Salah satu cara paling jitu untuk menangani krisis dan ancaman resesi dalam skala global adalah dengan kembali memeriksa prinsip antropologis etis laku ekonomi kita masing-masing.
Oleh
NOVIA UTAMI
·6 menit baca
Resesi ekonomi menjadi perbincangan hangat di lini masa. Mulai dari ekonom hingga influencer beramai-ramai bicara soal resesi. Ditambah lagi, peraih nobel ekonomi tahun ini juga bicara soal krisis dan resesi yang rasanya semakin meyakinkan kita bahwa dunia akan mengalami resesi secara global.
Ketakutan massal akan adanya ancaman resesi menjadi masuk akal, manakala dunia saat ini terhubung dengan sangat kuat. WE Moore dalam tulisannya Global Sociology: The World as a Singular System (1966), memberikan argumentasi bahwa kehidupan manusia di satu tempat dipengaruhi oleh peristiwa dan proses di tempat lain. Dalam arti tertentu, bisa jadi ketakutan akan resesi di tempat lain memberikan teror psikologis bagi yang lain. Namun, tentu saja kepanikan masal ini harus diatasi baik secara individual maupun kelompok.
Sebagaimana yang diutarakan Andreas Maryoto dalam tulisannya, ”Komunikasi Resesi”, dalam harian Kompas, edisi 6 Agustus 2020. Sungguh menarik untuk disimak kembali artikel tersebut, lantaran mengajak semua pihak, terlebih masyarakat, untuk tidak terbawa arus panik dalam narasi resesi yang merebak di media.
Dalam artikel tersebut Andreas Maryoto mengatakan bahwa otoritas harus mampu mengartikulasikan secara umum agar informasi mengenai resesi mampu dicerna publik secara jelas dan terpilah, mulai dari informasi ekonomi terkini, pengelolaan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, potensi ancaman resesi, hingga syarat resesi itu sendiri. Jangan sampai kesempatan ini disalahgunakan oleh para pembajak situasi yang sok-sokan tahu dan mampu menganalisis situasi resesi ini, padahal memiliki motif lain, seperti jual pamor, jualan buku, atau jualan jasa konsultasi.
Kepentingan diri
Sudah banyak alternatif kebijakan yang diungkapkan terkait hal itu. Namun, ada hal yang rasanya terlewatkan, yakni imbauan untuk merefleksikan pembangunan berkelanjutan dari kegiatan ekonomi yang sudah, akan, dan belum dilakukan, baik dalam skala mikro maupun makro. Termasuk dalam hal ini, mencoba memeriksa jauh ke belakang, untuk mengingat kembali keutamaan (virtue) ekonomi dalam menggerakkan roda kehidupan manusia.
Banyak pemikir dan ekonom yang mencoba merumuskan prinsip utama ekonomi secara mendasar, salah satunya adalah FY Edgeworth. Baginya, prinsip atau lebih tepatnya jantung dari roda perekonomian adalah kepentingan diri (self-interest). Setiap manusia selalu akan mengupayakan tercapainya kepentingan diri tersebut.
Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa gagasan Edgeworth mengenai kepentingan diri tersebut mengacu kepada dua aspek yang sayangnya, tanpa kita sadari telah masuk ke sanubari kita manakala melakukan aktivitas dalam horizon ekonomi modern. Aspek pertama, mengenai politik merebut kekuasaan, dan yang kedua mengenai mendapatkan keuntungan (harta) sebanyak mungkin. Kesalahpahaman akan keutamaan dasar dari ekonomi ini yang menjadi pemantik terjadinya krisis.
Aspek pertama, mengenai politik merebut kekuasaan, dan yang kedua mengenai mendapatkan keuntungan (harta) sebanyak mungkin. Kesalahpahaman akan keutamaan dasar dari ekonomi ini yang menjadi pemantik terjadinya krisis.
Dalam pandangan umum, kepentingan diri sering kali disamakan dengan egoisme atau keberpusatan diri (selfishness). Padahal, itu adalah hal yang berbeda. Setidaknya ada dua perbedaan.
Pertama, orang yang berkepentingan diri masih memiliki simpati kepada orang lain. Sementara orang yang berpusat pada dirinya tidak memilikinya.
Kedua, orang yang berkepentingan diri melihat implikasi dari tindakan yang dilakukan orang lain terhadapnya dan akan mempertimbangkan sikap dan tindakannya kepada orang lain. Sementara orang yang berpusat kepada dirinya hanya melihat bagaimana tindakan orang lain terhadapnya, apakah berpengaruh terhadap maksimalisasi kesejahteraannya atau tidak.
Tentu saja, ini adalah pemodelan teoritis yang masih harus dicermati, apakah memungkinkan menerapkan model ini pada skala yang lebih besar. Tetapi, setidaknya, kita tetap membutuhkan pertanyaan itu agar tetap waras di hadapan monster leviathan.
Sebuah diskursus
Adam Smith merupakan bapak ekonomi modern, yang dikenal berkat karyanya, The Wealth of Nation. Sistem ekonomi Smith itu digambarkan sebagai sistem yang melibatkan banyak sekali orang yang berinteraksi satu sama lain, dan tentu saja mereka mengejar kepentingan dirinya masing-masing. Namun, dalam proses mengejar kepentingan diri tersebut tidak terjadi chaos, tetapi tatanan.
Smith mengatakan bahwa salah satu tujuan ekonomi adalah kesejahteraan umum, dan hal itu sebenarnya terjadi karena suatu kondisi yang tidak disengaja dari pengejaran kepentingan diri masing-masing orang. Dengan kata lain, ada semacam gravitasi ekuilibrium dari laku ekonomi sehingga tercipta tatanan yang begitu harmonis.
Namun, pandangan Smith tersebut memiliki masalah, yakni ia terlalu yakin bahwa dalam mengejar kepentingan diri semua orang sama dan berbudi baik. Ia tidak melihat kemungkinan ketika seseorang memaksimalkan kekuasaannya untuk menguasai pasar, maka konsepsi Smith akan kesejahteraan umum terbantahkan dengan sendirinya.
Celah mengenai pemahaman kepentingan diri dalam studi ekonomi pada prosesnya disempurnakan oleh Amartya Sen. Ia merupakan peraih nobel ekonomi tahun 1998 yang memberikan terobosan bagi indeks pembangunan manusia yang hingga kini masih digunakan.
Sen memberikan beberapa evaluasinya terhadap konsep kepentingan diri. Ia pernah menulis artikel berjudul Goals, Commitment, and Identity (1985), bahwa ciri rasionalitas dari ekonomi itu sendiri adalah kepentingan diri yang terdiri dari tiga kategori, yakni kesejahteraan, tujuan, dan tindakan.
Pertama, kesejahteraan seseorang hanya bergantung kepada pemenuhan kebutuhan dirinya sendiri. Kedua, satu-satunya tujuan adalah maksimalisasi kesejahteraan diri. Ketiga, setiap tindakan memilih secara langsung didasarkan kepada pengejaran tujuan diri. Ketiga kategori tersebut diisyaratkan selalu ada dalam kegiatan ekonomi, tetapi dalam pelaksanaannya haruslah dipilah berdasarkan konteks historisnya.
Antropologis etis
Krisis mengandaikan suatu ketidakstabilan, adanya goncangan yang disebabkan motif tertentu. Misalkan saja The Credit Crisis Tahun 1772. Krisis itu terjadi disinyalir lantaran Kerajaan Inggris mengumpulkan harta melalui kepemilikan perdagangan di wilayah jajahannya sehingga memantik kesombongan diri yang berakibat kepada ekspansi kredit besar-besaran. Hingga pada suatu saat, mitra Bank Inggris kabur karena berutang banyak, dan hal itu memicu kepanikan yang berakibat krisis.
Contoh lain adalah ketika terjadi krisis minyak tahun 1973. Diawali oleh negara-negara OPEC ingin membalas Amerika yang mengirim pasokan senjatanya ke Israel selama perang. Negara-negara OPEC pada saat itu mendeklarasikan embargo minyak dan menghentikan ekspor ke Amerika dan sekutunya sehingga terjadi krisis ekonomi di AS dan negara maju lainnya.
Dua contoh krisis tersebut rasanya dapat membantu kita untuk melihat lanskap dari sebuah krisis yang terjadi karena menjalankan laku ekonomi dalam perspektif kepentingan diri secara sempit.
Jika mau melihat jauh ke belakang dan berani mengakuinya, salah satu cara paling jitu untuk menangani krisis dan ancaman resesi dalam skala global adalah dengan kembali memeriksa prinsip antropologis etis laku ekonomi kita masing-masing. Tanpa fondasi yang kokoh, pilihan dan tindakan yang dilakukan hanya akan mengikis keseimbangan ekuilibrium.
Visi antropologis etis dalam wujud yang paling subtil adalah merefleksikan kepentingan diri dan memastikannya sejalan dengan visi antropologis etis tersebut sehingga ekosistem, pasar, dan kehidupan akan tetap stabil dan kondisi ekuilibrium tetap terjaga. Hanya inilah cara agar krisis dan resesi dapat diatasi lewat cara yang mendasar, dan bukan hanya berkutat pada hal instrumental belaka.
Novia Utami, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Atma Jaya, Jakarta