Peter Carey menghadirkan sosok Diponegoro sebagai keterwakilan perjuangan nilai-nilai universal terhadap nilai-nilai penindasan sosial dan dampak dari perlawanan tersebut bagi proses transformasi sosial.
Oleh
WIJANARTO
·6 menit baca
Nama Pangeran Diponegoro bukan hanya warisanepikbagi bangsa ini. Namun, juga menumbuhkan warisan mitos yang dipelihara pula. Mitos itu melengkapi bagaimana Diponegoro sangat penting dalam merekonstruksi identitas yang berkait dengan api perjuangan nasionalisme. Imajinasi ihwal jati diri diperlukan dengan menghadirkan sosok seorang Diponegoro. Sebagaimana Mohammad Yamin merekonstruksikan profil Diponegoro dan Perang Jawa (1825-1830) dalam buku Sedjarah Peperangan Diponegoro: Pahlawan Kemerdekaan Indonesia (1952). Bagi bangsa Indonesia, Diponegoro tidak sekadar memorabilia historis, tetapi ia adalah dian yang tak harus sirep. Di tangan penyair Chairil Anwar, Diponegoro menggelegak bagai bara api: ”…..di depan sekali tuan menanti/tak gentar lawan banyaknya seratus kali/pedang di kanan keris di kiri/berselubung semangat yang tak bisa mati.
Peter Carey menghidupkan kembali Diponegoro bukan sekadar sebagai sosok. Artinya, elan perjuangannya pun diperlukan tidak hanya untuk masanya, tetapi juga hari ini diperlukan sosok absolut: Diponegoro. Seolah ia telah menegaskan takdirnya dan masa depan tanah Jawa seperti diterakan dalam kutipan Babad Diponegoro, wus dadi karsaning sukma/Tanah Jawi pinasthi mring Hyang Widi/kang duwe sira/datan ana iya maning-maning (Peter Carey, Takdir, 2014).
Komitmen Peter Carey adalah menghadirkan tokoh Diponegoro bukan sekadar tokoh lokal dengan perjuangan kelokalan. Peter Carey menghadirkan sosok Diponegoro sebagai keterwakilan perjuangan nilai-nilai universal terhadap nilai-nilai penindasan sosial dan dampak dari perlawanan tersebut bagi proses transformasi sosial. Amatan ini jelas pada buku magnum corpus Peter Carey, Kuasa Ramalan Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 (2011), yang menelisik tidak hanya sosok Diponegoro, tetapi juga fase dalam sejarah Nusantara, khususnya di Jawa, soal tumbangnya kekuatan lama (ancient regime) dan munculnya tatanan baru.
Peter Carey menghadirkan sosok Diponegoro sebagai keterwakilan perjuangan nilai-nilai universal terhadap nilai-nilai penindasan sosial dan dampak dari perlawanan tersebut bagi proses transformasi sosial.
Percakapan intim dan sumber otoritatif
Rekonstruksi Diponegoro yang dilakukan Peter Carey melalui dua pendekatan, yakni menggunakan sumber yang bersifat insider berupa autobiografi Pangeran Diponegoro (Babad Diponegoro) yang ditulis selama 9 bulan di pengasingan Manado kurun 1831-1832. Namun, sebagaimana diakui Carey dalam pengantar buku ini, sumber-sumber insider, khususnya babad, mengandung resiko dan cenderung membenarkan interpretasi pribadi di atas peristiwa yang sebenarnya terjadi (hlm 4). Selain sumber insider, Carey menggunakan sumber yang disebutnya outsider insider. Sumber yang berupa buku harian, percakapan yang dituliskan dalam jurnal pribadi ataupun diteruskan dalam laporan, berasal dari orang-orang luar yang berada di dalam lingkaran hidup (akhir) Diponegoro setelah ditangkap di rumah Residen Magelang.
Ada empat tinggalan naskah yang tergolong outsider insider dengan rupa buku harian, jurnal pribadi, laporan dan surat menyurat tersebut. Mereka diuntungkan dekat dengan lingkaran hidup Sang Pangeran dalam mengiringi perjalanan dari Magelang menuju Semarang, hingga diteruskan ke Batavia. Mereka yang mendampingi di atas geladak kapal Pollux saat menuju ke Manado serta yang menemui di Fort Rotterdam. Menurut Carey, tinggalan mereka menjadi warisan berharga dan sumber otoritatif untuk merekonstruksikan Diponegoro dalam perspektif nilai sejarah.
Keempat penyusun laporan percakapan dengan Diponegoro dipersatukan hal yang sama, yakni sama-sama berdinas di ketentaraan Kerajaan Belanda. Mereka masing-masing Julius Heinrich Knoerle. Knoerle adalah perwira yang mendampingi rombongan tawanan Pangeran Diponegoro sesaat diperdaya Jenderal Kock di Magelang hingga menuju Semarang sebelum dibawa ke Batavia. Ia seorang polyglot yang menguasai beberapa bahasa, seperti Prusia Kuno, Jerman, Belanda, Melayu, dan Jawa. Kefasihannya dalam berbahasa Jawa membuat perwira Knoerle menyelami percakapan dengan Diponegoro bahkan membuat interaksi intim. Bahkan, Sang Pangeran menyebut panggilan Knoerle dengan sapaan familiar menggunakan kata kowe (kamu) seperti halnya dengan pengawal perwiranya serta Pangeran Hendrik (hlm 18).
Kedua, Johan Jacob Reeps, seorang perwira yang terlibat dalam pengawalan Diponegoro dan berkedudukan sebagai penerjemah militer resmi yang mahir berkomunikasi dengan bahasa Jawa. Prestasinya antara lain bernegosiasi dengan Kiai Mojo, penasihat spiritual Diponegoro, dan menjadikan Kiai Mojo menyerah pada 12 November 1828. Perwira ketiga, Pangeran Hendrik, yang merupakan putra bungsu Raja Willem II yang mengunjungi Pangeran Diponegoro di Fort Rotterdam Makassar, 7 Maret 1837. Pertemuan selama 1 jam membuat Pangeran Hendrik memiliki kesimpulan soal Diponegoro yang ditangkap dan ditawan dengan cara khianat. Terakhir adalah perwira Francois Victor Henri Antoine ridder de Stuers (1791-1882). De Stuers mengawal Diponegoro saat berada di kapal Pollux menuju Menado.
Apa yang tersaji dalam sumber-sumber tersebut yang dieksplorasi dari interaksi dan juga percakapan dengan Sang Pangeran. Sumber-sumber tersebut menjadikan informasi penting mengenai sikap, laku, dan karakter Diponegoro. Perjalanan mendampingi Sang Pangeran memberikan data, selain informasi, tentang sosok yang menggetarkan tanah Jawa dan dicap sebagai pemberontak. Pemberontak yang merepotkan tatanan kolonial dan mengakibatkan dampak yang luar biasa. Dalam catatan buku Peter Carey lainnya, Takdir:Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855, sejumlah 200.000 orang Jawa tewas dalam perlawanan Diponegoro, sepertiga penduduk Jawa terpapar oleh kerusakan perang Jawa dan seperempat lahan pertanian di Jawa mengalami kerusakan.
Cara mereka berinteraksi dengan Diponegoro menjadikan sisi menarik dalam menilai pribadi. Bahkan, amatan mereka terhadap Diponegoro menunjukkan kekritisan hingga kekhawatiran kelangsungan kolonialisme di Nusantara, khususnya di Jawa, yang diramalkannya akan berakhir sebagai dampak siasat penangkapannya:
Memang benar dia (Diponegoro) adalah seorang pemberontak, tetapi dia datang menemui kita (di Magelang) untuk mengakhiri sebuah perang yang telah memakan begitu banyak korban jiwa kedua belah pihak dan apalagi dia datang untuk berunding karena dia mempercayai niat baik kita. Kemudian dia datang atas perintah Jenderal De Kock.
Saya percaya bahwa urusan ini yang telah sangat, menguntungkan pihak telah mengakibatkan kerusakan besar dalam artian moral, karena kalau, sialnya kita terlibat lagi dalam sebuah peperangan besar di pulau Jawa, lalu apakah kita sendiri atau orang Jawa akan mengalami kekalahan, tidak akan seorang pun petinggi (pribumi) yang bersedia menjalin hubungan dengan kita lagi. Dan ini akan terjadi tidak hanya di pulau Jawa, tetapi akan terjadi pula di semua (di seantero kepulauan Hindia Belanda) (hlm10-11).
Betapa berharganya laporan ini diakui sendiri oleh Carey dari sisi kedetailan yang kaya tentang kehidupan dan masa Diponegoro. Tentang ini Carey menuliskan, ”ini adalah intisari dari setiap penulis biografi Pangeran. Yang menonjol disini adalah refleksi dari lawan bicara dan pengawalnya tentang keadaan pikiran pemimpin Perang Jawa selama perbincangan serta apa yang mereka ungkapkan tentang lubuk hati paling dalam Sang Pangeran”.
Diponegoro, kisah yang sunyi lesap
Membaca buku ini, sosok Diponegoro dihadirkan dengan sisi menarik dalam bingkai narasi yang pada akhirnya melindapkan epik tragis manusia. Diperdaya, ditangkap, ditawan, dan diasingkan. Cita-citanya merestorasi masyarakat Jawa dan menegakkan tatanan moral melalui nilai-nilai yang didasarkan pada Islam melesap senyampang diberangusnya pemberontakan tersebut. Sifat sebagai manusia tampak atas ketidakpercayaan diakali oleh De Kock, ”Bagaimana saya sampai begini… bagaimana saya sampai begini.” Atau, ketika ia memendam keinginannya untuk ziarah ke Mekkah. Suatu kali pula sebagaimana dituturkan Pangeran Hendrik tentang perubahan Pangeran Diponegoro yang menggunakan bahasa Melayu karena sebelumnya ia berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Jawa (hlm 259).
Peter Carey dengan mendasarkan kebesaran nama Diponegoro sekaligus nilai dirinya sebagai manusia. Ia ditakdirkan menerima takdir sebagai sarana meski ia tahu bahwa itu tak akan berlangsung lama. Mungkin pembaca direpotkan dengan catatan kaki yang panjang, tetapi itu penting untuk menjelaskan rangkaian data. Bobot buku ini tak bisa diragukan karena telah disiapkan selama 3 tahun. Maka, sebagai pelengkap serial penulisan Diponegoro, tak bisa diragukan lagi.
Cita-cita yang ditahbiskan dengan gelaran Sultan Erucokro pada akhirnya berujung pada kisah sunyi nan lesap. Proses pengasingan dan meninggalnya yang jauh dari tanah kelahiran dan pendukungnya membuatnya mengulang risalah sebelumnya saat bersembunyi dan berkhalwat di Goa Selarong. Ia kembali menegaskan ramalan di Parangkusumo: ”Sira srananipun/mapan iku tan dawa”.
WijanartoPernah bersekolah di Undip Semarang dan bekerja di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Brebes