Dua pesan penting dari peringatan Hari Santri yang mesti digelorakan hingga kini adalah pembelaan terhadap NKRI dan kontribusi dalam pembangunan bangsa seperti yang telah dilakukan para ulama pendahulu kita.
Oleh
AHMAD THOLABI KHARLIE
·5 menit baca
Tepat sewindu peringatan Hari Santri dilaksanakan pada setiap 22 Oktober. Peringatan Hari Santri berpijak kepada Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri. Hal penting yang patut digarisbawahi sebagaimana tertuang dalam konsideran keppres tersebut, peringatan Hari Santri dimaksudkan untuk mengenang, meneladani, dan melanjutkan peran ulama dan santri dalam membela NKRI, serta berkontribusi dalam pembangunan bangsa.
Dua pesan penting dari peringatan Hari Santri yang mesti digelorakan hingga kini adalah pembelaan terhadap NKRI dan kontribusi dalam pembangunan bangsa seperti yang telah dilakukan para ulama pendahulu kita. Di titik inilah, mandat sosial (social mandatory) harus senantiasa dijaga, disemaikan, dan ditunaikan dalam kehidupan sehari-hari oleh para santri di Indonesia.
Peran kesejarahan ulama-pejuang di pelbagai fase perjalanan bangsa ini mengonfirmasi tentang komitmen terhadap kebangsaan Indonesia. Dinamika perjalanan bangsa yang up and down sama sekali tak menyurutkan komitmen para santri dalam membela NKRI dan senantiasa berkontribusi dalam pembangunan bangsa ini.
Meski dalam perjalanannya, perjuangan para ulama dan santri bukan tanpa tantangan. Ini mulai dari fase pergerakan meraih kemerdekaan, proklamasi, Republik Indonesia Serikat (RIS), UUDS 1950, demokrasi terpimpin era Bung Karno, era Orde Baru, hingga era Reformasi saat ini.
Di pelbagai fase sejarah yang tidak mudah tersebut, ulama dan santri telah membuktikan dirinya dengan berperan secara nyata sebagai shalih likulli zaman wa makan, senantiasa menjaga integritas keumatan dan kebangsaan serta mengontekstualisasikan perjuangan sesuai dengan tuntutan zaman.
Spirit ulama-pejuang
Rekam jejak para ulama pejuang dalam mendirikan republik ini terkonfirmasi dengan baik di pelbagai dokumen sejarah perjuangan Indonesia dalam melawan kolonialisme, termasuk saat momentum penting pembahasan dasar negara di forum Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).
Momentum menentukan dan amat monumental bagi perjalanan bangsa Indonesia secara epik dapat dilalui dengan baik, khususnya ketika mengganti tujuh kata dalam ”Piagam Jakarta” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjelang rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agutus 1945.
Dalam catatan Dian AH Shah (2017), frasa ”Ketuhanan Yang Maha Esa” (belief in the one and only God) yang tidak menempatkan Islam secara eksplisit dalam konstitusi merupakan cerminan sikap titik tengah. Peristiwa penting tersebut tak terlepas dari sikap dan komitmen para ulama terhadap kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.
Rekam jejak para ulama pejuang dalam mendirikan republik ini terkonfirmasi dengan baik di pelbagai dokumen sejarah perjuangan Indonesia dalam melawan kolonialisme.
Sikap dan komitmen para ulama-pejuang tersebut menjadi miqat dan milestone yang menentukan dalam pola pikir, sikap, pandangan, serta tindakan santri dan generasi berikutnya dalam mendefinisikan dan mengaktualisasikan perihal hubungan agama (Islam) dan negara.
Gagasan sekaligus praktik moderasi beragama merupakan contoh dari manifestasi keterhubungan spirit para pendiri bangsa yang senantiasa diikhtiarkan dan direalisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keberadaan konsepsi dan praktik moderasi beragama dimaksudkan untuk senantiasa berada di titik tengah dalam beragama, sebagaimana yang tertuang dalam konstitusi negara kita.
Kegigihan para ulama-pejuang di jalur intelektualisme yang diwujudkan melalui keberadaan pesantren, madrasah, meunasah, langgar, surau, dan pelbagai penamaan lainnya juga membuktikan perjuangan di jalur ini tak lekang oleh waktu. Lahirnya pembelajar dan sarjana yang lahir dari rahim pesantren semakin menegaskan ketersambungan (sanad) perjuangan para ulama di jalur intelektual.
Pelbagai lapangan perjuangan para ulama dan santri di masa lalu seperti di bidang politik kebangsaan, intelektualisme, ekonomi, dan lainnya harus senantiasa diaktualisasikan dalam kehidupan saat ini.
Spirit ulama-pejuang yang juga menjadi guidance bagi generasi penerusnya dapat ditarik benang merah yakni soal kecintaan terhadap NKRI (hubbul wathan), menjaga integritas dalam berbangsa dan bernegara, dan senantiasa berada di sisi kepentingan publik (mashlahah al-’ammah) dalam bersikap dan berpihak.
Pengabdian santri
Tantangan dan persoalan dalam tata kelola kehidupan, baik di ranah domestik maupun tata kelola di ranah global, saat ini jauh semakin kompleks dibanding waktu-waktu sebelumnya. Aktualisasi terhadap legasi dari ulama berupa nilai dan spirit perjuangan menjadi pilihan yang tepat untuk menjawab ragam tantangan di depan mata.
Kompleksitas masalah yang belakangan muncul di sejumlah bidang harus ditempatkan dalam koridor kecintaan terhadap negeri, menjaga integritas, dan selalu berpihak kepada kepentingan publik. Model dan pola ini senantiasa diterapkan oleh para ulama-pejuang dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul di tengah publik.
Lahirnya sarjana yang berlatar belakang bidang dan keilmuan dari kalangan santri menjadi nilai lebih dan modal penting bagi santri dalam menghadapi kompleksitas permasalahan kontemporer.
Di sisi yang lain, ketersediaan sumber daya manusia yang berlimpah dari kalangan santri di pelbagai bidang menjadi fakta positif yang patut disyukuri. Lahirnya sarjana yang berlatar belakang bidang dan keilmuan dari kalangan santri menjadi nilai lebih dan modal penting bagi santri dalam menghadapi kompleksitas permasalahan kontemporer.
Terdapat sejumlah langkah strategis yang dapat dilakukan untuk penguatan peran santri di ruang publik sebagai bagian dari tanggung jawab sosial dalam menjawab tantangan zaman yang kian kompleks. Pertama, diaspora santri di pelbagai sektor pengabdian untuk memastikan spirit dan nilai keulamaan dapat ditransformasikan dalam pelbagai lapangan dan sektor.
Kedua, penguatan kerja sama (kolaborasi) di kalangan santri maupun di eksternal santri yang dimaksudkan untuk meningkatkan kemanfaatan bagi banyak orang. Kerja sama satu dengan lainnya menjadi kebutuhan demi peningkatan kualitas hidup manusia.
Ketiga, peningkatan penguatan sumber daya santri dengan menyasar di pelbagai kajian bidang ilmu. Santri tidak lagi terpaku kepada kajian keagamaan atau humaniora an sich, tetapi santri harus masuk pada bidang keilmuan lainnya, seperti eksakta, kedokteran, digital, dan lain-lain. Dari titik ini, sejatinya tak sedikit santri yang telah memiliki keahlian di bidang yang sebelumnya sedikit diisi oleh kalangan santri.
Ragam upaya peningkatan peran santri di ruang publik memiliki relevansi yang kuat dalam menghadapi bonus demografi di tahun 2030 serta menyongsong satu abad Indonesia merdeka pada 2045. Momentum penting itu harus disiapkan semaksimal mungkin untuk memastikan peran santri dalam pembangunan bangsa di masa mendatang. Karena hakikatnya, santri dalam membangun negeri memiliki modal penting, yakni kecintaan terhadap NKRI dengan menjaga integritas dan senantiasa berpihak kepada kemaslahatan bangsa. Selamat hari santri.
Ahmad Tholabi Kharlie, Guru Besar, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)