Kemandirian Industri Alat Kesehatan Terkendala Rantai Pasok hingga Hilirisasi
Pengembangan industri alat kesehatan dalam negeri sampai saat ini masih menemui sejumlah kendala, mulai dari kurangnya dukungan salah satu rantai pasok hingga belum terbangunnya hilirisasi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan industri alat kesehatan dalam negeri sampai saat ini masih menemui sejumlah kendala, mulai dari kurangnya dukungan salah satu rantai pasok hingga belum terbangunnya hilirisasi. Kendala ini dinilai dapat dikikis dengan meningkatkan jaringan antara peneliti dan industri serta dukungan penuh dari pemerintah.
Sekretaris Jenderal Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Indonesia Randy H Teguh mengakui lambatnya kemandirian industri alat kesehatan (alkes) disebabkan kemacetan salah satu mata rantai pasokan. Sebagai contoh, pembelian alkes dalam negeri masih belum konsisten dan adanya berbagai masalah terkait katalog elektronik (e-catalogue) dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
”Penyebab lain adalah ekosistem yang belum lengkap, seperti komunitas produsen dan bahan baku atau komponen lainnya yang masih terbatas. Interaksi hulu dan hilir juga masih kurang efektif sehingga semua aspek ini harus dilengkapi,” ujar Randy dalam webinar bertajuk ”Kebangkitan Riset dan Inovasi dalam Pengembangan Industri Alkes dalam Negeri”, Jumat (3/9/2021).
Dari hasil pembelajaran penyesuaian bisnis yang dilakukan Gakeslab, industri cenderung mengadopsi inovasi yang mudah dipahami dan sejalan dengan usahanya. Faktor sistem monetisasi inovasi yang jelas dengan periode pengganti modal yang lebih pendek atau mudah dijual juga menjadi pertimbangan lainnya oleh industri.
Jumlah industri alkes dalam negeri yang memiliki tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) baru 3 persen. Bahkan, transaksi alkes dalam negeri dengan TKDN di katalog elektronik juga masih 22 persen.
Sejak 2017 Gakeslab telah mengembangkan alkes dalam negeri. Salah satunya melalui kerja sama pengadaan mesin dan bahan baku lokal dengan persatuan insinyur Indonesia. Gakeslab juga menjalin kerja sama pengembangan alkes dengan sejumlah perguruan tinggi, membentuk komite biomedik, serta melobi calon investor dan perusahaan asing untuk alih teknologi.
Randy juga menyoroti komunikasi dan dukungan pemerintah dalam menetapkan kebijakan penentuan harga alkes dalam negeri, seperti produk tes antigen. Harga tes antigen di kataog elektronik tercatat sebesar Rp 100.000, sedangkan pemerintah menetapkan batas tarif maksimal di Jawa-Bali Rp 99.000 dan luar Jawa-Bali Rp 109.000.
Menurut Randy, ketentuan tersebut perlu didiskusikan lebih lanjut mengingat harga jual ke faskes tidak bisa lebih rendah daripada katalog elektronik. Di sisi lain, tes antigen juga memerlukan biaya peralatan lain, administrasi, maupun penggunaan laboratorium.
Randy memastikan bahwa Gakeslab dapat menjadi aset dalam mendukung kemandirian alkes. Sebab, Gakeslab memiliki kompetensi dan jejaring lengkap pada setiap mata rantai industri maupun distribusi alkes. Gakeslab juga memiliki kode etik yang menjaga anggota berjalan di jalur beretika untuk memastikan kualitas, keamanan, kinerja, dan ketersediaan.
Pendiri Indonesian Medical Education and Research Institute (IMERI) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Budi Wiweko mengatakan, ekosistem riset di suatu negara termasuk di perguruan tinggi sangat mendukung pengembangan alkes dalam negeri.
Oleh karena itu, IMERI-FKUI bekerjasama dengan Gakeslab Indonesia pusat teknologi ilmu medis bernama IMEGA Medical Science Technopark. Sarana ini akan meningkatan transfer teknologi antara peneliti dan industri, penguatan sumber daya manusia, serta membangun pusat uji klinis dan alkes nasional.
“Hal terpenting lainnya yaitu akan dibangun pelatihan pemasaran alkes. Alkes tersebut akan digunakan di wahana pendidikan dan laboratorium serta pelatihan dokter-dokter muda. Jadi, untuk membangun ketahanan dan kemandirian di bidang alat kesehatan sangat perlu melakukan terobosan baik di unversitas, pemerintah, dan industri,” ucapnya.
Komponen dalam negeri
Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Ketahanan Industri Obat dan Alat Kesehatan Laksono Trisnantoro mengatakan, selama pandemi terjadi peningkatan industri alkes yang cukup signifikan. Tercatat pada 2019 jumlah industri alkes hanya 313 unit dan meningkat menjadi 871 unit pada 2020 serta 891 unit pada 2021.
Meski demikian, jumlah industri alkes dalam negeri yang memiliki tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) baru 3 persen. Bahkan, transaksi alkes dalam negeri dengan TKDN di katalog elektronik juga masih 22 persen. Sedangkan 78 persen transaksi alkes di katalog elektronik merupakan transaksi produk tanpa TKDN.
”Isu TKDN ini sangat penting sebagai bentuk kebangkitan riset. Kami berharap industri dan peneliti menggunakan indikator TKDN sebagai pemicu dalam kebangkitan riset. Hal ini berkaca dari perkembangan TKDN di sektor lain,” katanya.
Laksono juga mendorong agar pandemi dapat menjadi momentum untuk terus meningkatkan inovasi alkes dalam negeri. Sebab, tingginya kebutuhan masyarakat terhadap alkes dapat menjadi peluang untuk menggantikan produk sekaligus mengejar ketertinggalan Indonesia dalam riset dan inovasi. Potensi ekonomi di sektor kesehatan juga sangat besar, setara Rp 300 triliun dengan volume bisnis alkes mencapai Rp 40 triliun.