Penerapan sanksi oleh Barat tidak mampu melemahkan junta militer Myanmar. ”Pengasingan” yang coba dijalankan ASEAN juga tidak mempan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Bisa dikatakan, serangkaian respons keras dari komunitas internasional terhadap junta tidak membuat mereka jera. Pemimpin pemerintahan sipil hasil pemilu, Aung San Suu Kyi, tetap dipenjara setelah digulingkan pada Februari 2021. Kekerasan aparat terhadap rakyat sipil terus terjadi.
Peristiwa kekerasan terakhir dan dikecam masyarakat internasional ialah pengeboman oleh pesawat atas konser musik di Kachin, Myanmar utara. Junta menyebut pengeboman itu bertujuan mematahkan pemberontakan. Menurut junta, kabar mengenai rakyat sipil menjadi korban hanya rumor.
Untuk mengakhiri rezim yang dinilai ”keras kepala”, ”membahayakan dunia”, dan kejam terhadap rakyat sendiri, masyarakat internasional biasanya menjatuhkan sanksi. Ada sanksi pembekuan rekening pejabat, ada pula larangan bepergian ke luar negeri. Rangkaian sanksi itu telah dijatuhkan Barat kepada para pemimpin militer Myanmar. Selain itu, ASEAN dalam pertemuan-pertemuan juga tidak mengundang pejabat politik Myanmar sebagai simbol tidak diakuinya junta.
Sayangnya, junta militer Myanmar tetap memiliki sumber daya untuk mengerahkan pasukan dan persenjataan. Sanksi seolah tidak berdampak. Sikap ASEAN yang tak mengundang pejabat politik negara itu kelihatannya juga tak berpengaruh.
Upaya pelemahan junta tidak berhasil karena, antara lain, seperti ditulis The New York Times, ada relasi cukup hangat antara Myanmar dan Rusia. Pemimpin junta, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, telah berkunjung tiga kali ke Moskwa sejak kudeta pada Februari tahun lalu.
Myanmar gembira karena mendapat minyak murah dari Rusia. Sebaliknya, Rusia cukup senang karena Myanmar mau membeli persenjataan buatan negara itu. Myanmar sangat jelas sama sekali tidak menyalahkan Rusia dalam serangannya ke Ukraina.
Maka, perlu ada terobosan krusial agar masalah Myanmar selesai, yakni mengupayakan kekuatan-kekuatan sipil dalam negeri memiliki daya untuk mendorong perubahan. Persatuan di antara kekuatan-kekuatan sipil dalam negeri Myanmar pun menjadi penting, mengingat ada laporan menyebutkan bahwa junta militer sesungguhnya tidak menguasai seluruh negeri. Ada pemerintahan tandingan yang dibentuk kekuatan sipil. Belum lagi, ada kelompok-kelompok pemberontak yang tersebar di berbagai wilayah, termasuk di Kachin.
Tampak jelas, tekanan internasional penting, tetapi lebih penting lagi kekuatan sipil. Demokratisasi di berbagai negara terjadi lewat kegigihan masyarakat sipil untuk mendorong perubahan. Maka, tidak berlebihan kiranya jika ASEAN menegaskan posisinya untuk berada di belakang masyarakat sipil Myanmar. Dukungan kepada mereka, yang berujung pada perkuatan kelembagaan serta perbaikan tata kelola masyarakat sipil, akan memberi hasil berupa demokrasi Myanmar yang kokoh serta sehat.