Betulkah etilen glikol (EG) berbahaya? Apa betul EG perusak ginjal? Sebelum menghakimi EG sebagai penyebab gagal ginjal akut, ada baiknya Kemenkes dan BPOM melengkapi data berapa kadar EG dalam darah dan urine pasien.
Oleh
ZEILY NURACHMAN
·5 menit baca
DIDIE SW
ilustrasi
Hingga 5/11/2022, kasus gagal ginjal akut mencapai 324 kasus dengan 102 pasien sembuh, 194 meninggal, dan 28 masih dalam perawatan. Dari pemberitaan, seolah ”tersangka” utama gagal ginjal akut adalah obat penurun panas sirop yang pelarutnya etilen glikol.
Pertanyaan mendasarnya: betulkah etilen glikol (EG) berbahaya? Apa betul EG perusak ginjal? Sebelum menghakimi EG sebagai biang keladi gagal ginjal akut (GGA), ada baiknya Kemenkes dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melengkapi data ilmiah berapa besar kadar EG dalam darah dan urine pasien sembuh, pasien meninggal, dan pasien dalam perawatan.
Kebetulan kami memiliki cucu balita berumur empat tahun, yang apabila demam atau sakit yang lain, obat sirop jadi pilihan. Kami tak tahu persis seberapa banyak EG yang telah diminum cucu kami dan mungkin juga jutaan balita Indonesia lainnya.
Yang jelas, dia tetap sehat hingga kini sebab kami menekankan dua hal untuk balita yang sakit: asupan gizi harus cukup dan banyak minum. Dehidrasi berkepanjangan pada balita, jika tak ditangani segera, berisiko mengakibatkan cacat permanen, bahkan kematian.
Ada yang luput dari perhatian Kemenkes dan BPOM pada laporan kematian anak akibat GGA: apakah pasien dalam kondisi malnutrisi/gizi buruk atau tidak, dan/atau pasien mengalami dehidrasi berat atau tidak?
EG (senyawa alkohol) adalah cairan tak berwarna, praktis tak berbau, berasa manis, kurang menguap, kurang kental, dan higroskopis. EG larut 100 persen dalam air dan bercampur baik dengan banyak cairan organik.
Di dalam hati, EG dioksidasi oleh enzim alkohol dehidrogenase (ADH) menjadi glikoaldehid, yang diikuti oksidasi lanjutan oleh enzim aldehid dehidrogenase menjadi asam glikolat. Pada tanaman, asam glikolat merupakan senyawa antara untuk mengubah asam lemak menjadi glukosa.
Asam glikolat dapat dioksidasi lagi jadi asam glioksilat di mana asam glioksilat ini merupakan prekursor untuk biosintesis asam amino glisin. Glisin adalah salah satu asam amino pembentuk protein. Pada jalur metabolisme lain, asam glioksilat dapat teroksidasi sempurna menjadi asam oksalat. Asam oksalat ini banyak ditemukan pada buah-buahan, seperti durian.
Metabolit (baik metabolit antara maupun metabolit akhir) yang terbentuk dari oksidasi EG tak ditemukan ada yang membahayakan tubuh. Artinya, ditinjau dari sisi metabolisme, EG aman selama tak melebihi batas konsentrasi yang bisa ditoleransi tubuh. Mirip gula yang jelas aman, tetapi saat kadarnya berlebih dapat menimbulkan penyakit diabetes.
Yang menarik dalam metabolisme alkohol adalah kerja ADH. ADH merupakan suatu isoenzim yang tak spesifik mengoksidasi jenis alkohol tertentu. Metanol (spiritus) dioksidasi ADH menjadi formalin yang sangat beracun bagi tubuh dan bisa menimbulkan kematian. Sementara, etanol dioksidasi oleh enzim yang sama justru menghasilkan asetaldehid yang paling bagus sebagai sumber energi atau bahan baku pembangun biomolekul. Sangat wajar jika etanol digunakan sebagai penawar keracunan metanol.
Kemenkes telah mengimpor fomepizole (4-metilpirazol) untuk mengatasi keracunan EG. Fomepizole (bisa disintesis dari bahan baku 2-metil-propenal dan hidrazin) menghambat kerja ADH secara kompetitif.
Penggunaan fomepizole akan bermanfaat jika kadar EG darah atau urine pasien diketahui. Penggunaan etanol sebagai alternatif penawar sangat mungkin mengingat waktu paruh hidup EG pada kisaran 3-8 jam. Etanol dapat berkompetisi dengan EG dalam mengikat ADH, seperti halnya etanol sebagai penawar keracunan metanol.
Kemenkes perlu melakukan observasi dan tindakan terhadap pasien di RS.
Uji forensik
Kerusakan ginjal merupakan kejadian panjang dan banyak sekali kemungkinannya. Musibah kematian akibat GGA akan jadi berkah bagi bangsa ini dan juga umat manusia jika pemerintah melakukan langkah bukan sekadar menyelamatkan pasien, tetapi juga menjelaskan mekanisme kerusakan ginjal.
Untuk membuktikan GGA akibat penggunaan parasetamol sirop, dua senyawa yang harus diteliti EG dan parasetamol. Kemenkes perlu melakukan observasi dan tindakan terhadap pasien di RS. Sementara BPOM perlu melakukan inovasi pengembangan teknik deteksi cepat dan akurat untuk menentukan kadar EG dan parasetamol dalam darah dan urine.
Ginjal merupakan organ penting dalam menyerap kembali zat penting, khususnya air, dan membuang sisa-sisa metabolisme. Membran tubular ginjal mengandung kanal aquaporin yang berfungsi menyerap air kembali. Tanpa aquaporin, orang perlu asupan air 200 liter per hari.
EG dapat menahan air. Overdosis EG sangat mungkin membuat ginjal mengalami dehidrasi. Berapa besar nilai dosis EG yang bisa merusak ginjal, ini tanggung jawab Kemenkes untuk menjawab. Tugas BPOM, membantu menentukan kadar EG dalam darah dan urine.
Untuk kepentingan pengetahuan medis, ada baiknya otopsi korban yang mengalami GGA dilakukan untuk melihat kondisi terakhir ginjal. Hasil otopsi bisa jadi menjelaskan apakah kerusakan ginjal terjadi akibat overdosis EG atau tidak. Selain itu, overdosis EG memicu pembentukan batu ginjal kalsium oksalat atau tidak?
Hasil otopsi mungkin dapat menjelaskan apakah overdosis EG di dalam tubuh memicu pembentukan senyawa eter mahkota atau tidak? Eter mahkota merupakan produk polimerisasi EG yang berbentuk lingkar. Eter mahkota lima dapat mengikat ion natrium, sementara eter mahkota enam mengikat ion kalium. Defisiensi ion natrium dan ion kalsium yang terekstrak oleh eter mahkota mungkin berkontribusi pada kerusakan ginjal.
Overdosis parasetamol
Kasus langka, tetapi mungkin terjadi adalah overdosis parasetamol. Overdosis parasetamol diketahui lebih merusak hati ketimbang ginjal. Namun, Ozkaya dkk (2010) melaporkan kasus sebaliknya di jurnal Renal Failure.
Seorang gadis 16 tahun mengalami overdosis parasetamol dengan meminum 25 pil parasetamol (12,5 g dan 250 mg/kg). Dua belas jam setelah menelan pil, dia mual dan muntah. Setelah diberi tindakan hi- drasi intravena selama 24 jam, ia membaik dan diizinkan pulang. Namun, hari ketiga rasa mual muncul lagi sehingga dia masuk IGD. Setelah diobservasi, ternyata ia mengalami gagal ginjal tanpa kerusakan hati akibat overdosis parasetamol.
Sepanjang yang diketahui, Kemenkes sampai kini belum memublikasikan berapa besar nilai dosis EG dan parasetamol yang ditelan pasien GGA. Ditambah, berapa besar nilai dosis EG dan parasetamol beredar di dalam darah dan urine pasien GGA yang sembuh, meninggal, dan sedang dirawat.
Padahal, data ini sangat diperlukan untuk menjelaskan mekanisme kerusakan ginjal. Masih banyak data ilmiah yang perlu dikumpulkan dan dianalisis Kemenkes dan BPOM agar negara tidak kalah di pengadilan karena kasus GGA.