Kapan Konflik Rusia-Ukraina Berakhir?
Sebagai pihak yang memulai perang, ekonomi Rusia tampaknya jauh dari kolaps. Walaupun ekonomi Ukraina sudah bangkrut, tetapi dengan kucuran dana dari Barat, Ukraina masih tetap bertahan. Lalu, kapan perang akan berakhir?
Pada Senin, 7 November lalu, saya diwawancarai oleh SBS Radio, salah satu stasiun radio yang dibiayai oleh Pemerintah Australia.
Pertanyaan pertama langsung menohok, mengapa Presiden Rusia, Vladimir Putin, sering melakukan sesuatu yang tidak masuk akal? Saya langsung menjawab bahwa memang bagi Barat, tindakan Putin sering dianggap tidak masuk akal, tetapi bagi Putin dan sebagian besar rakyat Rusia sebaliknya.
Dalam kasus konfliknya dengan Ukriana, misalnya, Putin tak akan membiarkan tiga negara penyangga (buffer states) seperti Georgia, Belarus dan Ukraina, menjadi pangkalan militer NATO, karena ini akan mengancam kedaulatan Rusia. Jika suatu negara terancam kedaulatannya, apa pun akan dilakukan.
Pertanyaan kedua, sejauh mana masyarakat Rusia menyukai Putin. Angus Roxburgh, mantan koresponden tetap BBC di Rusia, dalam bukunya The Strongman Vladimir Putin and the Struggle for Russia antara lain menulis, keberhasilan Putin dalam menangani perekonomian yang karut-marut yang ditinggalkan Presiden Boris Yetsin adalah kuncinya.
Selama enam tahun berkuasa dari 2000-2006, perekonomian Rusia tumbuh 6-7 persen. Inflasi turun dari 20 persen menjadi 9 persen. Utang Rusia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) turun dari 130 persen menjadi hanya 18 persen dan utang kepada Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 3,3 miliar dollar AS dibayar lunas.
Terlepas dari gaya Putin yang keras terhadap lawan politiknya dan sikapnya yang mengekang kebebasan pers, rakyat Rusia mengalami kehidupan yang nyaman secara materi.
Baca juga : Putin Tetapkan Status Darurat Militer
Kebebasan agama pun berkembang. Islam bahkan menjadi agama yang paling pesat berkembang. Ada sekitar 24 juta Muslim di Rusia, dan terbesar di Eropa. Dari sekitar 840 masjid di tahun 2.000, saat ini terdapat lebih dari 8.000 masjid di seluruh Rusia. Sebagian besar masyarakat masih trauma dengan zaman Yeltsin ketika mereka harus antre membeli roti.
Berbagai sanksi Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat AS) diharapkan dapat mengacaukan perekonomian Rusia, kemudian rakyat berontak dan Putin turun. Kenyataannya, Inggris sudah dua kali ganti perdana menteri, tetapi popularitas Putin justru meroket.
Popularitas Putin sempat menyentuh angka 83 persen menurut survei yang dilakukan oleh Levada Center, sebuah lembaga survei yang dianggap paling independen, yang dibiayai oleh Amerika.
Memang popularitas Putin sempat turun enam poin menjadi 77 persen setelah pada 21 Oktober lalu dia mengumumkan darurat militer dan mobilisasi parsial yang kurang disukai oleh kaum pebisnis dan milenial. Putin memanggil sekitar 300.000 tentara cadangan, dan bahkan baru-baru ini merekrut calon tentara dari kalangan narapidana.
Forbes memperkirakan sekitar 700.000 warga negara Rusia meninggalkan negaranya. Keadaan ini juga sempat membuat negara-negara bekas Uni Soviet kelabakan dengan membanjirnya warga negara Rusia.
Kazakhstan diperkirakan kedatangan sekitar 100.000 warga negara Rusia dan puluhan ribu warga Rusia lainnya mengalir ke negara tetangga lain seperti Tajikistan dan Kyrgyzstan.
Kapan perang berakhir?
Christopher Blattman dalam bukunya Why We Fight: The Roots of War and the Path to Peace antara lain menyebut bahwa perang akan berakhir jika salah satu atau kedua negara yang berperang tersebut kehabisan energi dan perekonomiannya ambruk.
Setelah itu, barulah dilakukan negosiasi. Pihak yang menang perang, biasanya akan mendikte hasil negosiasi.
Pertanyaannya, bagaimana kondisi ekonomi kedua negara saat ini akibat perang? Rusia sebagai pihak yang memulai perang, sejauh ini ekonominya jauh dari kolaps. Pemerintah Rusia memperkirakan perekonomiannya akan terkontraksi 3 persen tahun ini, walaupun para pengamat memperkirakan dua kali lebih besar.
Menurut ekonom dari Renaissance Capital, Sofya Donet, mobilisasi tentara cadangan teah menimbulkan tekanan (negative shock) pada sentimen konsumen. Diperkirakan hal ini akan menambah kontraksi terhadap pertumbuhan PDB Rusia sebesar 0,5 persen.
The Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) dalam laporannya pada 5 September lalu, sebagaimana dikutip Le Monde, menyebutkan, dalam semester I-2022 ini, Rusia telah meraup devisa sebesar 158 miliar euro dari hasil ekspor minyak dan gasnya sejak perang Rusia-Ukraina pecah.
Pertanyaannya, bagaimana kondisi ekonomi kedua negara saat ini akibat perang?
Ironisnya, ekspor terbesar Rusia adalah ke negara-negara anggota Uni Eropa. Dengan kata lain, perang justru menghasilkan pundi-pundi uang ke kas negara Rusia.
Bank Dunia melaporkan bahwa tahun ini ekonomi Ukraina diperkirakan akan terkontraksi 0,5 persen walaupun negara ini mendapat hibah (grants) yang sangat besar sebagai penghasilan tambahan dari negara-negara Barat.
Ekspor diperkirakan akan turun 30 persen year on year (yoy) secara nominal dan 60 persen secara riil. Sejak perang, Bank Dunia telah menggelontorkan bantuan senilai 13 miliar dollar AS. Walaupun secara teori, ekonomi Ukraina sudah bangkrut, tetapi dengan kucuran dana dari Barat, ekonomi Ukraina masih tetap bertahan.
Melihat dari kondisi ini, dapat dipastikan perang masih akan berlangsung cukup lama, bisa bulanan bahkan tahunan.
Pertanyaanya, sejauh mana Barat akan terus membekingi ekonomi Ukraina, sementara perekonomian kebanyakan negara-negara Barat, terutama Eropa, juga mengalami tekanan yang sangat luar biasa?
Demo-demo mulai terjadi di beberapa negara Eropa, menuntut kenaikan upah akibat melonjaknya harga-harga kebutuhan sehari-hari. Biaya gas per keluarga yang biasanya hanya sekitar 100 euro per bulan, melonjak menjadi tujuh bahkan sepuluh kali lipat. Musim dingin sebentar lagi akan tiba dan tekanan akan semakin kuat.
Dampak pada Indonesia
Tanggal 10 September lalu, ekonom dan mantan menteri keuangan RI Chatib Basri, dalam sebuah webinar yang diselenggarakan oleh PT Indexim Coalindo — salah satu dari sepuluh perusahaan tambang batubara terbesar di Indonesia— antara lain memprediksi bahwa Indonesia masih akan tumbuh di kisaran 5,2 persen tahun ini.
Dalam skenario terburuk pun, ekonomi Indonesia masih mampu tumbuh sekitar 4 persen. Memang dampak perang akan terasa terutama dengan melemahnya ekspor Indonesia akibat melemahnya rupiah. Namun demikian, dengan tingkat konsumsi domestik yang tinggi, perekonomian Indonesia masih akan bertahan di tengah krisis.
Berita bagusnya, Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja mengumumkan bahwa perekonomian Indonesia pada kuartal III-2022 tumbuh 5,72 persen yoy. Dengan demikian, perkiraan pertumbuhan 5,2 persen tahun ini sangat mudah tercapai. Namun demikian, tetap perlu dicermati akibat dari perang yang berkepanjangan.
Betul bahwa Indonesia menikmati keuntungan tak terduga (windfall profit) akibat melonjaknya harga komoditas seperti batubara dan kelapa sawit. BPS mencatat ekspor batubara ke Eropa untuk pertama kalinya meningkat secara tajam sejak terjadinya perang.
Pada kuartal kedua tahun ini, ekspor batubara ke Uni Eropa melonjak 143,7 persen menjadi 192,2 juta dollar AS. Secara keseluruhan, ekspor batubara Indonesia kuartal II-2022 mencapai 13,55 miliar dollar AS atau meningkat sebesar 78 persen.
Dalam skenario terburuk pun, ekonomi Indonesia masih mampu tumbuh sekitar 4 persen.
Absen di G20
Untuk kedua kalinya setelah kunjungannya ke Moskwa pada Agustus lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menelepon Presiden Putin, 2 November lalu.
Selain membicarakan tentang kembalinya Rusia bergabung ke Inisiatif Laut Hitam, Jokowi juga membicarakan berbagai isu bilateral dan tidak lupa mengingatkan Putin tentang pentingnya kehadiran Putin di KTT G20 di Bali.
Saat itu, Putin belum memberi kepastian, hanya berjanji akan mengirimkan perwakilan di tingkat tinggi. Akhir pekan lalu akhirnya diperoleh kepastian bahwa Putin tak akan hadir. Sebagai gantinya, Rusia mengirimkan Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov, yang beberapa kali mewakili Putin dalam berbagai pertemuan internasional.
Dari awal, memang kecil kemungkinan Putin menghadiri KTT G20 di Bali. Pertama, ia tak ingin dipermalukan di tengah para pemimpin, khususnya dari Barat. Kedua, Putin pada posisi yang sulit karena dia akan terlihat terisolasi di kalangan para pemimpin G20. Tentunya hal ini kurang memberikan citra yang baik di dalam negeri.
M Wahid Supriyadi Duta Besar LBBP RI untuk Federasi Rusia dan Republik Belarus 2016-2020, Penerima Diploma of Visiting Professor, Tomsk State University 2018