Meluruskan Istilah ”Lone Wolf”
Sejak kelompok NIIS/ISIS mendeklarasikan ”kekhilafahan”, banyak perempuan terlibat aksi terorisme. Kelompok ini meminta pembuktian loyalitas dari pengikutnya di seluruh dunia, baik laki-laki maupun perempuan.
Kejadian seorang perempuan bercadar mencoba menerobos penjagaan Istana Negara belum lama ini mengingatkan masyarakat pada aksi ”lone wolf”.
Umumnya masyarakat memahami setiap serangan teror yang dilakukan seorang pelaku saja sebagai serangan lone wolf. Ini dikarenakan pihak kepolisian menyebut istilah lone wolf pada beberapa kasus serangan teror individual tak lama setelah kejadian berlangsung.
Padahal, untuk menyimpulkan apakah serangan itu benar- benar lone wolf atau bukan diperlukan penyelidikan lebih lanjut. Apakah pelaku benar-benar sendirian dalam artian mempersiapkan semua sendiri sejak dari pendanaan, pembuatan senjata atau bom, sampai eksekusi. Atau hanya eksekusinya saja yang sendirian.
Sebagai mantan narapidana teroris yang aktif di ranah luring dan daring sejak 2009, saya jadi saksi sejarah kemunculan istilah lone wolf dan bagaimana itu menginspirasi para pelaku serangan teror di Indonesia. Istilah lone wolf di kalangan kelompok teroris Indonesia mulai dikenal pada 2011 ketika di forum jihad daring Al Busyro muncul terjemahan buku berjudul Lone Wolf: Serigala Sendirian, Mimpi Buruk Amerika karya Yahya Al Muhajir.
Buku ini berisi tentang teori jihad perseorangan/individu dan kisah-kisah aksi the lone wolf di seluruh penjuru dunia. Karya terjemahan The Lone Wolf ini menjadi sangat fenomenal sebab dirilis bersamaan booming-nya kasus bom buku dan bom di Masjid Mapolresta Cirebon.
Baca juga : Diperiksa Densus 88, Perempuan Penodong Paspampres Gunakan Senjata Rakitan
Kedua aksi teror itu, ditambah aksi terorisme Umar Sya’ban, santri Pesantren Umar bin Khattab, Bima, NTB, yang menyerang polisi di Bima pada Juni 2011 dianggap sebagai aksi lone wolf oleh para simpatisan kelompok teroris saat itu.
Padahal, kemudian terungkap, aksi-aksi itu ternyata tidak berdiri sendiri. Ada pihak lain yang terlibat dalam pendanaan dan persiapannya.
Kriteria serangan ”lone wolf”
Dalam buku Lone Wolf: Serigala Sendirian, Mimpi Buruk Amerika disebutkan contoh-contoh aksi yang termasuk aksi lone wolf. Semua memiliki satu kesamaan, yaitu tak ada pihak lain yang terlibat dalam aksi itu. Ketika diselidiki, pelaku menyiapkan semuanya sendirian.
Sementara di Indonesia, hampir semua masih melibatkan jaringan. Hanya eksekusi saja yang sendirian. Sejauh yang saya tahu, di Indonesia hanya ada satu kasus yang paling mendekati kriteria aksi lone wolf, yaitu percobaan serangan di Gereja Katolik Santo Yosep di Medan pada Agustus 2016. Kebetulan saya kemudian satu penjara dengan pelakunya.
Dalam penyelidikan terungkap si pelaku terinspirasi dari internet, membuat ”bom” (yang ternyata cuma petasan) sendiri berdasarkan tutorial dari internet, dan melakukan serangan sendiri. Tak ada pelaku lain yang terkoneksi dengan dirinya selain artikel-artikel dari internet yang menginspirasinya.
Istilah lone wolf, dalam pandangan saya, hanya bisa digunakan untuk menyebut sebuah aksi, tetapi tidak dalam prosesnya. Dalam sebuah aksi, sangat dimungkinkan seseorang itu melakukan semua sendirian, misalnya dia ingin menyerang dengan senjata tajam. Maka, dia bisa membeli sendiri senjata itu karena murah dan mudah, lalu melakukan aksinya sendirian.
Namun, dalam prosesnya, dia menjadi orang yang mau melakukan aksi teror, hampir mustahil itu hanya melibatkan dirinya sendiri kecuali dia ada gangguan jiwa. Pasti ada media penyampai narasi-narasi yang membuatnya melakukan aksi itu, baik itu berupa orang langsung secara fisik, seperti antara guru dan murid, maupun dari komunitas di ranah daring.
Dalam kasus percobaan serangan di Gereja Katolik Santo Yosep Medan, pelaku memang menyiapkan semua aksinya sendirian. Namun, dalam proses ia menjadi pelaku teror, ada peran narasi-narasi yang ia dapatkan dari internet. Narasi-narasi di internet itu tak mungkin dibuat oleh kecerdasan buatan (artificial intelligence), pasti ada orang-orang yang memasukkan datanya dan menyebarkannya.
Dari sini seharusnya orang paham bahwa ancaman serangan lone wolf itu ancaman yang paling mungkin akan terus terjadi. Mengapa? Karena kemudahan orang mengakses teknologi dan bebasnya orang mengemukakan pemikirannya. Narasi-narasi yang mengarahkan seseorang secara perlahan-lahan agar menjadi pelaku teror itu akan selalu ada.
Di dalam kelompok pendukung NIIS atau di Indonesia mereka menyebut kelompoknya dengan nama Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Perempuan di tengah narasi berbahaya
Belakangan ini kita menyaksikan banyaknya perempuan yang terlibat dalam aksi terorisme, terutama sejak kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS/ISIS) mendeklarasikan ”kekhilafahan” versinya sendiri. Kelompok ini meminta pembuktian loyalitas dari pengikutnya di seluruh dunia, baik laki-laki maupun perempuan.
Di dalam kelompok pendukung NIIS atau di Indonesia mereka menyebut kelompoknya dengan nama Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Di JAD ini dikenal empat tingkatan pembuktian loyalitas. Pertama, melakukan aksi serangan kepada pihak yang ditetapkan sebagai musuh oleh otoritas NIIS.
Kedua, apabila tak mampu melakukan tingkatan yang pertama, maka bisa dengan menyumbangkan harta dalam rangka memerangi musuh. Ketiga, apabila tak mampu melakukan tingkatan kedua, bisa dengan menyumbangkan harta untuk menyantuni keluarga anggota JAD yang mati terbunuh atau dipenjara karena ”jihad” yang mereka lakukan.
Keempat, apabila tak mampu juga melakukan tingkatan yang ketiga karena keterbatasan ekonomi, setidak-tidaknya masih bisa melakukan tingkatan paling lemah, yaitu menyebarkan paham mereka melalui semua media yang dimiliki.
Seorang perempuan pendukung NIIS minimal bisa melakukan poin keempat. Dengan melakukan itu, mereka dapat tempat di dalam kelompok itu. Apalagi apabila sampai mau menyumbangkan dana atau mau melakukan aksi menyerang musuh, akan lebih dahsyat lagi kedudukan yang didapat.
Bisa jadi, penerobos lingkungan Istana Negara kemarin awalnya hanya memainkan peran di level terbawah, tetapi kemudian terinspirasi atau terdorong melakukan lebih sebab lama berada di lingkungan kelompoknya. Lingkungan yang dimaksud untuk saat ini bisa hanya berupa grup Telegram atau Whatsapp yang dipenuhi penyebaran narasi berbahaya.
Menghadapi penyebaran narasi berbahaya yang begitu masif, yang bisa kita lakukan bersama salah satunya adalah membentengi diri kita dan orang terdekat kita dengan pemahaman yang benar akan ajaran agama.
Arif Budi Setyawan, Mantan Narapidana Teroris