Prediksi IMF dan Kebijakan Adaptif-Seimbang
Indonesia disebutkan IMF sebagai salah satu titik terang dunia. Kompleksitasnya, dengan eskalasi ketegangan geopolitik dewasa ini, mitra-mitra dagang Indonesia berpotensi terbagi menjadi blok yang berbeda
Dana Moneter Internasional (IMF) memperbarui peringatannya tentang resesi dunia 2023. IMF juga menurunkan prediksi pertumbuhan ekonomi dunia dari 2,9 persen ke 2,7 persen. Salah satu hal menarik dari pernyataan ini adalah bagaimana IMF mencoba menjaga keseimbangan antara perlunya pengendalian ekspektasi inflasi tanpa terlalu mengorbankan potensi pertumbuhan.
Selain itu, IMF juga mencoba meredam announcement effect dengan menyeimbangkan prospek suram, harapan, dan solusi. Hal ini merupakan alternatif sikap ortodoksi Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) yang mempunyai target ketat membawa kembali inflasi ke sekitar 2 persen, apa pun risikonya.
Posisi IMF yang mengambil jalan tengah ini sesuai dengan prediksi bahwa pengambil kebijakan pada saat ketidakpastian tinggi lebih suka menghindari risiko (Arrow; 1965 dan Holcombe; 1989). Hal ini merupakan adaptasi kebijakan setelah melihat dunia yang baru saja dilanda pandemi Covid-19 serta diterpa oleh krisis energi dan pangan akibat konflik Rusia-Ukraina.
Hal itu berbeda dengan ortodoksi Bank Sentral AS yang berusaha mengembalikan kredibilitasnya sebagai otoritas moneter dengan tetap akan menaikkan suku bunga acuan beberapa kali lagi pada 2022 dan 2023. Apalagi, data terbaru menunjukkan, inflasi tahunan di AS pada September 2022 sebesar 8,2 persen, hanya turun tipis dari bulan sebelumnya sebesar 8,3 persen.
Konsekuensi dari kebijakan yang terlalu drastis tanpa melihat perkembangan lingkungan luar terlihat dari apa yang dialami oleh mata uang Inggris beberapa waktu lalu.
Kebijakan jalan tengah IMF merupakan alternatif contoh yang diharapkan dapat meringankan resesi dunia di tahun 2023 karena tidak semua negara akan terjebak dalam ortodoksi kebijakan (policy trap). Posisi ini penting mengingat sudah ada 28 negara yang mengalami kesulitan keuangan mengantre untuk memperoleh bantuan dari IMF.
Konsekuensi dari kebijakan yang terlalu drastis tanpa melihat perkembangan lingkungan luar terlihat dari apa yang dialami oleh mata uang Inggris beberapa waktu lalu. Untuk memberi stimulus perekonomian, Inggris berencana menurunkan tarif pajak kelompok tarif 45 persen yang berarti memperbesar defisit anggaran.
Baca juga: Resiliensi Pertumbuhan dan Subsidi BBM
Sesuai dengan prediksi model Fleming (1963) dan Mundell (1962), jika defisit anggaran itu dibiayai oleh penjualan obligasi pemerintah ke pasar uang, nilai mata uang akan terapreasiasi. Sementara, jika obligasi itu dibeli oleh bank sentral, mata uang negara tersebut akan terdepresiasi.
Namun, dalam kasus Inggris, semua skenario itu tidak relevan karena tingkat bunga internasional yang diwakili oleh suku bunga acuan The Fed sedang dalam posisi naik sehingga mata uang dollar AS menguat. Akibatnya, nilai pound sterling merosot sehingga sempat hampir menyentuh paritas 1 dollar sama dengan satu pound. Hal ini menambah tekanan inflasi ( imported inflation) melalui impor pangan dan energi.
Dualitas perekonomian
Indonesia disebutkan IMF sebagai salah satu titik terang dunia. Begitu pula India. Melihat keduanya, ada persamaan karakter dari keduanya, yakni luas wilayah dan jumlah populasi kelas menengahnya, serta bagian dari perekonomian yang merupakan sektor non-traded (non-exportable) cukup besar, walaupun tetap ada segmen yang berorientasi ekspor atau campuran antara ekspor dan dalam negeri.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahunan 5,44 persen pada triwulan II-2022 didukung oleh pertumbuhan sektor-sektor yang notabene adalah non-traded, seperti transportasi dan pergudangan (21,27 persen), akomodasi dan makanan-minuman (9,76 persen), serta informasi-komunikasi (8,05 persen). Pertumbuhan ini juga mengerek sektor perdagangan (4,42 persen) dan manufaktur (4,01 persen).
Pertumbuhan searah antara sektor-sektor non-traded dan sektor informasi komunikasi merupakan legacy dari pandemi di mana permintaan dalam negeri dilayani secara daring. Setelah pandemi mereda berubah menjadi sinergi luring-daring.
Di tengah menguatnya dollar AS, surplus neraca dagang Indonesia yang sudah 28 bulan berturut-turut menginsulasi perekonomian dalam negeri, exchange rate passthrough, dan inflasi global. Sebagai akibatnya, laju depresiasi rupiah akibat menguatnya indeks dollar AS tidak terlalu cepat sehingga tidak terlalu jauh dari keseimbangan alamiahnya.
Indonesia masih punya ruang untuk masuk lebih dalam ke rantai pasokan internasional manufaktur.
Beberapa produk manufaktur di luar minyak nabati, seperti besi, baja, mesin perlengkapan elektrik dan perlengkapannya, serta kendaraan dan bagiannya, merupakan produk-produk yang tertinggi pertumbuhannya. Ini mengindikasikan Indonesia masih punya ruang untuk masuk lebih dalam ke rantai pasokan internasional manufaktur.
Kompleksitasnya, mitra-mitra dagang Indonesia berprotensi terbagi menjadi blok yang berbeda dalam eskalasi ketegangan geopolitik dewasa ini, khususnya antara China dan AS. China dan AS pada data terakhir menduduki posisi dua teratas pangsa negara tujuan ekspor Indonesia.
Indonesia yang mempunyai sektor perdagangan luar negeri (traded goods) dan sektor berorientasi dalam negeri (non-traded) dapat mengurangi eksposur prospek suram ekonomi dunia pada 2022 dan 2023, baik dari segi mempertahankan pertumbuhan maupun mengendalikan inflasi.
BPS mengumumkan inflasi tahunan September sebesar 5,95 persen, berada di bawah rata-rata inflasi di negara-negara G20, misalnya zona Euro (10 persen), Australia (6,1 persen), Brasil (7,17 persen), India (7,41 persen), AS (8,2 persen), Inggris (9,9 persen), dan Singapura (7,5 persen). Hanya beberapa negara-negara G20 yang mempunyai laju inflasi lebih rendah, misalnya China (2,8 persen), Jepang (3 persen), dan Korea Selatan (5,6 persen).
Bersama pandemi, krisis geopolitik di Eropa telah membawa dunia lebih ke arah deglobalisasi. Kebijakan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif memberi peluang untuk melakukan kebijakan seimbang (balancing). Saat ini kebijakan yang optimal bagi Indonesia adalah memanfaatkan G20 untuk lebih memasukkan Indonesia ke peta rantai pasokan dunia. Dualitas perekonomian menyebabkan Indonesia tidak dapat memalingkan diri dari ekonomi global karena pandemi memberi kesempatan untuk masuk lebih dalam ke rantai pasokan internasional (ekspor).
Namun, pada saat yang sama, Indonesia harus menjaga pertumbuhan dan mengendalikan inflasi melalui penguatan sisi produksi dalam negeri dengan prioritas pertanian dan industri turunannya. Agenda dunia, transisi ke penggunaan sumber energi terbarukan seperti tenaga air dan angin, geotermal, arus laut, tenaga surya, biogas, dan lain-lain merupakan momentum untuk melakukan transformasi ekonomi dalam negeri.