Kemandirian Industri Alat Kesehatan, Akankah Seindah Harapan
Banyak industri hulu di Indonesia yang sudah mampu memproduksi bahan baku berkelas medis. Tetapi masalahnya, industri hulu memiliki persyaratan jumlah minimum produksi agar dapat dijalankan dengan efisien.
Industri alat kesehatan Indonesia menghadapi tiga tantangan dan persoalan pokok yang saling terkait, dan harus disikapi dengan serius oleh para pemangku kepentingannya.
Ketiga tantangan itu, pertama, diperlukannya ketahanan dan kemandirian alat kesehatan dalam negeri, seperti diamanatkan Presiden Joko Widodo. Kedua, adanya kewajiban agar alat kesehatan dalam negeri memiliki Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang tinggi.
Serta ketiga, adanya kebutuhan bahwa alat kesehatan dalam negeri itu memenuhi persyaratan K4 (Kualitas, Keamanan, Kinerja, dan Ketersediaan).
Bila pemerintah melakukan kebijakan yang salah menyangkut ketiga hal tersebut, sangat mungkin industri kesehatan dalam negeri bukan saja sulit berkembang, namun akan terus mengalami kemerosotan.
Kemandirian
Harapan yang dilontarkan Presiden Jokowi tentang kemandirian dalam alat kesehatan di Indonesia tentu harus didukung. Presiden sendiri nampak kesal dengan ketergantungan terhadap produk impor, sampai-sampai terucap kata-kata: “Bodoh bila tidak membeli produk dalam negeri”.
Para pelaku bisnis alat kesehatan Indonesia sudah berjuang agar produk dalam negeri dapat mensubstitusi alat-alat kesehatan yang diimpor selama ini. Dapat dikatakan, upaya itu sudah mulai menampakkan hasil yang menggembirakan.
Baca juga : Kemandirian Industri Alat Kesehatan Terkendala Rantai Pasok hingga Hilirisasi
Sejauh ini, berbagai kementerian dan lembaga pemerintah juga terlihat cukup kompak dan konsisten dalam menjalankan kebijakan-kebijakan penciptaan pasar bagi alat kesehatan dalam negeri,
Di antaranya adalah, dengan tindakan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) untuk membekukan (freeze) alat kesehatan impor di dalam Katalog Elektronik Sektoral Alat Kesehatan bila alat kesehatan dengan spesifikasi yang sama telah dapat disediakan oleh industri alat kesehatan dalam negeri.
Impor alat kesehatan tersebut dapat diaktifkan kembali (unfreeze) bila terjadi kekurangan pasokan alat kesehatan dalam negeri dengan rekomendasi dari Kementerian Kesehatan.
Segenap proses ini telah mendorong tumbuhnya alat kesehatan dalam negeri (AKD). Namun ternyata, kemudian ada persyaratan lain yang melahirkan tantangan berikutnya.
Persyaratan yang penulis maksud adalah persyaratan TKDN minimal alat kesehatan, sebagaimana dikeluarkan Kementerian Perindustrian.
Pemerintah menetapkan aturan yang menyatakan bahwa produk alat kesehatan dalam negeri yang akan menjadi prioritas bagi pengadaan di fasilitas milik negara adalah alat kesehatan yang telah tersertifikasi TKDN dengan nilai kandungan lokal minimum 25 persen.
Selain itu, pengguna alat kesehatan wajib menggunakan produk dalam negeri apabila terdapat produk dalam negeri yang memiliki penjumlahan nilai TKDN dan nilai Bobot Manfaat Perusahaan minimal sebesar 40 persen. Semua nampak baik-baik saja sampai tiba pada rincian pelaksanaan di lapangan. Pada titik ini, ada sejumlah masalah yang harus diperhatikan oleh pemerintah.
Keterbatasan bahan baku dan komponen
Pertama-tama, untuk produk-produk alat kesehatan tertentu, sama sekali tidak mudah memperoleh nilai TKDN minimal 25 persen tersebut. Kita harus mengakui bahwa saat ini industri bahan baku dan komponen alat kesehatan masih jauh dari memadai. Masalahnya bukan sekadar terletak pada kemampuan, tetapi juga pada permintaan pasar.
Industri alat kesehatan di seluruh dunia berskala relatif kecil, tetapi membutuhkan bahan baku dan komponen dengan spesifikasi khusus. Secara umum, bahan baku industri alat kesehatan harus berkelas medis. Banyak industri hulu di Indonesia yang sudah mampu memproduksi bahan baku berkelas medis. Tetapi masalahnya, industri hulu memiliki persyaratan jumlah minimum produksi agar dapat dijalankan dengan efisien.
Permintaan pasar industri alat kesehatan Indonesia saat ini masih jauh dari memadai untuk memenuhi persyaratan jumlah minimum produksi, sehingga dapat dipahami bila industri hulu enggan untuk memproduksi bahan baku dan komponen alat kesehatan.
Masalah ini lebih terasa pada produk alat kesehatan elektromedis, karena komponen utama yang mendominasi komponen harga produk, masih harus diimpor dari luar negeri.
Bila masalah ini tidak diatasi, maka industri alat kesehatan Indonesia —khususnya industri alkes elektromedis— akan terus bergantung kepada komponen impor. Ini berarti mereka harus bersiap-siap mendapatkan nilai yang rendah, bahkan bahkan lebih kecil dari 25 persen, saat sertifikasi TKDN.
Bila masalah ini tidak diatasi, maka industri alat kesehatan Indonesia —khususnya industri alkes elektromedis— akan terus bergantung kepada komponen impor.
Untuk mengatasi ini, peran pemerintah sebenarnya merupakan keniscayaan. Pemerintah, khususnya Kementerian Perindustrian, sebaiknya mulai bekerja dengan semua asosiasi industri untuk menyediakan bahan baku, komponen dan laboratorium pengujian yang memenuhi syarat industri alat kesehatan, dan —pada saat yang sama— memastikan bahwa hasil produksi industri hulu dapat diserap oleh industri alkes.
Salah satu pilihan lain yang dapat dipertimbangkan adalah pemerintah menugaskan salah satu perusahaan BUMN untuk menjadi “pengepul” dengan membeli hasil produksi industri hulu, lalu menjualnya kepada industri alat kesehatan lokal dengan harga subsidi sambil mencari peluang ekspor, agar dapat menjual bahan baku dan komponen tersebut ke pasar ekspor dengan harga yang pantas.
Syarat TKDN dan persaingan pasar
Masalah pertama ini akan segera diikuti dengan masalah kedua, yaitu penggeseran fungsi TKDN sebagai pembentuk ekosistem dan pendorong efek berganda menjadi alat untuk memenangi persaingan pasar dan mengunci posisi pesaing, bila perlu dengan mengorbankan aspek K4, yang sebenarnya dilindungi oleh UU No 36/2009.
Saat ini prioritas pembelian pertama oleh lembaga-lembaga pemerintah diberikan kepada produk bersertifikat TKDN dan BMP minimal 40 persen. Prioritas kedua diberikan kepada produk bersertifikat TKDN minimal 25 persen sampai dengan di bawah 40 persen.
Prioritas ketiga diberikan kepada produk Alat Kesehatan Dalam Negeri (AKD) yang belum tersertifikasi TKDN atau memiliki sertifikat TKDN dengan nilai kurang dari 25 persen. Dan prioritas terakhir diberikan kepada alat kesehatan impor (produk AKL).
Akibatnya, saat ini para pelaku usaha alat kesehatan berlomba-lomba mengejar TKDN dan BMP minimal 40 persen atau bahkan lebih. Ini artinya bobot keamanan, kualitas, kinerja, tidak lagi menjadi pusat perhatian. Penguatan penerapan TKDN dimaknai sebagai sinyal untuk memilih produk yang nilai TKDN-nya paling tinggi, apapun kondisinya.
Tata kelola seperti ini berpotensi menyebabkan pengusaha berlomba-lomba menaikkan TKDN dengan cara apapun juga, termasuk memaksa menggunakan komponen atau bahan baku lokal yang bisa saja tidak memenuhi syarat, dengan mengabaikan K4.
Perlu dipahami bahwa alat kesehatan adalah bagian sehari-hari dari perawatan kesehatan dan tindakan penyembuhan pasien. Orang yang mencari kesembuhan dapat terkorbankan karena alat kesehatan yang tidak aman, dan jumlah korban ini bisa amat sangat luas.
Korbannya juga adalah para pasien dan konsumen yang biasa kita sebut “the vulnerable” (mereka yang rentan).
Kedua lembaga survei ini sudah terengah-engah saat menerima permintaan layanan survei karena keterbatasan kapasitas.
Keterbatasan surveyor
Masalah ketiga yang harus diperhatikan adalah kemungkinan perlambatan investasi dan penguasaan teknologi akibat penerapan TKDN yang berlebihan. Alih-alih menghasilkan kemandirian dan efek berganda, penerapan TKDN berlebihan dapat melemahkan minat pengusaha untuk berinvestasi dalam industri alat kesehatan (karena usaha alat kesehatan akan dimonopoli oleh produk ber-TKDN tertinggi di pasar).
Hal ini perlu dipahami karena mendapatkan sertifikat TKDN tidaklah mudah dan murah. Saat ini hanya tersedia dua lembaga survei yang dapat membantu Kementerian Perindustrian untuk melakukan sertifikasi TKDN, yaitu Surveyor Indonesia dan Sucofindo.
Kedua lembaga survei ini sudah terengah-engah saat menerima permintaan layanan survei karena keterbatasan kapasitas. Karena itu, kita harus mengerti bila biaya survei menjadi sangat tinggi.
Panjangnya antrean dan tingginya biaya survei merupakan faktor penghambat yang serius bagi proses sertifikasi TKDN, khususnya bagi industri kecil dan menengah.
Mafia alat kesehatan?
Dengan melihat fakta di atas, kita dapat membayangkan bahwa jalan masuk ke gelanggang usaha alat kesehatan dalam negeri yang telah disediakan oleh pemerintah menjadi sangat sempit untuk pengusaha alat kesehatan baru.
Kondisi ini bisa menimbulkan kecurigaan bahwa sertifikasi TKDN ini merupakan cara tersembunyi untuk memenuhi hasrat mafia-mafia alat kesehatan dalam negeri untuk memonopoli gelanggang usaha ataupun hasrat mafia-mafia alat kesehatan impor untuk melindungi usahanya.
Baca juga : Kerja Sama Periset dan Industri untuk Kemandirian Produksi Alat Kesehatan
Bila pada akhirnya produsen alat kesehatan memilih untuk “melempar handuk” dan keluar dari gelanggang, maka tujuan menggunakan peraturan ini untuk mendorong timbulnya efek berganda juga tidak akan tercapai.
Perlu diingat pula bahwa alat kesehatan —khususnya alat kesehatan elektromedis— harus terus-menerus berkembang dari sisi teknologi. Setiap peningkatan teknologi secara otomatis berisiko untuk menurunkan nilai TKDN karena teknologi baru belum tentu langsung didukung oleh bahan baku dan komponen yang memadai di dalam negeri.
Bila persyaratan TKDN memberatkan dunia usaha, maka pengusaha cenderung untuk bertahan dengan teknologi yang ketinggalan zaman, demi mempertahankan nilai TKDN yang setinggi-tingginya.
Untuk mencegah dampak negatif dari peraturan tentang TKDN, pemerintah dapat memberikan tenggat waktu kepada industri alat kesehatan dalam negeri untuk dapat memenuhi persyaratan sertifikasi TKDN minimum 25 persen.
Selama masa transisi, industri alat kesehatan dalam negeri yang belum memenuhi persyaratan dapat menikmati prioritas pengadaan sampai dengan pagu tertentu. Bila masih gagal memenuhi syarat selama tenggat waktu yang telah ditentukan, barulah produknya tidak dapat lagi menikmati prioritas pengadaan untuk alat kesehatan dalam negeri.
Randy H Teguh Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Indonesia