Nobel Ekonomi dan Resesi
Para penerima Nobel Ekonomi 2022 menegaskan prinsip bahwa sektor keuangan (khususnya perbankan) punya peran besar menciptakan sistem ekonomi yang kuat dalam jangka panjang. Namun perlu pengelolaan yang kuat pula.
Bukanlah sebuah kebetulan penghargaan Nobel Ekonomi 2022 diberikan pada para pemikir krisis dan resesi.
Mereka adalah Ben S Bernanke (Brookings Institution), Douglas W Diamond (Universitas Chicago), dan Philip H Dybvig (Universitas Yale) yang secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri mampu menjelaskan peran perbankan dalam krisis finansial modern. Dalam kalimat penutup naskah akademik, komite Nobel menegaskan peran pemikiran para penerima hadiah Nobel dalam kesiapan menghadapi krisis finansial berikutnya.
Dan peringatan ini sangat relevan karena kita tengah berada di depan lorong gelap resesi yang mungkin akan dalam dan panjang.
Melalui penelitian empiris, Bernanke yang pernah jadi ketua The Fed (2006- 2014) menunjukkan bagaimana perbankan dan sektor keuangan berperan mengakselerasi krisis, khususnya pada saat Depresi Besar 1929. Teori tentang financial accelerator itu relevan hingga kini. Sementara Diamond dan Dybvig memberi landasan teoretis mengenai kepanikan di sektor perbankan (bank run) yang bisa memunculkan risiko sistemik dan menegaskan pentingnya aspek kelembagaan seperti lembaga penjaminan serta regulasi dan supervisi yang kuat.
Pemikiran ketiganya memiliki relevansi dan urgensi, baik saat krisis finansial global 2008, krisis akibat pandemi maupun fase pasca-pandemi yang ditandai dengan revolusi aset kripto.
Pemikiran ketiganya memiliki relevansi dan urgensi, baik saat krisis finansial global 2008, krisis akibat pandemi maupun fase pasca-pandemi yang ditandai dengan revolusi aset kripto. Para pemenang Nobel Ekonomi telah meletakkan dasar tentang bagaimana regulasi sektor keuangan harus dibangun, sehingga, pandangan mereka juga relevan dengan diskusi terkait RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK).
Pendulum regulasi
Ketiga ahli ekonomi ini memiliki dasar pemikiran serupa, yaitu sektor keuangan tak bekerja secara netral melainkan cenderung memperparah siklus ekonomi. Pemikiran ini merupakan anti-tesis dari teori Modigliani-Miller mengenai struktur modal yang tak relevan dalam dinamika perekonomian (irrelevance finance). Kedua ahli keuangan ini juga dapat penghargaan Nobel di bidang ekonomi; Franco Modigliani pada 1985. Merton Miller pada 1990, bersama Harry Markowitz dan William F Sharpe.
Miller menerima penghargaan Nobel Ekonomi sewaktu bearafiliasi dengan Universitas Chicago. Selain dia, ada banyak penerima Nobel Ekonomi dari universitas ini, seperti Milton Friedman (1976) dan Eugene F. Fama (2013). Friedman dan Fama adalah penyokong garis keras mekanisme pasar. Mereka berdua punya hipotesis bahwa mekanisme pasar paling efisien, sehingga intervensi (regulasi) harus sangat minimal.
Ketika Diamond diminta memberi sambutan di Universitas Chicago, dia mengaku terkejut karena pemikirannya yang pro-intervensi dan regulasi diakui meski tak sepaham dengan “aliran Chicago”. Dalam dunia akademik, tesis dan anti-tesis adalah dialektika normal yang bersifat abadi. Justru dialektika itulah yang membuat bara intelektual terus menyala. Tak bisa dimungkiri, pandangan pro-pasar sedang mendapat tantangan sejak krisis finansial global 2008 maupun ketika menghadapi pandemi Covid-19. Dan kini, pandangan pro-regulasi dan intervensi yang lebih relevan.
Serial krisis keuangan di era-modern menunjukkan betapa sektor keuangan berperan mempropagasi atau mengakselerasi siklus ekonomi sehingga dinamika ekonomi diwarnai berbagai guncangan. Sejak 1980-an, krisis terus terjadi dengan lebih cepat (citius), lebih tinggi (altius) dan lebih kuat (fortius). Mirip seperti semboyan Olimpiade.
Sejak era-liberalisasi sektor keuangan, krisis juga lebih sering muncul, mulai dari krisis perbankan di AS (1981), Black Monday (1987) di pasar keuangan AS, krisis perbankan di Skandinavia (1990) hingga Black Wednesday (1992) di Eropa. Setelah itu, krisis menjalar ke negara berkembang, dimulai dengan krisis Tequila di Mexico (1995), krisis Asia (1997), krisis Rusia (1998), dan Argentina (2002). Puncak dari serial krisis ini adalah krisis finansial global 2001-2009 dengan episentrum pasar keuangan AS.
Salah satu inti cerita yang paling penting dari serial krisis tersebut adalah banyaknya aset tidak sehat yang tercipta dalam fase liberalisasi sektor keuangan serta inovasi instrumen investasi.
Krisis finansial global dipicu kredit perumahan berkualitas rendah (sub-prime mortgage) yang merambat cepat ke hampir seluruh sektor keuangan perbankan. Banyak perusahaan ternama, seperti Lehman Brothers yang sudah berdiri sejak 1850 bangkrut. Banyak perusahaan besar lain harus diselamatkan dengan kucuran modal sangat besar.
Salah satu inti cerita yang paling penting dari serial krisis tersebut adalah banyaknya aset tidak sehat yang tercipta dalam fase liberalisasi sektor keuangan serta inovasi instrumen investasi. Gelembung aset ini tercipta akibat kesenjangan waktu jatuh tempo (maturity mismatch); pinjaman jangka pendek digunakan untuk membiayai investasi jangka panjang. Oleh karena itu, perbankan sebagai lembaga intermediasi secara alamiah memiliki kerentanan.
Bank sekuat apapun menghadapi kepanikan deposan saat krisis, pasti akan kehabisan likuiditas. Itulah yang secara teoritis dibuktikan Diamond dan Dyvig.
Dan karena secara alamiah punya sifat yang rapuh, selain supervisi dan regulasi yang kuat juga diperlukan lembaga penjamin simpanan agar tak rentan dari perilaku panik. Paper yang ditulis di Journal of Political Economy (1983) ini dianggap jadi fondasi penting dalam penanganan krisis finansial global 2008. Krisis finansial global dianggap sebagai berakhirnya fase liberalisasi sektor keuangan yang hipotesis bahwa pasar akan bekerja secara efisien. Prinsip inilah yang sering dikenal dalam diskusi publik sebagai paham neoliberal.
Krisis telah memaksa pemerintah turun tangan dan terlibat langsung dalam dinamika perekonomian, melalui berbagai stimulus dan intervensi. Era stimulus berlanjut dengan tekanan akibat pandemi. Bahkan secara ekstrem pemerintah menjadi pusat dari episentrum dinamika ekonomi karena denyut nadi ekonomi terhenti karena pandemi. Kebutuhan stimulus yang begitu besar ditutup dengan penerbitan surat utang secara masif sehingga pasar keuangan turut menggelembung.
Laporan kuartalan World Economic Outlook terbitan Dana Moneter Internasional (IMF) edisi Oktober 2022 melaporkan pertumbuhan global 2023 akan menyusut dari perkiraan semula 2,9 persen menjadi 2,7 persen, sementara negara maju akan mengalami perlambatan drastis. Resesi global menghantui perekonomian 2023 akibat inflasi tinggi dan kebijakan kenaikan suku bunga di tengah tingginya utang pemerintah.
Merujuk pada pemikiran para penerima Nobel Ekonomi 2022, tampaknya kebijakan pemerintah juga turut menciptakan kerentanan sektor keuangan. Kebijakan suku bunga rendah yang berlangsung cukup lama dianggap berkontribusi menciptakan gelembung aset keuangan. Desakan agar bank sentral segera menaikkan suku bunga patut diperhatikan meskipun menaikkan suku bunga terlalu cepat juga berisiko mendorong perlambatan pemulihan ekonomi.
Baca juga : Nobel Ekonomi 2022 untuk Trio Ekonom atas Riset tentang Peran Vital Perbankan
Tentu saja ada berbagai faktor tak terduga yang menciptakan suasana kebijakan ekonomi diliputi ketidakpastian. Meski begitu, tampaknya bisa ditarik pelajaran bahwa pemerintah ataupun otoritas moneter harus mampu bergerak cepat dan bersikap mendahului situasi (ahead the curve).
Revolusi digital
Krisis finansial global 2008 punya beberapa implikasi. Pertama, tingkat kepercayaan masyarakat kepada lembaga intermediasi (perbankan) dan lembaga keuangan lainnya merosot drastis. Mereka cenderung tak mau menempatkan dananya ke lembaga keuangan formal.
Kedua, regulasi dan supervisi sektor perbankan lebih ketat. Krisis telah mendorong Bank of International Settlement (BIS), koordinator bank sentral di seluruh dunia, menerapkan Basel III atau seperangkat peraturan untuk perbankan dan sektor keuangan yang jauh lebih ketat dari sebelumnya.
Pada 2008 terbit risalah pendek berjudul Bitcoin: A Peer-to-Peer Cash System ditulis oleh orang yang mengaku sebagai Satoshi Nakamoto. Paper ini jadi awal dari munculnya mata uang kripto yang peredarannya melonjak pascapandemi. Mata uang/aset kripto terus berkembang seiring dengan adopsi teknologi di sektor keuangan serta berkembangnya sistem keuangan yang terdesentralisasi (decentralized finance/De-Fi).
Belakangan ini, dengan potensi resesi yang ditandai dengan peningkatan suku bunga secara progresif di hampir seluruh dunia, pamor aset kripto pudar. Musim dingin tengah melanda dunia kripto atau dikenal sebagai ”Crypto Winter”.
Nilai kapitalisasi 100 mata uang kripto terbesar mengalami penyusutan sekitar 62 persen dari akhir 2021 sampai pertengahan tahun ini. Nasib serupa dialami pemilih aset digital lainnya, seperti non-fungible tokens (NFTs). Meski begitu, banyak pihak meyakini mata uang dan aset kripto masih akan terus berkembang, apalagi jika era-Metaverse sudah mulai terealisasi. Metaverse akan mendorong cryptoization di era-De-Fi.
Di Indonesia, investor kripto sudah tembus 16 juta. Bandingkan dengan investor pasar modal yang baru 9 juta dan investor reksa dana sekitar 8 juta. Apalagi dibandingkan dengan pemilik Surat Berharga Negara (SBN) yang baru sekitar 700.000 saja.
Maraknya investasi aset kripto telah memunculkan berbagai praktik ilegal, seperti kasus Binomo yang beromzet sekitar Rp 44 miliar, kasus Robo trading Fahrenheit dengan total dana kelolaan mencapai ratusan miliar rupiah.
Belajar dari pengalaman inovasi sektor keuangan yang berujung pada krisis dan resesi, para pengambil kebijakan perlu bersikap asertif dengan memasukkan sektor kripto dalam radar stabilitas sektor keuangan. RUU PS2K perlu secara lugas mengatur aset kripto dan De-Fi sebagai bagian dari sektor teknologi finansial. Pergerakannya juga harus dimonitor dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
Para penerima Nobel Ekonomi 2022 ini telah meletakkan dasar pemikiran yang kokoh bahwa perbankan dan sektor keuangan bisa mempercepat terjadinya krisis dan resesi.
Para penerima Nobel Ekonomi 2022 ini telah meletakkan dasar pemikiran yang kokoh bahwa perbankan dan sektor keuangan bisa mempercepat terjadinya krisis dan resesi. Sehingga regulasi dan penguatan aspek kelembagaan jadi hal yang tak terhindarkan. Adopsi teknologi bank sentral melalui penerbitan mata uang resmi berbasis digital (central bank digital currency) diperlukan sebagai bagian dari langkah proaktif menanggapi perkembangan situasi.
Peringatan para penerima Nobel Ekonomi 2022 ini menegaskan prinsip bahwa sektor keuangan (khususnya perbankan) punya peran besar dalam menciptakan sistem ekonomi yang kuat dalam jangka panjang. Namun tanpa pengelolaan yang kuat, bisa jadi perbankan dan sektor keuangan justru menimbulkan guncangan krisis yang merugikan tujuan jangka panjang. Karena itu, perlu regulasi, supervisi, dan sistem kelembagaan yang kuat di sektor keuangan, baik konvensional maupun digital yang tengah berkembang saat ini. Para pengambil kebijakan perlu ahead the curve.
A PrasetyantokoRektor Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya