Bila kita meyakini kalau kendaraan listrik ini masa depan, dengan keunggulan-keunggulan tambahan mulai dari ramah lingkungan dan sebagainya, maka insentif-insentif tambahan sebaiknya segera dirumuskan.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Ketika cadangan nikel terbesar di dunia ada di Indonesia, logikanya mayoritas rakyat negeri ini menggunakan kendaraan listrik. Sayangnya, banyak hal tak masuk logika di negeri ini,
Lebih tidak masuk akal lagi ketika kita tahu bahwa Indonesia adalah negara pengimpor bahan bakar minyak. Kemudian, sebagian besar pengguna kendaraan bermotor ternyata melaju di jalan raya berbekal BBM bersubsidi.
Mengapa tidak banyak orang yang segera beralih menggunakan kendaraan listrik? Berdasarkan analisis Kompas terhadap 15 jenis sepeda motor dan 69 jenis mobil di bawah harga Rp 1 miliar, menunjukkan rata-rata harga jual kendaraan listrik relatif lebih mahal ketimbang kendaraan BBM. Hasil analisis tersebut, telah dimuat pada Harian Kompas edisi Kamis (6/10/2022) dan Jumat (7/10/2022).
Harga sepeda motor listrik lebih mahal sekitar 11 persen atau Rp 2,9 juta ketimbang sepeda motor BBM. Sementara harga mobil listrik rata-rata Rp 617,5 juta atau lebih mahal 47 persen (Rp 198 juta) dari rata-rata harga mobil BBM.
Dengan selisih harga yang begitu jauh, bagi sebagian besar orang terasa terlalu memaksakan diri untuk beralih ke mobil listrik. Hanya mereka yang berduit yang membeli mobil listrik. Itu pun kebanyakan jelas bukan mobil pertama. Sebagian dari mereka juga berkantor di ruas-ruas jalan di Jakarta yang terkena aturan ganjil-genap.
Dari hasil kerja tim jurnalisme data Kompas, terungkap bila peralihan ke sepeda motor listrik jauh lebih memungkinkan. Saat ini, sebagian mitra pengemudi Gojek misalnya, terlihat telah menggunakan sepeda motor listrik.
Tanpa upaya terlalu besar dari pemerintah, peralihan ke kendaraan listrik roda dua tampaknya mungkin terjadi. Pembeli tampaknya tinggal menunggu produk dari pabrikan besar yang kini telah terusik dengan produsen sepeda motor maupun sepeda listrik. Penetrasi sepeda listrik bahkan diam-diam menggelinding dari kawasan permukiman.
Untuk mengejar target keberadaan 13 juta sepeda motor listrik di tahun 2030, Kementerian ESDM telah pula menyiapkan program konversi mesin BBM ke mesin listrik. Bengkel konversi pun kini bermunculan meski sebagian orang masih sebatas mengonversi motor klangenan mereka.
Sementara itu, butuh insentif untuk mendorong peralihan ke mobil listrik. Di Jakarta, insentif lebih telah diberikan berupa bebas melintas di jalan “ganjil-genap”. Namun tersedia banyak skema insentif lainnya mulai dari subsidi pembelian, bebas biaya parkir hingga bebas melintas di jalan tol.
Bila kita meyakini kalau kendaraan listrik ini masa depan, dengan keunggulan-keunggulan tambahan mulai dari ramah lingkungan dan sebagainya, maka insentif-insentif tambahan sebaiknya segera dirumuskan dan diterapkan. Bila tidak maka peralihannya akan begitu lambat.
Apalagi, tahun depan diprediksi terjadi resesi global. Konsumen pun akan lebih menahan diri untuk tidak membeli apapun termasuk kendaraan baru. Bila itu terjadi maka penetrasi kendaraan listrik, terutama mobil listrik, di Indonesia akan jauh tertinggal dari negara-negara lain yang dalam jangka panjang akan mendapat manfaat lebih dari kendaraan listrik.