Pilpres 2024 sebagai Politik Forum
Dalam kondisi pasca-Covid-19, di mana tantangan terbesar kita adalah menggerakkan rakyat untuk bangkit, diperlukan pemimpin yang mampu membangun narasi kepada rakyat untuk bangkit dan bergerak. Rakyat subyek pembangunan.
Politik apabila diperas dan dipadatkan akan mengarah pada dua pengertian, yakni politik sebagai pasar dan politik sebagai forum.
Pada pengertian politik sebagai pasar, aktivitas politik dimaknai semata-mata ibarat aktivitas jual beli atau pertukaran politik, di mana proses kandidasi politik diukur dari seberapa besar kandidat mendapat dukungan massa (elektabilitas) dan dikenal publik (popularitas).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Sementara dalam pengertian politik sebagai forum, yang diutamakan bukan hanya peluang keterpilihan, melainkan kesinambungan kehidupan republik pascamomen elektoral. Salah satunya, perbincangan bersama mengenai apakah pemimpin yang terpilih memiliki rekam jejak teruji dan mampu menjawab tantangan zaman dalam periode kepemimpinannya.
Pengujung tahun ini adalah masa ketika dinamika politik berlari semakin kencang saat setiap kekuatan politik semakin terlihat jelas mempersiapkan diri, membangun kekuatan, dan menjalin aliansi politik serta mengusung kandidat yang akan ditampilkan pada Pilpres 2024.
Baca juga: Muhaimin Iskandar dan Problema Aktor Panggung Depan
Beberapa hari lalu momen menjelang Pilpres 2024 telah masuk dalam tahap baru. Suatu tahap ketika partai politik telah menyebutkan nama yang akan diusung ke hadapan publik. Hal ini terlihat dari deklarasi oleh Partai Nasdem pada 3 Oktober 2022, mengusung nama Anies Rasyid Baswedan yang melewati masa purnatugas sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Sepertinya aksi politik Nasdem ini akan diikuti partai-partai lain dalam waktu yang tak terlalu lama. Nama-nama yang biasa kita saksikan dalam perbincangan ruang publik, seperti Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Puan Maharani, dan Airlangga Hartarto, juga kemungkinan akan diusung dalam kandidasi partai-partai politik lainnya.
Politik sebagai pasar
Ketika kontestasi politik telah masuk pada pusaran yang lebih keras, sepertinya ada baiknya kita menilai terlebih dahulu proses politik yang selama ini berlangsung dari pertimbangan soal politik dalam penilaian antara pasar dan forum.
Dalam pertimbangan politik sebagai pasar, titik tekannya adalah rakyat sebagai pemilih atau konsumen yang berdaulat. Proses politik yang bekerja dalam pemahaman politik sebagai pasar, termasuk di dalamnya politik elektoral mengikuti hasrat dari pemilih sebagai konsumen politik. Problemnya menjadi lebih kompleks terutama dalam arena ketika dunia telah memasuki era digital.
Pada era politik digital, Sinan Aral (2020) dalam karyanya, The Hype Machine, menegaskan bahwa perilaku politik warga sebagai pemilih, konsumen, dan warga media digital (netizen) kerap kali dibimbing oleh algoritma media digital yang mendikte orientasi memilih dan preferensi politik warga.
Intervensi media digital ini dapat mengguncang dan mengganggu arena politik dalam membangun demokrasi yang berkualitas, ketika ruang sosial media dipenuhi oleh citra-citra politik yang kering dari perbincangan politik berkualitas, dan publik hanya disuguhi oleh pencitraan politik yang dangkal, ujaran kebencian, ataupun berita-berita bohong (hoax).
Tentu saja dinamika politik elektoral tak dapat meninggalkan sepenuhnya proses politik dalam pemaknaan politik sebagai pasar. Bagaimanapun, dalam proses politik Pilpres 2024, presiden terpilih adalah hasil dari pilihan politik warga yang berdaulat yang pada momen itu berperilaku sebagai konsumen. Karena itu, wajar apabila partai mempertimbangkan kalkulasi pasar dalam logika elektabilitas dan popularitas saat mengusung kandidat.
Persoalannya, perbincangan selama ini menuju 2024 nyaris meniadakan perbincangan politik sebagai forum. Perbincangan yang menekankan pada apa yang menjadi tantangan bangsa ke depan, dan pemimpin dengan kriteria seperti apakah yang mampu menjawabnya.
Persoalannya, perbincangan selama ini menuju 2024 nyaris meniadakan perbincangan politik sebagai forum.
Politik sebagai forum
Pada era ketika perkembangan teknologi digital dan algoritma media sosial yang padat imaji maya dan politik kebencian mendikte orientasi pemilih, politik sebagai forum menjadi panacea. Sudah saatnya parpol ketika mempertimbangkan kandidat, membangun koalisi, dan menyandingkan perbincangan tentang elektabilitas tokoh dengan jejak langkah, kapasitas, integritas, dan kesesuaian antara tantangan yang dihadapi bangsa dan karakter dan kapasitas kandidat.
Politik sebagai forum menurut filsuf politik Jon Elster (2005) dalam The Market and The Forum adalah politik yang di dalamnya para partisipan menimbang melalui argumen rasional dalam mengambil keputusan, berpijak pada kebaikan bersama. Dalam bahasa dasar negara Pancasila, politik bermusyawarah yang disinari oleh hikmah kebijaksanaan.
Hendaknya dalam proses politik menuju Pilpres 2024, tiap-tiap kekuatan partai politik mengolah kandidat dengan menimbang perbincangan politik sebagai forum.
Kriteria politik
Secara lebih konkret terdapat beberapa kriteria penting sebagai kunci pembuka perbincangan politik sebagai forum. Pertama terkait jejak langkah. Warisan (legacy) pembangunan seperti apakah yang telah dihasilkan dari kiprah kepemimpinan ataupun kinerja kandidat sehingga ia pantas naik kelas sebagai presiden.
Sebagai contoh, pembuktian soal kapasitas mengelola good governance untuk menjawab masalah kemiskinan ataupun kemampuan berinovasi dalam mengelola provinsi atau kementerian, misalnya.
Kedua, kemampuan untuk menggerakkan energi publik. Tahun 1963, Ir Soekarno menegaskan dalam pidato Maulid Nabi Muhammad bahwa teladan kepemimpinan dari Rasulullah SAW adalah kemampuan beliau dalam melukiskan harapan, membangun kepercayaan diri pengikutnya, dan bersama umatnya memastikan realisasi harapan. Dalam kondisi pasca-Covid-19, di mana tantangan terbesar kita adalah menggerakkan rakyat untuk bangkit, diperlukan pemimpin yang mampu membangun narasi kepada rakyat untuk bangkit dan bergerak. Pembangunan ke depan perlu dijalankan secara partisipatoris dengan rakyat sebagai subyek utamanya.
Pembangunan ke depan perlu dijalankan secara partisipatoris dengan rakyat sebagai subyek utamanya.
Ketiga, figur yang mampu menyandingkan komitmen kebangsaan dan demokrasi. Presiden yang dibutuhkan Indonesia masa depan adalah yang mampu merawat agar substansi demokrasi, seperti hak-hak kewargaan, dijaga oleh negara, sekaligus memastikan ruang bersama dan ruang berbagi dalam kerangka kebangsaan terawat dengan baik. Penentuan kriteria-kriteria republik inilah yang hendaknya perlu diperkuat agar kita terlepas dari hantu polarisasi sosial menuju perhelatan pilpres berbasis akal budi.
Airlangga Pribadi Kusman, Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, CEO The Initiative Institute.