Menanggapi artikel Eunike Sri Tyas Suci ”Reorientasi Publikasi Akademisi Indonesia” (25/9/2021) tentang kemanfaatan publikasi ilmiah para dosen, saya berpandangan, ilmu dan memanfaatkan ilmu adalah dua hal yang berbeda.
Oleh
DJOHANSJAH MARZOEKI
·3 menit baca
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Moh Nasir pernah mengungkapkan, publikasi jurnal bukan satu-satunya ukuran akademik seseorang, melainkan kemanfaatannya bagi masyarakatlah yang menjadi acuan utama.
Menanggapi artikel Eunike Sri Tyas Suci, ”Reorientasi Publikasi Akademisi Indonesia” (Kompas, 25/9/2021) yang, antara lain, menyoroti kemanfaatan publikasi ilmiah para dosen, saya berpandangan bahwa ilmu dan memanfaatkan ilmu adalah dua hal yang berbeda.
Ilmu itu tujuannya menunjukkan ada teori, yang dibuktikan benar. Teori itu, walaupun benar, belum tentu siap pakai, apalagi kalau itu termasuk ilmu dasar, bukan ilmu terapan. Ilmu memang tidak mengharuskan untuk dipakai, tetapi harus benar, lalu bisa disimpan.
Pemakaian ilmu tergantung kebutuhan, baik oleh ilmuwan lainnya maupun oleh teknokrat untuk dimanfaatkan bagi kepentingan manusia melalui lab atau industri. Yang memerlukan akan mencarinya dalam kepustakaan. Kalau yang dihargai hanya ilmu yang segera bermanfaat untuk masyarakat, harapan itu sempit. Apalagi kalau yang dimaksud masyarakat adalah kelompok tertentu atau bangsa tertentu.
Menurut Stephen Hawking, ilmu bermutu tinggi jika variabel pendukungnya sedikit, tetapi menghasilkan hukum yang berdampak luas.
Menurut Stephen Hawking, ilmu bermutu tinggi jika variabel pendukungnya sedikit, tetapi menghasilkan hukum yang berdampak luas. Misalnya, hukum Newton tentang daya tarik-menarik dua benda, dikatakan sebanding massanya dan berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya. Variabelnya hanya dua, massa dan jarak, tetapi dampaknya sangat luas, bisa untuk mengukur jarak bintang di langit.
Kalau berkaca dengan pendapat Hawking, mutu itu sama sekali tak tergantung adanya pemanfaatan kepentingan masyarakat lokal dan sesaat. Menggalakkan penelitian dan publikasi ke jurnal internasional yang bermutu oleh para dosen atau peneliti tentu sangat dihargai, baik berupa uang maupun kredit poin untuk kenaikan pangkat. Sering diperlukan sponsor dengan finansial yang kuat jika penelitian itu memakan biaya yang besar.
Baru saja saya baca, AstraZeneca di Inggris butuh biaya penelitian yang lebih besar dalam pengembangan vaksin. Dana yang tersedia saat ini masih kurang. Di negara maju, seperti Inggris, saja masih ada keluhan soal kekurangan biaya penelitian. Selain pemerintah serta pabrik obat, para filantropis dan orang-orang kaya sangat diharapkan bisa membantu membiayai penelitian tanpa pamrih.
Budaya ilmiah
Di Indonesia, penelitian mengenai obat akhir-akhir ini menjadi heboh karena banyak kalangan kurang mengerti tentang kaidah-kaidah penelitian, khususnya penelitian obat.
Semua penelitian itu harus independen agar tidak bias. Artinya, dia hanya tunduk pada kaidah penelitian atau ilmu itu sendiri tanpa dipengaruhi kepentingan personal, politik, dan budaya. Beberapa jurnal bahkan meminta pernyataan para peneliti untuk memastikan penelitian itu tak mengandung kepentingan pribadi. Jadi, tak ada yang menyebut penguasa, demokrasi, atau lokasi budaya.
Hal-hal demikian akan menjurus pada timbulnya bias. Bias juga bisa timbul karena adanya misconduct dari peneliti, misalnya terjadi rekayasa data, pemalsuan, dan plagiarisme.
Penelitian hanya mengacu pada metode ilmiah yang baku, perhitungan statistik, dan setelah selesai dilaporkan ke pertemuan ilmiah atau jurnal ilmiah untuk dievaluasi dan dikritik, apakah itu valid atau tidak, oleh peer group-nya. Peer group adalah para ilmuwan yang terkait. Merekalah yang bisa dan berhak menilai.
Apabila penelitian yang masih berjalan dikomunikasikan ke media sosial, televisi, Youtube, Instagram, Facebook, atau lainnya, dianggap tak etis. Begitu juga jika dibawa ke sidang DPR atau otoritas kekuasaan lainnya. Itu bukan tempatnya. Orang awam tak mengerti dan tak bisa mengevaluasi masalah ilmu yang dilakukan dalam penelitian.
Ada badan independen yang mengurusi ilmiahnya obat dan makanan, yakni Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) atau Food and Drug Administration (FDA) di AS. Badan ini berwenang mengawal serta menilai hasil-hasil penelitian obat dan makanan dan memberikan persetujuan peredaran. Kiranya perlu lebih digalakkan pengajaran Budaya Ilmiah di perguruan tinggi.
Djohansjah Marzoeki,Pengajar Filsafat Ilmu dan Budaya Ilmiah di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga