendidikan tinggi di negeri ini.
Penangkapan rektor seharusnya tidak disikapi seolah ini hanya masalah hukum semata. Tidak. Ini seharusnya membongkar kembali pemahaman kita mengenai pengelolaan pendidikan tinggi dan sistem seleksi mandiri. Kita menuntut pemerintah supaya PTN lebih banyak berpihak pada mereka yang tertinggal, termarjinal, dan terdiskriminasi.
Fotarisman Zaluchu, Pengajar di Prodi Antropologi Sosial, FISIP, Universitas Sumatera Utara; Penggiat di Perkamen