Apabila strategi parpol tepat dalam menentukan capres-cawapresnya, hal itu bisa memperkuat perolehan suara pemilu legislatif atau efek ekor jas.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Setelah beberapa waktu lalu menggalang koalisi, kini partai politik mulai mengerucutkan nama-nama potensial sebagai pasangan calon presiden-calon wapres 2024-2029.
Pemilihan umum presiden dan wakil presiden akan digelar pada 14 Februari 2024. Pendaftaran bakal pasangan capres-cawapres pun baru dibuka pada 7-13 September 2023. Namun, banyak parpol mulai menjajakinya dan diharapkan melakukannya dengan penuh kecermatan. Ibarat permainan catur, langkah pembukaan akan menentukan pertandingan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Rapat Kerja Nasional Partai Amanat Nasional, pekan lalu, memutuskan sembilan nama sebagai bakal calon presiden yang dibagi dalam tiga kluster. Pertama, kluster elite partai adalah Zulkifli Hasan (Ketua Umum PAN), Airlangga Hartarto (Ketum Partai Golkar), Suharso Monoarfa (Ketum PPP), dan Puan Maharani (Ketua DPP PDI-P). PAN, Golkar, dan PPP juga bergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB).
Kedua, kluster menteri, yaitu Menteri BUMN Erick Thohir. Ketiga, kluster kepala daerah, yaitu Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah), Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta), Ridwan Kamil (Gubernur Jawa Barat), dan Khofifah Indar Parawansa (Gubernur Jawa Timur).
Rapat Pimpinan Nasional Partai Gerindra pada 12 Agustus lalu bahkan sudah memastikan ketua umumnya, yaitu Prabowo Subianto, kembali maju pada Pemilu 2024. Gerindra menggandeng Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk berkoalisi. Rakernas Partai Nasdem, Juni lalu, juga mengusulkan tiga nama sebagai bakal capres, yaitu Ganjar, Anies, dan Jenderal Andika Perkasa (Panglima TNI).
Parpol-parpol berupaya sesegera mungkin mengamankan ”tiket” proses pencalonan presiden dan wapres. Undang-undang mensyaratkan parpol atau gabungan parpol harus memiliki sekurang-kurangnya 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional agar bisa mengajukan pasangan capres-cawapres. Paralel dengan itu, parpol mulai mengukur kekuatan elektabilitas para bakal calon.
KIB dan koalisi Gerindra-PKB, juga PDI-P yang memiliki kursi DPR lebih dari 20 persen, akan memiliki hak eksklusif untuk mengajukan capres-cawapres. Namun, hak eksklusif itu hendaknya tidak juga digunakan sewenang-wenang karena pada akhirnya rakyatlah yang akan menjadi hakimnya.
Sebelum memutuskan siapa sekiranya yang akan diajukan sebagai capres-cawapres, parpol hendaknya mengalkulasi tantangan pemerintahan ke depan serta membaca denyut aspirasi rakyat di bawah apabila tidak ingin ditinggalkan pemilihnya.
Pilpres yang berlangsung serentak dengan pemilu legislatif pun lebih memungkinkan terjadinya suara terbelah, split voting. Oleh karena itu, apabila strategi parpol tepat dalam menentukan capres-cawapresnya, hal itu bisa memperkuat perolehan suara pemilu legislatif atau efek ekor jas. Sebaliknya, jika elite tak sejalan dengan suara arus bawah, data menunjukkan parpol itu bisa ditinggalkan 20-25 persen pemilih loyalnya. Alih-alih mendapat efek ekor jas, malah amblas.