Lompatan kreatif tak biasa dan perbaikan berketerusan pada tata kelola sistem inovasi bangsa tak dapat ditolak. Dosen dan peneliti layak dipandang sebagai kekuatan yang mampu menghadirkan impak pertumbuhan berlipat.
Oleh
Iwan yahya
·5 menit baca
Paruh kedua bulan Oktober selalu menjadi hari-hari sibuk dan penat para peneliti di universitas. Bagi sebagian dari mereka, urusan pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan terasa berat dan lebih menguras energi dibandingkan tantangan menjawab persoalan penelitian itu sendiri.
Berbeda dengan para sejawat diaspora Indonesia yang berkarier di mancanegara. Mereka memiliki keleluasaan untuk lebih berfokus mencurahkan energi pada subyek riset. Menghasilkan temuan penting, paten, dan publikasi di jurnal terkemuka. Atmosfer dan tradisi akademik di institusi mereka memang lebih kuat. Selain karena dukungan fasilitas dan jejaring yang baik, administrasi dalam tata kelola riset mereka tidak serigid kita.
Bukan untuk dibandingkan. Sungguh menjadi ironi apabila mengingat bahwa Indonesia telah merumuskan gambaran angan masa depan. Visi Indonesia 2045 merupakan kebulatan tekad bangsa untuk bergerak serempak. Berdaulat, maju, adil, dan makmur. Bangkit menjadi lebih sejahtera dan dihormati. Unggul dengan kekuatan berinovasi, penguasaan ilmu pengetahuan maju dan kearifan budaya. Lantas dosen harus bagaimana? Bukankah visi bangsa merupakan panggilan untuk berperan?
Kemewahan para dosen dan peneliti
Saya meyakini bahwa semua dosen niscaya memiliki hasrat kuat berprestasi. Ketajaman nalar dan dedikasi berkarya demi menjadi bagian barisan manfaat. Insan pengungkit baiknya penguasaan ilmu pengetahuan. Suar pencerah bagi mahasiswa serta penyumbang solusi bagi persoalan masyarakat. Lebih dari itu menjadi pemantik pertumbuhan ekonomi bangsa dengan kekuatan inovasi.
Maka benar jika universitas merupakan tempat yang menjanjikan dua kebaikan. Madrasah tempat berselarasnya kesadaran dengan kekuatan budaya dan integritas akademik yang teruji. Membentuk pribadi menjadi sosok yang lebih hebat atau bahkan sangat hebat.
Menjadi tantangan serius penguatan budaya akademik universitas. Penting karena persoalan integritas tidak dapat ditawar dan apalagi dinilai secara sembarangan.
Nun memang tak dapat dimungkiri bahwa masih terdapat beragam simpul masalah. Perkara pelaporan dan pertanggungjawaban anggaran penelitian misalnya. Masih terjadi. Tidak melulu berkait dengan mental koruptif karena konstrain administrasi yang ternilai terlampau rigid juga dipandang sebagai biang sengkarut. Menjadi tantangan serius penguatan budaya akademik universitas. Penting karena persoalan integritas tidak dapat ditawar dan apalagi dinilai secara sembarangan.
Di benak saya tebersit pertanyaan. Tidak bisakah pertanggungjawaban keuangan penelitian itu cukup dilihat sebagai anomali lokal? Kelemahan yang harus pupus dari sistem inovasi universitas dan atau lembaga riset menjadi tanggung jawab para rektor dan pimpinan lembaga. Karena sistem inovasi institusi akademik harus terjamin andal. Imun terhadap segala ragam ketidakpatutan. Seperti kearifan petani yang mafhum kaidah bercocok tanam. Menggunakan semua sendi akal budi sebagai pijakan ikhtiar mendapatkan panen berlimpah dan unggul.
Jika budaya dan integritas akademik telah menguat, anomali dalam sistem inovasi niscaya pupus. Bukan pilihan. Laksana debu di atas batu yang disapu alam dengan hujan sehari. Artinya, tak perlu memandangnya sebagai penghalang memunculkan lompatan progresif dalam kebijakan tata kelola riset dan sistem inovasi bangsa.
Ragam lompatan yang saya yakini paling diangankan para peneliti adalah ketentuan pertanggungjawaban yang cukup berupa wujud bukti tertelusur ketercapaian kinerja sesuai kontrak. Artinya, semua aspek dalam urusan keuangan telah diperiksa dan dinyatakan layak dan sah memenuhi semua ketentuan hukum sebelum kontrak dilakukan. Mungkinkah?
Regulasi yang progresif semacam itu mutlak kita perlukan. Dalam keadaan dunia nan berubah cepat dan disruptif, Indonesia memerlukan penyubur inovasi tak lazim. Sesuatu yang menghadirkan perasaan bertaut sebagai bagian ekosistem berprestasi. Kemudahan akses atas fasilitas memadai adalah di antaranya. Begitupun dengan keleluasaan berfokus terhadap subyek riset tanpa tekanan beban administrasi yang memberatkan. Bulir-bulir kemewahan yang menjadi impian sebagian besar dosen dan peneliti saat ini.
Menjadi laksana "self-fertilizing crops"
Menyandingkan visi Indonesia 2045 dengan metrik pencapaian Indonesia pada Global Innovation Index (GII) 2022 menghadirkan suka dan asa. Negeri kita bertengger di urutan ke-75 dari 132 negara. Membaik dari posisi ke-85 di tahun 2020 dan ke-87 di 2021. Banyak bagian yang membesarkan hati, di antaranya kepuasan pasar, infrastruktur ekonomi, dan bertumbuhnya relasi universitas dan industri.
Di sisi lain, publikasi kita ternilai lemah di ranking ke-128. Begitu pula dengan sitasi yang menduduki posisi ke-57. Masalah kinerja lingkungan, jumlah institusi penyaji pelatihan formal, dan rendahnya investasi global di bidang riset merupakan penanda eksak lemahnya posisi tawar kita terhadap eksosistem inovasi global.
”Innovation Momentum 2022: The Global Top 100 LexisNexis” menyajikan gambaran situasi yang baik kita ketahui. Bidang inovasi yang telah mengubah dunia sepanjang dan pascapandemi, termasuk siapa penyumbang peran terhebat. Genomics, metaverse, self-fertilizing crops, teknologi cetak tiga dimensi, datafication, kecerdasan buatan, dan machine learning, quantum computing, cryptocurrencies, smart devices, extended reality, dan new energy solution merupakan ragam inovasi yang berkembang melampaui bidang lain.
Masalah kinerja lingkungan, jumlah institusi penyaji pelatihan formal, dan rendahnya investasi global di bidang riset merupakan penanda eksak lemahnya posisi tawar kita terhadap eksosistem inovasi global.
Siapa juaranya? Bisa ditebak, China! Seperti tersaji dalam Science, Technology, Innovation Pocket Data Book yang diterbitkan Kementerian Sains dan Pendidikan Tinggi Rusia tahun 2022. Dari 2.381.038 jumlah artikel ilmiah yang ada di dunia tahun 2021, ilmuwan China menyumbang 23,2 persen atau sebanyak 551.282 paper melampaui Amerika Serikat yang menyumbang 21,7 persen atau sebanyak 517.024 artikel ilmiah.
China juga sangat perkasa di sektor paten. Dari 3.224.200 paten terdaftar dunia, sebanyak 1.328.067 atau 41,2 persen adalah milik China. Disusul AS (16,2 persen), Jepang (14,1 persen), dan Korea Selatan (7,7 persen). Sementara Jerman dan India di angka 5,5 persen dan 1,1 persen.
Saya bertanya dalam hati, apa rahasianya? Apakah berkait dengan insentif atau pembebasan pajak riset? Atau karena fasilitas pembiayaan membolehkan investasi peralatan? Karena administrasi mereka tidak memberatkan?
Apakah ilmuwan di Tsinghua University yang memiliki rekor portofolio riset terbesar di dunia juga harus menyertakan dokumen bermeterai—bahkan untuk belanja meterai bisa sebesar Rp 150.000—layaknya nasib dosen dan peneliti kita? Apakah lembaga besutan MIT dan Harvard University, Broad Institute, yang mencatatkan competitive impact terhebat di dunia memberlakukan kaidah serupa? Entah.
Memang bukan untuk dibandingkan. Maka, saya meyakini bahwa lompatan kreatif tak biasa dan perbaikan berketerusan pada tata kelola sistem inovasi bangsa tak dapat ditolak. Dosen dan peneliti layak dipandang sebagai kekuatan yang mampu menghadirkan impak pertumbuhan berlipat. Bagaikan self-fertilizing crops. Dapat dimaksimalkan dengan kaidah bercocok tanam yang tak biasa demi memperoleh panen berlimpah. Tidak saja untuk mencukupkan keperluannya sendiri.
Berkah dari impak inovasi menjadi asupan energi yang tertebarkan kepada mahasiswa, industri, dan masyarakat. Suar bagi peradaban dan kehebatan bangsanya. Saya percaya bahwa pesan semacam itu tersirat di balik Visi Indonesia 2045.
Duhai betapa hebatnya jika para dosen dan peneliti bertaut selaras dengan impian besar bangsanya. Wallahualam.
Iwan Yahya, Dosen dan Peneliti The Iwany Acoustics Research Group (iARG) Program Studi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta