Pendidikan Politik Versus Kontrak Politik “Tir Padha Irenge”
Di kalangan partai, juga di internal partai sedang menggejala “tir padha irenge, sir padha senenge.” Mereka bekerja sama hanya dengan yang menguntungkan sehingga lupa kepentingan substansial masyarakat yang diabdinya.
Oleh
JC TUKIMAN TARUNA
·5 menit baca
Sesekali tentu boleh nimbrung dan ikut menganalisis permasalahan politik praktis Indonesia saat ini mengingat ada saja yang bertentangan dengan konsep pendidikan politik bagi masyarakat. Ada dua alasan mengapa perlu nimbrung.
Pertama, setiap kali membahas urgensi disiplin ilmu pengembangan masyarakat (community development), saya selalu mendorong mahasiswa ”menghafalkan” melodi lagu ”I Have a Dream” untuk dikaitkan dengan mimpi ataupun platform pengembangan masyarakat Indonesia, yakni terciptanya kehidupan bersama yang sumanak-sumadulur (friendly), dengan tolok ukurnya: kehidupan sehari-hari yang (a) saling menghormati (self respect), (b) terbiasa/spontan bekerja sama (self organization), dan (c) cepat menyelesaikan setiap masalah (self determination).
Namun, fakta lapangan menunjukkan betapa saling menghormati, spontan bekerja sama, dan cepat menyelesaikan masalah internal justru menjadi problem serius kehidupan sehari-hari masyarakat kita saat ini. Berarti, kiranya ada yang harus diperbaiki terkait dengan politik pengembangan masyarakat kita.
Mengapa? Tidak berlebihan kalau ditegaskan betapa kehidupan sehari-hari masyarakat adalah proyeksi (pantulan) dari kebijakan politik pengembangan masyarakatnya. Sebab, tidaklah mungkin mimpi itu salah, sementara itu sangatlah mungkin kebijakan politik pengembangan masyarakat yang kurang tepat.
Kedua, mengikuti dinamika politik praktis sampai dengan saat ini, tebersit rasa gamang karena nada-nadanya para praktisi politik semakin terfokus saja ke berbagai kontrak sosial jangka pendek. Dan arus besar yang ke depan akan semakin menggerus, ialah gampangnya muncul kontrak sosial “tir padha irenge; sir padha senenge” antarpartai politik berikut tokoh-tokoh sentralnya; bahkan di internal partai politik pun.
Kontrak sosial Rousseau
Mungkin para politisi kita terngiang oleh nama besar JJ Rousseau (1712-1778) terutama lewat filsafat politiknya yang sangat terkenal Le Contrat Social itu. Padahal, justru seharusnyalah para politisi kita mengritik pokok pikiran kontrak sosialnya Rousseau itu berhubung konteks masyarakatnya sangat berbeda baik secara politis maupun sosial.
Filsafat politik Rousseau dilandaskan pada dua kutub pikiran filosofisnya: di satu sisi manusia itu secara kodrati terlahir sangat bebas sebebas-bebasnya; tetapi di sisi lain dalam kehidupan sehari-hari manusia itu sangat ketat terikat oleh apa pun dan siapa pun. Oleh karena itu, muncul kontrak sosial dalam hal apa saja, padahal dengan adanya kontrak sosial itu manusia (setiap orang) berarti serta merta menyerahkan sepenuhnya hak-haknya kepada pemegang kontrak.
Pokok pikiran kontrak sosialnya Rousseau senyatanya sudah usang, dan merugikan apabila masih ada person-person di dalam partai politik kita mempraktikkannya.
Pertanyaannya, siapa pemegang kontrak sosial? Jawaban Rousseau, penguasa, dan apabila penguasa si pemegang kontrak sosial itu melanggar perjanjian, masyarakat dapat bahkan kalau dianggap penting harus menggulingkannya. Inilah pokok pikiran Rousseau yang membahayakan, dan terbukti ia diusir dari Perancis, lari ke Swis, juga ke Inggris; meski kemudian ia kembali ke Paris sementara waktu saja; karena pada Mei 1778, ia lalu menyingkir lagi dan tinggal di sebuah desa hutan di Ermenonville sampai meninggal dalam kondisi yang kurang membahagiakan (Daruni Asdi, 1982). Tegasnya, pokok pikiran kontrak sosialnya Rousseau senyatanya sudah usang dan merugikan apabila masih ada person-person di dalam partai politik kita mempraktikkannya.
“Tir padha irenge”
Sejatinya—dan ini yang sangat membahagiakan—basis kehidupan sehari-hari masyarakat kita di mana pun senantiasa ditandai dengan pergaulan dan interaksi sosial yang bercorak erat-bersahabat, sumanak-sumadulur, ramah karena semua adalah saudara. Dengan kata lain, mimpi dan platform yang dicita-citakan dalam dan oleh masyarakat itu tidak salah; tetapi mimpi dapat menjadi pudar atau bahkan menghilang manakala para patron kehidupan (sebutlah para elite) bersikap abai karena hanya mementingkan kelompok elitenya sendiri, apalagi menempuhnya lewat kontrak politik.
“Tir padha irenge, sir padha senenge” adalah bentuk kontrol masyarakat berupa sindiran kepada siapa saja yang keasyikan “berduaan” sehingga lupa kepada kepentingan substansial masyarakat yang diabdinya. Siapa pun itu yang disebut elite, baik elite dalam kancah politik praktis ataupun birokrasi, mereka itu pasti dijadikan patron berpikir dan berperilaku masyarakat. Apa jadinya jika para elite itu semakin sibuk “berduaan” lewat berbagai kontrak politik? Masyarakat pun pasti juga lalu ingin ”berdua-duaan”.
Kontrak politik yang hanya didasarkan kepada ”sir padha senenge”, yaitu hanya mau menjalin kerja sama—bahkan cinta—hanya dengan yang dianggap menyenangkan atau menguntungkan, sangat memudarkan mimpi besar masyarakat. Tegasnya, partai-partai politik yang akhirnya hanya sibuk dengan kontrak politik antarpartai, pastilah hanya berjangka waktu sangat pendek, padahal tujuan utama kehidupan partai politik adalah mengabdi kepentingan rakyat/masyarakat lewat berkembangnya politik pengembangan masyarakat yang holistik.
Pertanyaannya, mungkinkah hal itu terjadi karena faktanya, jangankan itu diharapkan terjadi dan dirumuskan di antara partai politik, mengingat di dalam internal partai pun sedang menggejala “tir padha irenge, sir padha senenge.” Apa yang menggejala terjadi? Lihat saja mereka yang sedang “asyik-asyik internal” seperti contohnya ada “dewan kolonel,” niat “mau turun gunung,” ada juga “dewan kopral,” juga ada “Rumah Ganjar,” dan entah apa lagi yang akan muncul nanti.
Balik kanan
Rousseau bukan hanya filsuf politik, melainkan ia juga pengajar moral lewat jalan pertobatannya. Ibunya meninggal ketika Rousseau dilahirkan dan karena ayahnya mungkin sibuk sebagai tukang arloji, Rousseau bertumbuh-kembang secara kurang ideal. Ia hidup bebas tanpa kekangan dan banyak berkelana ke mana-mana.
Rousseau memang cerdas dan senang membaca. Sejak usia 10 tahun, karena kurang kontrol ayahnya, Rousseau sudah suka membaca buku roman yang merangsang. Menurut pengakuannya di kemudian hari, waktu itu ia tidak mengerti isi roman itu, namun merasakan nikmatnya dengan fantasi liarnya. Kehidupan rumah tangganya pun juga menjadi liar, contohnya, dari hidup bersamanya (satu atap) dengan anak pemilik rumah penginapan, Rousseau memiliki lima anak dan semua diserahkan begitu saja kepada yayasan perawatan anak-anak telantar.
Atas dasar pengalamannya itulah Rousseau di hari tuanya menulis nasihat agar siapa pun jangan membiarkan fantasi anak-anak bekerja liar-leluasa dan tetap perlu ada pembatasan serta pengendalian.
Itulah pesan moral ”balik kanan, grakkkkkk”-nya Rousseau, dan dalam topik bahasan kontrak politik ”tir padha irenge” ini, pesan itu sangat aktual untuk mengubahnya, bahkan mungkin harus diganti sebelum berkepanjangan. Para elite politik (dan brokrasi) hendaklah terus mengingat bahwa kontrak politik dan kontrak sosial Anda itu dengan rakyat/masyarakat dalam kondisi apa pun, dan bukan sekadar berjuang atas dasar senang dan tidak senang untuk partai atau kelompoknya sendiri.
Tahun politik hendaklah tidak dijadikan alasan untuk menggeser idealisme kontrak politik demi rakyat dan masyarakat Indonesia; dan jangan menjadi sangat dangkal, singkat, dan egois; apalagi semata-mata hanya menjadi kontrak politik “tir padha irenge, sir padha senenge” cinta lokasi.
Maka: “Balik kanannnn, graaakkkkkkk!
JC Tukiman Taruna, Pengampu Mata Kuliah Pengembangan Masyarakat pada Program Doktor Penyuluhan Pembangunan, UNS Surakarta