Perlu solusi internasional guna menata ulang arsitektur moneter global. Penyempurnaan peran IMF dan penguatan lembaga supranasional lain perlu dijajaki. Apabila disepakati, dapat menjadi legasi presidensi G20 Indonesia.
Oleh
KRISTIANUS PRAMUDITO ISYUNANDA
·5 menit baca
Kita sesungguhnya dapat mencermati ”tanda-tanda alam” dalam menakar laju inflasi. Ketika tingginya harga-harga ramai diperbincangkan, ada indikasi inflasi masih akan bergerak naik. Sebaliknya saat sepi dibicarakan, berarti inflasi melandai. Dari situ, kita tahu ekspektasi pelaku ekonomi turut menentukan, bahkan membentuk tren inflasi ke depan.
Ekspektasi sejatinya berhubungan erat dengan aspek psikologis manusia. Dorongan kejiwaan berperan membentuk pandangan dan harapan seseorang. Lebih dalam lagi, apa yang orang lain percaya turut memengaruhi pembentukan persepsi manusia sebagai insan sosial (homo socius) terhadap ihwal tertentu.
Ekspektasi inflasi pun merupakan fenomena psikologis yang bisa menjadi determinan tekanan inflasi. Saat seseorang berekspektasi akan terjadi inflasi, lantas memprediksi harga barang yang dibutuhkannya akan naik, ia akan segera membeli barang itu. Ia bahkan akan mempercepat keputusan ekonominya ketika mengetahui orang lain berpikiran seperti dirinya.
Hal itu rasional secara individual agar tak perlu membayar lebih mahal. Sayangnya, jika semua orang melakukannya itu, justru mempercepat dan membuat nyata inflasi. Secara sosiologis, dikenal dengan self-fulfilling prophecy.
Inflasi tak dapat selesai dengan sendirinya, karena justru tak rasional menunda keputusan konsumsi. Namun, kerasionalan individu itu akan menghasilkan keluaran irasional secara kolektif, yaitu naiknya harga. Ibarat ”maju kena, mundur pun kena”. Fenomena itu saya tulis di harian ini akhir September lalu (29/9/2022) sebagai problematika kolektif (recursive collective action problem).
Perlu kebijakan moneter yang kredibel mengelola ekspektasi inflasi. Ekspektasi kerap menjadi indikator ampuh arah laju inflasi dibandingkan model matematis ekonomi tercanggih sekalipun. Ekonom tak boleh hanya larut pada model ekonomi, karena ekonomi adalah studi rasionalitas manusia.
Gubernur Bank Indonesia (BI) dalam pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur, Oktober 2022, menilai ekspektasi inflasi sudah terlalu tinggi (overshooting). BI pun melanjutkan episode kenaikan bunga acuan BI 7-day reverse repo rate (BI -7DRR). Setelah naik 25 basis poin (bps) pada Agustus dan 50 bps pada September lalu, BI-7DRR kembali naik 50 bps menjadi 4,75 persen.
Kebijakan pengetatan moneter BI kali ini disertai optimisme dalam menekan inflasi inti kembali ke bawah 4 persen (year-on-year/yoy) pada paruh pertama 2023. Seiring perbaikan ekonomi, serta intermediasi dan ketahanan perbankan yang solid, masih terbaca ruang kenaikan BI-7DRR lanjutan, termasuk dalam mengantisipasi potensi base effect pencapaian target optimistis BI.
Dollar AS terlampau kuat
Fenomena yang juga patut diantisipasi adalah dollar AS yang menguat tajam, akibat kebijakan pengetatan moneter agresif (hawkish) bank sentral AS (The Fed). Naiknya bunga acuan The Fed berimbas pada peningkatan imbal hasil (yield) pelbagai instrumen investasi di pasar domestik AS, yang memunculkan risiko pelarian modal (capital flight) dan nilai tukar.
Patut disyukuri, depresiasi rupiah lebih landai dibandingkan negara berkembang lain.
Patut disyukuri, depresiasi rupiah lebih landai dibandingkan negara berkembang lain. Selain itu, imbal hasil pasar obligasi US Treasury tenor 10 dan 30 tahun bertemu di angka 4,13 persen saat tulisan ini dibuat. Data itu mengindikasikan efek investasi yang mulai memuncak dan akan segera melandai.
Respons agresif The Fed pun diikuti banyak bank sentral dan secara nyata mengerem laju ekonomi dunia. Risiko lainnya adalah inflasi akibat apresiasi dollar AS (imported inflation) yang dapat mengerek naik ekspektasi inflasi. Indonesia tak boleh terlena.
Solusi internasional
Jika dicermati, dampak kuatnya nilai dollar AS terhadap dunia tak ubahnya sebagai problematika kolektif. Bagi masing -masing negara, kenaikan bunga acuan dapat dinalar. Saat dilakukan bersamaan, keluarannya irasional, yaitu risiko perlambatan, bahkan resesi ekonomi global. Tak mudah mengelola rasionalitas individu negara, bahkan lebih rumit dibandingkan mengelola ekspektasi inflasi domestik karena adanya faktor kedaulatan.
Hegemoni dollar AS bukanlah kebetulan. Sejarah mencatat perjanjian Bretton Woods tahun 1944 menautkan dollar AS dengan harga emas sebagai patokan moneter (gold standard) sehingga menyebabkan ketergantungan dunia pada mata uang tersebut. Masalah timbul ketika dollar AS yang beredar di dunia timpang dengan terbatasnya cadangan emas AS.
Meski rezim gold standard telah ditinggalkan sejak 1971, dollar AS masih menjangkar ekonomi dunia. Bukan lagi emas, melainkan kerangka target inflasi (inflation targeting framework) AS yang berpengaruh penting.
Ilustrasi
Kebijakan domestik saja tak cukup mengatasi tantangan ini. Dibutuhkan solusi internasional guna menata ulang arsitektur moneter global. Penyempurnaan peran Dana Moneter Internasional (IMF) dan penguatan lembaga supranasional lain perlu dijajaki. Inisiasi semacam itu, apabila disepakati, dapat menjadi legasi positif presidensi G20 Indonesia.
Kita bersyukur, BI telah menginisiasi solusi regional melalui local currency settlement (LCS). Inilah momen bagi pelaku transaksi antarnegara beradaptasi memanfaatkan LCS, agar pengelolaan risiko nilai tukar makin efisien dan mendukung upaya BI menjaga stabilitas rupiah. Inisiatif ini baik untuk dikembangkan, terutama dalam momentum menyambut keketuaan Indonesia di ASEAN tahun 2023.
Optimistis dan waspada
Situasi sulit menguji daya tahan dan resiliensi ekonomi. Tetapi kita tak boleh patah arang. Pengetatan kebijakan moneter BI sudah tepat, demi meredam ekspektasi inflasi yang tinggi. Jika tak diredam, ekspektasi inflasi dapat memicu perilaku spekulatif, sekalipun untuk konsumsi.
Sebagai konsumen awam, masyarakat dapat berperan mendukung upaya BI dengan menjaga optimisme, namun tetap waspada dan tidak mudah panik karena justru akan mempercepat laju inflasi. Ke depan, otoritas harus bersinergi dan berkreasi merumuskan terobosan kebijakan, demi kestabilan ekonomi di tengah dunia yang makin menantang.
Kristianus Pramudito Isyunanda,Penasihat Hukum di Departemen Hukum, Bank Indonesia