Nila Setitik, Rusak Seleksi Mandiri di Perguruan Tinggi Negeri Semuanya
Penghentian jalur SM tanpa memberi solusi hanya akan ”menyelesaikan masalah dengan masalah baru”. Jangan karena perbuatan oknum tertentu, semua PTN dianggap menyalahgunakan SM untuk kepentingan pribadi pimpinan PTN.
Masyarakat baru saja dikejutkan dengan adanya operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap beberapa pemimpin salah satu perguruan tinggi negeri di Lampung. Dari berita operasi tangkap tangan ini mencuat wacana yang kontra terhadap seleksi mandiri jalur masuk PTN.
Tulisan ini bermaksud memberikan gambaran secara lebih utuh dan obyektif tentang seleksi mandiri atau SM.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 6 Tahun 2020, saat ini perguruan tinggi negeri (PTN) memiliki tiga jalur penerimaan mahasiswa baru, yaitu Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), dan seleksi lainnya (dalam tulisan ini disebut sebagai SM).
Pertama, SNMPTN adalah jalur undangan bagi calon mahasiswa berprestasi, yakni untuk sebanyak minimal 20 persen dari daya tampung PTN.
Kedua, SBMPTN adalah seleksi masuk melalui tes tertulis. Proses seleksi kedua jalur tersebut dilakukan secara nasional dan dikelola oleh lembaga independen, yaitu Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT), untuk mengisi minimal 40 persen daya tampung PTN, kecuali PTN badan hukum minimal 30 persen dari daya tampung.
Ketiga, jalur SM adalah seleksi terhadap calon mahasiswa yang dilakukan oleh PTN sendiri, untuk maksimal 30 persen dari daya tampung PTN, kecuali PTN badan hukum maksimal 50 persen dari daya tampung.
Baca juga Rektor Unila Jadi Tersangka, Kemendikbudristek Segera Evaluasi PMB Jalur Mandiri
Sinisme dan tudingan miring terhadap keberadaan SM di PTN memang sudah ada sejak lama. Bagi perguruan tinggi swasta (PTS), SM bisa dianggap ”kapal keruk” yang mengurangi minat dan jumlah calon mahasiswa ke PTS.
SM di PTN yang bergelombang-gelombang seolah bersaing dengan PTS. Apalagi di kala pandemi Covid-19 seperti sekarang, banyak PTS yang masih kesulitan mendapatkan mahasiswa.
Selain itu, ada anggapan di masyarakat bahwa SM di PTN mengarah kepada komersialisasi kampus. SM bisa menjadi ajang penggalangan dana untuk pengembangan kampus, di mana selama ini alokasi dana dari pemerintah lebih kecil dibandingkan kebutuhan PTN.
Mengacu pada Permendikbud No 6 Tahun 2020, dalam besaran dan komponen biaya kuliah, jalur SM bisa berbeda dengan jalur SNMPTN dan SBMPTN. Pada jalur SM, selain uang kuliah tunggal (UKT) per semester, PTN diperbolehkan memungut sumbangan untuk pengembangan PTN yang dibayarkan sekali saja pada saat mahasiswa diterima. Sementara di jalur SNMPTN dan SBMPTN, PTN hanya diperbolehkan memungut UKT per semester.
Sisi positif dan negatif
Kasus operasi tangkap tangan oleh KPK beberapa hari lalu membuktikan dugaan bahwa SM juga mempunyai risiko penyalahgunaan. SM dianggap memiliki celah yang bisa membuka peluang suap dan memperkaya diri oknum pejabat PTN yang tidak berintegritas.
Walau SM memiliki risiko-risiko seperti disebut di atas, ada sisi positif jalur SM. Manfaat SM antara lain bisa digunakan sebagai jalur afirmasi yang tak bisa dilakukan melalui SNMPTN dan SBMPTN. Di dua jalur itu, prestasi akademik berupa urutan skor tertinggilah yang akan menentukan lolos seleksi secara nasional.
Bisa ditebak kalau berkompetisi secara bebas, yang akan lolos umumnya adalah calon mahasiswa yang berasal dari daerah yang memiliki infrastruktur pendidikan memadai. Dalam kondisi inilah SM bisa memberi ruang afirmasi bagi calon mahasiswa dengan berbagai latar belakang, misal dari daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), atlet, seniman, pemenang lomba karya ilmiah dan olimpiade sains, dan calon mahasiswa berlatar belakang ekonomi tidak beruntung.
Bisa ditebak kalau berkompetisi secara bebas, yang akan lolos umumnya adalah calon mahasiswa yang berasal dari daerah yang memiliki infrastruktur pendidikan memadai.
Di tangan pimpinan PTN yang berintegritas dan berjiwa sosial serta memiliki nasionalisme tinggi, SM menjadi sarana untuk memberi kesempatan mobilitas vertikal dan memutus rantai kemiskinan serta mengurangi kesenjangan.
Selain itu, SM juga untuk meningkatkan rasa persatuan karena pimpinan PTN bisa menyeleksi calon mahasiswa yang sesuai dengan nilai-nilai dan misinya dari berbagai pelosok Nusantara. Misi kampus yang berbeda akan membutuhkan talenta yang berbeda pula.
Dari sisi postur anggaran Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), jalur SM bisa menjadi salah satu solusi pendanaan PTN tanpa membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), khususnya untuk PTN badan hukum (PTN BH).
Sementara itu, penerimaan dari mahasiswa dan masyarakat di PTN satuan kerja dan perguruan tinggi negeri badan layanan umum (PTN BLU) adalah pendapatan negara bukan pajak (PNBP), sehingga termasuk APBN.
Berdasarkan data Postur Anggaran Kemendikbudristek 2021, alokasi anggaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) sebesar Rp 31,2 triliun. Anggaran tersebut tidak besar kalau digunakan antara lain untuk 125 PTN dan 2.990 PTS.
Sebagai informasi, dari pagu anggaran untuk fungsi pendidikan tahun 2021 sebesar Rp 550 triliun (20 persen APBN). Kemendikbudristek (di dalamnya ada Ditjen Dikti) mendapat Rp 81,5 triliun, sedangkan Kementerian Agama mendapat Rp 55,85 triliun, kementerian/lembaga lain Rp 23 triliun, dan transfer ke daerah Rp 299 triliun.
Dengan terbatasnya alokasi anggaran untuk PTN, sementara itu PTN dituntut target kinerja dan kualitas yang tinggi (masuk peringkat dunia), muncul dorongan dan kreativitas bagi pimpinan PTN untuk mencari sumber-sumber pendanaan untuk mencapai target kinerja. Saat ini pimpinan PTN harus menandatangani kontrak kinerja berupa indikator kinerja utama (IKU).
Mereka juga dituntut untuk terus meningkatkan mutunya dalam hal pengajaran, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, pengembangan sumber daya manusia, dan sarana dan prasarana penunjang Tridarma Perguruan Tinggi.
Pimpinan perguruan tinggi juga menjadi tumpuan untuk meningkatkan angka partisipasi kasar (APK), yakni perbandingan antara siswa pada jenjang pendidikan tinggi dan penduduk usia kuliah (dinyatakan dalam persentase) yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021 adalah 31,19 persen.
Untuk menambah mahasiswa guna menaikkan APK, perguruan tinggi harus mempunyai sumber daya yang memadai. Semua hal itu tentu membutuhkan inovasi pembiayaan yang salah satu sumbernya adalah dari jalur SM.
Baca juga Rektor-rektor PTN: Korupsi di Unila Cederai Kepercayaan Publik
Saatnya berbenah
Kemarahan dan kekecewaan publik, khususnya dari kalangan pendidikan tinggi, terhadap peristiwa operasi tangkap tangan di PTN yang terkait dengan SM, harus menjadi pemicu kita untuk introspeksi dan mencari akar masalah, bukan sekadar menghukum yang bersalah atau menutup jalur SM. Pemicu masalah bisa dari kebijakan di pusat ataupun implementasi di lapangan, misalnya terbatasnya pendanaan PTN dan integritas individu pimpinan PTN.
Pimpinan PTN yang memiliki wewenang tanpa dilengkapi tata pamong yang baik juga bisa tergoda untuk menyalahgunakan SM. Perlu diingat bahwa sistem sebaik apa pun tidak akan mampu menghadapi kolusi para pihak terkait.
Selain itu, kalau akar masalahnya di sistem pendidikan nasional atau Undang-Undang Pendidikan Tinggi dan peraturan turunannya, maka ini saatnya untuk berbenah.
Akhirnya, kasus SM yang berujung pada operasi tangkap tangan oleh KPK perlu disikapi secara bijak. Jangan hanya karena perbuatan oknum tertentu, kemudian semua PTN dianggap menyalahgunakan SM untuk kepentingan pribadi pimpinan PTN. Penghentian jalur SM tanpa memberi solusi hanya akan ”menyelesaikan masalah dengan masalah baru”.
Didi Achjari, Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Kepala LLDIKTI V Daerah Istimewa Yogyakarta Periode 2019-2021