Bahasa Indonesia sesungguhnya cukup kuat dan kaya untuk menahan gempuran istilah asing. Menjadi tugas semua pihak untuk menjaga dan melestarikannya.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
”Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.
Poin ketiga dalam rumusan keputusan yang diucapkan para peserta Kongres Pemuda Kedua pada 28 Oktober 1928 ini, yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda, menegaskan posisi bahasa Indonesia sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa. Tak hanya menjadi bahasa persatuan, bahasa Indonesia ditempatkan setara dengan Tanah Air dan bangsa, sebagai satu-kesatuan yang perlu dijaga dan dipertahankan.
Sumpah itu kembali menemukan maknanya di tengah gencarnya serbuan kata dan istilah asing dalam bahasa Indonesia. Hal yang tidak terhindarkan seiring kemajuan teknologi dan globalisasi, yang membuat pengguna bahasa terpapar istilah asing secara intens dan terus-menerus.
Dalam pengamatan E Aminudin Aziz, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, kata atau istilah asing ini kerap digunakan oleh kelompok penutur cendekia, birokrat, pesohor, dan pengusaha, dengan alasan mereka masing-masing, yang kemudian ditiru oleh penutur awam.
Sumpah itu kembali menemukan maknanya di tengah gencarnya serbuan kata dan istilah asing dalam bahasa Indonesia.
Bahasa bersifat dinamis dan akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan penuturnya. Salah satu penyebab digunakannya istilah asing adalah tak mudah menemukan padanan bahasa Indonesia yang tepat untuk segera digunakan, sesuai dengan konteks yang diinginkan. Yang kerap terjadi, istilah asing langsung diserap dalam bahasa Indonesia, seperti destinasi dari destination, atau asesmen dari assessment, meski ada padanan yang sesuai dalam bahasa Indonesia, yakni ’tempat tujuan’ untuk destinasi dan ’penilaian’ untuk asesmen.
Di sisi lain, bahasa Indonesia kaya dengan kata yang layak menjadi padanan bagi istilah bahasa asing, termasuk yang diserap dari bahasa daerah. Di antara 116.787 entri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, terdapat kata baku, seperti pugasan, yang bisa menjadi padanan untuk istilah garnish di dunia kuliner. Ada juga lema jenama, yang berarti merek atau jenis, untuk padanan kata brand.
Tanggung jawab untuk memelihara dan menyebarluaskan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar tak bisa sepenuhnya dibebankan kepada Badan Bahasa. Media, baik media arus utama maupun media sosial, punya tanggung jawab yang sama untuk mengenalkan, menyebarluaskan, dan membiasakan penggunaan kosakata bahasa Indonesia sebagai padanan bagi istilah bahasa asing.
Dengan demikian, para pemengaruh atau influencer, sebagai pengguna media sosial dengan banyak pengikut, terutama generasi muda pengguna bahasa Indonesia, juga punya peran melestarikan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Baik, bukan berarti selalu menggunakan bahasa baku atau formal, melainkan disesuaikan dengan orang yang diajak bicara. Bukankah kata bucin dan gabut saat ini juga sudah menjadi entri di dalam KBBI?