Prahara politik belum berakhir di Inggris. Kurang dari dua bulan berkuasa, Perdana Menteri Liz Truss menyatakan mundur dari jabatannya.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Situasi memang sedang tak mudah bagi banyak negara di dunia, termasuk Inggris. Inflasi tinggi yang dipicu perang Rusia-Ukraina, saat dunia baru pulih dari hantaman pandemi Covid-19, membuat rakyat di banyak negara menderita. Harga pangan naik. Anggaran energi juga melonjak.
Dalam kondisi sulit itu, Liz Truss naik ke posisi Ketua Partai Konservatif pada September silam guna menggantikan Boris Johnson yang mundur akibat didera skandal. Pemerintahan Truss berupaya menciptakan solusi lewat kebijakan pemotongan pajak. Ternyata, kebijakan itu malah mengundang kritik karena dinilai mengancam keuangan Inggris.
Nilai kurs pound sterling terhadap dollar Amerika Serikat (AS) anjlok. Bank Sentral Inggris terpaksa campur tangan di pasar obligasi. Pemerintah lantas berbalik arah. Namun, hal itu tidak membuat tekanan terhadap Truss berkurang.
Menteri Keuangan Kwasi Kwarteng dipecat, sedangkan Menteri Dalam Negeri Suella Braverman mundur. Di dalam partai, tekanan terhadap Truss besar. Tidak mudah pula meyakinkan para anggota parlemen dari Partai Konservatif untuk tetap percaya kepada Truss.
Dengan beban begitu berat dan dukungan tak besar, tidak ada pilihan bagi Truss selain mundur. Ia merasa tak sanggup lagi menjalankan mandat yang diberikan para anggota Konservatif untuk memimpin partai. Kebijakan pengurangan pajak yang menjadi ”ideologi” Truss dan kalangan konservatif lainnya tak mungkin dijalankan. Truss pun menjadi Perdana Menteri (PM) Inggris dengan durasi paling singkat.
Pengganti Truss ditentukan pekan depan. Pemilihan internal dilakukan Konservatif. Sejumlah nama muncul, antara lain Boris Johnson. Namun, mengingat insiden yang memicu pengunduran dirinya, tampaknya sulit bagi Johnson untuk menjadi ketua partai lagi. Penolakan terhadapnya besar.
Satu nama lain ialah Rishi Sunak. Bekas Menteri Keuangan ini dikalahkan Truss dalam pemilihan ketua partai saat Konservatif mencari pengganti Johnson. Namun, tak sedikit anggota partai yang tidak menyukainya. Sunak dinilai bertanggung jawab atas tekanan yang menyebabkan Johnson mundur. Sunak juga pihak yang mengingatkan Truss bahwa rencana pemotongan pajak bakal menyebabkan kekacauan.
Tidak mudah mencari pemimpin Konservatif. Keterbelahan sedang mendera mereka.
Secara umum, negara itu memang dinilai, sejak enam tahun silam dan hingga sekarang, terperosok dalam politik Brexit. Inggris dipandang lebih terpecah ketimbang sebelum referendum Brexit 2016. Menurut Leslie Vinjamuri dalam ”How Brexit and Boris Broke Britain” (Foreign Affairs, 3 Agustus 2022), dua pertiga warga Inggris sekarang masih mengidentifikasikan diri sebagai pendukung atau penentang pemisahan dari Uni Eropa.