Di Distrik Seni X Sarinah, Jakarta, tergelar pameran seni rupa bertema Berkelanjutan. Pameran yang berlangsung sampai November 2022 ini di antaranya menyajikan 21 gitar bergambar yang merupakan koleksi dari gitaris Gigi, Dewa Budjana.
Yang menarik, lukisan di tubuh gitar itu adalah ciptaan para perupa kenamaan Indonesia, seperti Srihadi Soedarsono, Nyoman Nuarta, Nyoman Gunarsa, Agus Suwage, Entang Wiharso, Aytjoe Christine, Jeihan, Heri Dono, Mangu Putra, Nyoman Meja, dan Astari. Tidak seperti gitar-gitar di banyak toko musik, yang digambari oleh sembarang orang.
Kemenarikan koleksi didukung pula oleh keberbagaian jenis dan merek gitar, dari Godin Glissentar, PRS, Parker Fly Deluxe, Fender Telecaster, sampai Takamine. Keberbagaian merek ini menawarkan perbedaan lekuk bentuk yang mengungkit inspirasi pelukis. Gitar Kiesel, misalnya, menstimulasi Putu Sutawijaya dan Eko Nugroho untuk melukis secara bersama. Hasilnya yang memikat lantas mendorong panitia untuk melelang gitar itu pada 12 Oktober lalu. Dua miliar rupiah yang didapat, disumbangkan untuk yayasan kanker.
Baca Juga: Chairil Anwar sebagai Kurir Sastra Dunia
Pameran gitar berlukis Dewa Budjana, selain menunjukkan asmara manis ”cinta lama bersemi kembali” (CLBK) antara seni musik dan seni rupa, juga menegaskan bahwa penciptaan seni lukis boleh dilakukan di bidang berformat apa saja. Menyadarkan bahwa seni lukis boleh sekali, tiga kali, atau lima kali pergi dari bidang lukisan empat persegi, yang selama berabad-abad menjadi konvensi. Penegasan dan penyadaran itu lantas menawarkan ingatan, betapa sesungguhnya seni lukis yang berformat nonsegi empat sudah dicipta sejak dahulu kala.
Simak lukisan tradisional kuno Tiongkok yang umumnya berbentuk gulungan gantung (hanging scroll). Sisi-sisi lukisan itu hampir selalu dibiarkan tidak rata, selaras dengan hasil pembuatan kertas. Bahkan, di negeri ini ada tradisi melukis di permukaan bagian dalam dinding sebuah botol.
Para seniman botol itu dengan cermat melukis pemandangan, satwa, dan sosok manusia dengan menggunakan kuas bengkok, yang digerakkan atau digoreskan lewat mulut botol. Kita boleh terhenyak ketika tahu betapa jenis lukisan ini sudah sangat berkembang pada Dinasti Tang, sekitar 1.400 tahun silam.
Tradisi melukis di bidang merdeka juga dikembangkan oleh seniman negeri-negeri Selatan dan Timur. Bangsa Jepang dengan kegembiraan ritual punya tradisi membuat lukisan di atas layang-layang. Lukisan itu tidak difungsikan sekadar sebagai dekorasi, lantaran juga sebagai medium berekspresi sambil mengantarkan simbol-simbol kepercayaan dan keagamaan.
Di kawasan Mediterania, melukis di atas hamparan dinding tak beraturan, di permukaan pasu, di jambangan atau piring, merupakan pekerjaan seni sehari-hari. Bisa diingat lukisan bertema penyerahan arwah di permukaan vas marmer untuk sebuah makam di Athena pada 800 SM, yang kini jadi koleksi Metropolitan Museum of Art, New York. Atau lukisan di permukaan piring yang menggambarkan pemetik harpa, bikinan 2.500 tahun silam, yang kini tersimpan di Museum Louvre, Paris. Juga lukisan panen anggur di tembok pekuburan Thebes, Mesir, yang dibangun 3.500 tahun silam.
Baca Juga: Mikropolitik Kuntowijoyo
Di Barat, tradisi melukis di luar bidang persegi empat ditampakkan lewat manifestasi para pelukis klasik kenamaan. Karya Michelangelo di kubah Gereja Sistine, Vatikan, merupakan contoh paling populer. Juga mural Piero della Francesca yang menyiasati struktur dinding dengan indahnya.
Sesungguhnya, melukis di kubah atau dinding berlekuk merupakan warisan nenek moyang manusia, jauh sebelum para pelukis klasik itu ada. Karena manusia purba telah menggubah cave painting di bungkah-bungkah batu di dalam dan di luar aneka goa. Seperti yang terlihat di Goa Les Trois Freres di Perancis, lukisan di batu besar di Tassili N’Ajjer, Gurun Sahara. Juga lukisan primitif di Goa Leang-leang, Sulawesi Selatan.
Pada abad ke-17 dan ke-18, ketika kipas menjadi model aksesori utama perempuan bangsawan, tak sedikit pelukis di Jepang, Korea, Italia, dan Perancis yang menggubah karyanya di atas kipas yang bentuknya beraneka sehingga lahir nama Utagawa Toyokuni, Tosa Mitsuyoshi, Antonio Tempesta, Jacques Callot, dan seterusnya.
Di Indonesia juru sungging di Jawa acap kali melukis di atas lembaran kulit hewan atau bidang datar lainnya, yang bergerogat dan bergelombang sisi-sisinya. Penciptaan ini lambat laun melahirkan tradisi pembuatan wayang kulit, dengan unsur lukis yang diimbuh dengan unsur tatah atau unsur menggurat seperti pada lukisan di daun lontar di pelosok Bali.
Sementara kita tahu bahwa tradisi melukis di atas bidang segi empat sesungguhnya hanya berangkat dari aspek kepraktisan (baca: kemudahan) belaka, yakni kepraktisan pengemasan ketika materi itu dibawa-bawa, dan kepraktisan aplikasi ketika karya itu difungsikan dalam ruangan. Namun, yang paling utama adalah didorong oleh kepraktisan penciptaan.
Pilihan format yang sudah berlangsung ratusan tahun ini semakin dipopulerkan oleh para penganut easel painting di Eropa Barat pada pertengahan abad 19. Para pelukis modern yang ”anti studio” itu—seperti kelompok Barbizon di Perancis Selatan—lantas membentang kanvas relatif kecil. Kanvas tersebut segera ditenteng dan ditaruh di tripod (cagak berkaki tiga) ketika mereka melukis pemandangan di luar rumah atau studionya. Untuk itu, kanvas persegi empat adalah format yang paling praktis.
Tradisi melukis dalam format persegi empat lalu menjalar ke ranah seni lukis Indonesia selama lebih dari 170 tahun sejak Raden Saleh di tengah abad ke-19. Tradisi itu meresap sampai sekarang.
Maka, pameran gitar bergambar Dewa Budjana menyadarkan bahwa lukisan, sejak dahulu kala, boleh liar menerobos, memberontak, dan mengoyak bidang yang mengurung seperti yang dilakukan oleh Yayasan Mencerdaskan Bangsa di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, tahun 1980-an lewat lomba melukis di atas batu untuk pelajar yang gemar tawur lempar batu.
”Namun, selain menyadarkan bahwa batu itu bisa jadi indah, saya juga mengajak perupa muda untuk menerobos keluar dari segi empat kanvas dan kertas seperti dulu nenek moyang kita melakukan,” kata Sukyatno Nugroho, penyelenggara.
Dengan begitu, penerobosan ini, apabila dilakukan sekarang, tidak perlu diklaim sebagai seni baru, seni berani, seni penyadaran, post modern, kontemporer, dan sebagainya. Lantaran itu hanyalah hasil siklus.
AGUS DERMAWAN T
Kritikus, Penulis Buku-buku Seni Rupa