Kehadiran Gianni Infantino di Jakarta, disertai pernyataan komitmennya untuk mengawal transformasi sepak bola Indonesia, ibarat anugerah tak ternilai.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Gianni Infantino, Presiden Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA), menemui Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (18/10/2022). Sore harinya, pada Selasa pukul 15.15 WIB, Infantino mengunjungi kantor PSSI.
Dalam pertemuan Presiden Jokowi dengan Infantino, RI dan FIFA sepakat mengkaji kembali kelayakan stadion dan juga menerapkan teknologi untuk membantu mitigasi aneka potensi yang membahayakan penonton ataupun pemain.
Bersama FIFA, pemerintah akan mengkaji ulang para pemangku kepentingan persepakbolaan Indonesia, serta memastikan optimalisasi proses transformasi sepak bola Indonesia. Demi transformasi itu, Infantino akan beberapa lama berkantor di Indonesia (Kompas, 19/10/2022).
Belum hilang dari memori kita, betapa memilukan musibah di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, awal Oktober lalu. Hingga Selasa kemarin, 133 orang tewas akibat tragedi yang menyita perhatian dunia itu. Kesalahan penanganan penonton pasca-laga Arema FC melawan Persebaya Surabaya, berakibat berdesak-desakannya ribuan penonton di pintu keluar, dan menewaskan lebih dari 100 orang.
Jika mencermati kasus Kanjuruhan yang menelan banyak korban jiwa, kehadiran Infantino ke Indonesia dengan komitmen mengawal transformasi sepak bola Indonesia, jelas berkah tak ternilai. Betapa tidak?
Logikanya, seiring insiden di Kanjuruhan, RI bakal menghadapi masalah. Bahkan, sanksi pembekuan FIFA yang pernah kita terima, bisa saja dijatuhkan lagi. Mengingat, sejumlah problem kronis terpapar di depan mata.
Di antaranya, jumlah penonton melebihi kapasitas total stadion, penanganan penonton masuk ke lapangan yang jauh dari memadai, dan penggunaan gas air mata yang berujung hilangnya nyawa. Kejadian ini sudah ditindaklanjuti dengan proses penyelidikan, baik oleh lembaga penegak hukum maupun Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF).
Sejumlah pihak juga telah ditetapkan sebagai tersangka. Namun, yang terpenting tentu bagaimana wajah sepak bola kita nanti, khususnya liga profesionalnya. Bagaimana stadion-stadionnya, sudahkah sesuai standar internasional? Bagaimana panitia pertandingannya, siapkah bekerja profesional sehingga meminimalisasi problem-problem potensial? Termasuk, bekerja sama dengan aparat keamanan.
Tak ketinggalan, bagaimana penonton kita, mampukah mereka, bisa saja sebagian di antaranya kita juga, menerima apapun hasil di lapangan dengan lapang dada, sehingga menghindari sikap-sikap tidak tertib dan tidak sportif?
Setidaknya, pertanyaan-pertanyaan itu harus terjawab dan sudah terwujud di tahun-tahun mendatang. Saatnya RI tak hanya berbangga sebagai negara dengan penonton terbanyak, tetapi juga sarat prestasi, dan harus dimulai dari liga kita. Pembenahan itu harus, dan kini momentumnya. Jika momen ini terlewat, kita akan saksikan sepak bola kita terbenam lagi.