Bank Dunia melansir peringatan atas risiko resesi global yang makin tinggi. Risiko itu tidak hanya muncul akibat gangguan rantai pasok global, tetapi juga justru sebagai ekses respons hawkish bank sentral negara besar.
Oleh
KRISTIANUS PRAMUDITO ISYUNANDA
·4 menit baca
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada September 2022 memutuskan untuk menaikkan bunga acuan BI 7-day reverse repo rate atau BI-7DRR sebesar 50 basis poin menjadi 4,25 persen.
Pengetatan kebijakan moneter yang ditempuh BI ini merupakan yang kedua kalinya setelah BI mempertahankan bunga acuan rendah sejak awal pandemi Covid-19 dan menaikannya sebesar 25 basis poin (bps) pada Agustus lalu.
Secara teoretis, utak-atik bunga acuan adalah cara utama bank sentral memodulasi sektor moneter domestik. BI sebagai otoritas moneter memiliki tujuan tunggal mencapai kestabilan nilai tukar rupiah. Kestabilan nilai rupiah tecermin pada dua dimensi, yaitu inflasi dan nilai tukar.
Bunga acuan dan inflasi
Di sisi inflasi, kenaikan bunga acuan adalah pedoman text book kebijakan moneter ketika inflasi menekan ekonomi. Bank sentral menaikkan tingkat bunga acuan dengan tujuan mengelola ekspektasi inflasi. Pada kerangka target inflasi (inflation targeting framework), ekspektasi berperan penting dan perlu dikelola secara baik agar sasaran inflasi tercapai.
Secara teoretis, utak-atik bunga acuan adalah cara utama bank sentral memodulasi sektor moneter domestik.
Seiring dorongan tingginya harga energi dan pangan global, serta potensi dampak penyesuaian harga BBM di dalam negeri, inflasi Indonesia tahun 2022 dapat melebihi batas atas sasaran yang ditetapkan. BI berkepentingan meredam inflasi yang pada Agustus 2022 tercatat 4,69 persen (year-on-year/yoy), dengan inflasi inti sebesar 3,04 persen (yoy).
Kenaikan BI-7DRR kali ini pun dapat dipandang sebagai langkah tepat dalam upaya pengendalian inflasi.
Ekonomi global
Ekonomi dunia tengah menghadapi dua pendulum ekstrem. Pertama, kontraksi ekonomi yang dalam akibat pembatasan mobilisasi sosial guna menekan laju penularan Covid-19. Ketika pandemi mulai mereda, terdapat eskalasi tensi geopolitik Rusia-Ukraina yang turut berdampak negatif bagi perekonomian global, antara lain melalui jalur tekanan harga.
Saat ini, dunia berada pada pendulum ekstrem kedua, yaitu tekanan inflasi di tengah perekonomian stagnan (stagflasi) dan bahkan berisiko kembali terkontraksi. Tingginya inflasi mendorong mayoritas bank sentral di dunia secara rasional berbalik arah menuju penerapan kebijakan moneter ketat.
Hal tersebut pun menandai berakhirnya dunia bunga rendah yang berlaku sejak krisis keuangan global 2008. Beberapa bank sentral bahkan tak segan menerapkan pengetatan moneter agresif, atau kerap dikenal dengan istilah ”hawkish”.
Bank Dunia telah melansir peringatan atas risiko resesi global yang makin tinggi. Risiko itu tidak hanya muncul akibat gangguan rantai pasok global, tetapi juga justru sebagai ekses respons hawkish bank sentral negara besar yang memengaruhi arus modal dunia.
Di AS, pemimpin Federal Reserve Jerome Powell menaikkan bunga acuan The Fed sebesar 75 bps untuk tiga kali berturut-turut demi melawan inflasi di tengah ekonomi AS yang secara teknis telah memasuki jurang resesi. Dinamika itu membuktikan bahwa meskipun kebijakan diambil secara rasional, keluarannya belum tentu positif pada skala global.
Urgensi menerapkan solusi global masih perlu digaungkan kembali dalam pertemuan puncak G20 di Bali pada November nanti, demi menciptakan tatanan ekonomi dunia yang kembali kuat dan stabil.
Reaksi positif pasar tak lepas dari makroekonomi Indonesia yang masih kuat.
Reaksi positif pasar
Berbeda dengan respons pasar ekuitas AS yang cenderung negatif dalam menanggapi kebijakan hawkish The Fed, indeks harga saham gabungan (IHSG) tercatat menguat 30 bps ke level 7.218 saat penutupan pasar pada hari yang sama Gubernur BI mengumumkan kenaikan BI-7DRR menjadi 4,25 persen.
Dinamika ini dapat dibaca sebagai kepercayaan pasar terhadap langkah BI dalam mengendalikan inflasi. Kebijakan BI ini terbilang responsif dan terukur, bukan reaktif. Keduanya tentu berbeda. Jika dicermati, BI sempat menahan kenaikan bunga acuan pada awal tekanan inflasi di Indonesia akibat gangguan sisi suplai.
Naiknya bunga acuan kali ini telah mempertimbangkan perkembangan ekonomi secara keseluruhan, yang juga tak lepas dari implementasi bauran kebijakan BI dan sinergi dalam Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan bersama pemerintah dan mitra strategis.
Reaksi positif pasar tak lepas dari makroekonomi Indonesia yang masih kuat. Dibandingkan negara lainnya, Indonesia berhasil menjaga laju pemulihan ekonomi dan mengelola dampak gejolak global. Kestabilan nilai tukar rupiah relatif unggul dibandingkan negara-negara di kawasan Asia, di tengah tren penguatan dollar AS akibat kebijakan hawkish The Fed.
Likuiditas perbankan yang solid dan keseimbangan intermediasi terjaga baik, dengan pertumbuhan kredit stabil di 10,6 persen (yoy) pada Agustus 2022. Ketahanan eksternal pun baik sejalan dengan kinerja ekspor yang kuat. Indikator tersebut memperlihatkan status underlying economics Indonesia yang terukur guna mendukung pertumbuhan ekonomi.
BI dapat fokus mencapai tingkat inflasi yang moderat demi kesejahteraan masyarakat dan mendukung pertumbuhan yang sinambung.
Inflasi adalah fenomena makroekonomi akibat problematika kolektif yang tak bisa selesai dengan sendirinya.
Robert Hockett dari Cornell University menyebutnya recursive collective action problem. Otoritas moneter sebagai agen kolektif bertugas memberikan solusi rasional secara makro. Kenaikan bunga acuan patut disambut baik sebagai wujud nyata BI mendukung terciptanya lanskap ekonomi makro Indonesia yang kokoh dan kondusif, dengan tingkat inflasi yang terkendali.
Kristianus Pramudito Isyunanda, Penasihat Hukum di Departemen Hukum, Bank Indonesia