Bagian sangat penting dari buku ini ketika Anthony Reid menulis khusus mengenai ”Jejak Nasionalis Indonesia Mencari Masa Lampaunya”. Penulis mengingatkan betapa lambannya kita membukukan sejarah nasionalisme Indonesia.
Oleh
HANDRY TM
·6 menit baca
Anthony Reid, sejarawan Selandia Baru yang menyelesaikan karya doktoralnya mengenai persaingan kekuasaan di kawasan utara Sumatera. Ia menyelesaikan studinya yang mendalam tersebut di Cambridge University. Bersama David Marr (ahli saraf dan fisiologi dari Cambridge), keduanya pernah menghimpun delapan tulisan ke dalam buku berjudul Perception of the Past in Southeast Asia (diterbitkan Heinemann Educational Book/Asia Ltd, Hong Kong). Tahun 1983 buku ini pernah terbit dengan judulDari Raja Ali Haji hingga Hamka (Grafiti Pers). Pada tahun 2022 diterbitkan ulang menjadiIndonesia dan Masa Lalunya (MataBangsa, Yogyakarta).
Buku ini hadir dengan tampilan redaksional lebih familiar bagi kalangan muda. Penataan sampul buku digarap Ong Harry Wahyu dengan lebih cantik. Sekilas, buku Indonesia dan Masa Lalunya menghimpun berbagai pandangan sejarawan dunia, saat Indonesia mengalami masa gamang. Benedict O’Gorman Anderson mengawali buku ini dengan mengulas Serat Kalatida (Syair tentang Masa Kegelapan) karya R Ng Ronggowarsito, yang ditulis sang pujangga Istana Kasunanan Surakarta sebelum tutup usia pada tahun 1873.
Syair tersebut kira-kira bertutur mengenai ”Derajat negeri tampak telah sunyi, penguasaan kata-kata telah terbelakang karena tiadanya keteladanan, Sang Pujangga Utama terbelit hati yang penuh cinta, tersiar kerendahan derajatnya.// Padam segala tanda kehidupan, dunia dibanjiri berbagai kemalangan, raja utama, patihnya, patih yang memiliki kelebihan, para pegawai berhati tenteram, penjaga keamanannya baik-baik. Meski demikian, mereka tidak menjadi penolak (kemurkaan) Sang Kala. Mengalami zaman gila, sulit mengggunakan akal-budi, mau ikut gila tak tahan, tapi jika tidak ikut, menjalani.” (hlm 1-2)
Kelahiran Indonesia diawali oleh peristiwa-peristiwa besar sebelum negeri itu lahir.
Bagian ini sebenarnya merupakan pemikiran kaum nasionalis Indonesia di masa awal. Kelahiran Indonesia diawali oleh peristiwa-peristiwa besar sebelum negeri itu lahir. Antara lain terpecahnya integritas raja-raja yang terdapat di Nusantara. Serat Kala Tida merupakan salah satu contoh. Menjelang masa muram di saat Kasunanan Mataram yang beribu kota di Surakarta hampir jatuh.
Bagian lain dari buku ini memuat sejumlah tulisan hasil penelitian, yaitu ”Historigrafi Jawa pada Periode Kolonial” (Ann Kumar), ”Yamin dan Hamka: Dua Jalan Menuju Identitas Indonesia” (Deliar Noer), ”Citra Majapahit dalam Tulisan Jawa dan Indonesia Kemudian” (S Supomo), ”Jejak Nasionalis Indonesia Mencari Masa Lampaunya” (Anthony Reid), ”Pandangan Arung Palakka tentang Desa dan Perang Makassar 1666-1669” (Leonard Y Andaya). Juga karya Ruth T McVey berjudul ”Pesona Revolusi: Sejarah dan Aksi dalam Sebuah Naskah Komunis Indonesia” yang menjadi bagian penutup buku penting ini.
Hal mengejutkan adalah perkembangan yang relatif lamban dalam menafsirkan kembali sejarah Indonesia secara lengkap sebagaimana Anthony Reid menulis dalam ”Jejak Nasionalis Indonesia Mencari Masa Lalunya”. Nyatanya, retorika sejarah Indonesia sering terpotong oleh peristiwa kemerdekaan semata. Padahal, menurut para sejarawan, masa silam keindonesiaan bisa dimulai dari raja-raja besar di Nusantara. Mereka sangat memberi warna bagi tumbuh kembangnya nasionalisme kebangsaan baru bernama Indonesia.
Cahaya terang
Tiga puluh lima tahun dari ditulis-nya Serat Kala Tida (1873), sejumlah pemuda Jawa terdidik telah membentuk perkumpulan Budi Utomo. Tepatnya, pada 20 Mei 1908, mereka menghimpun gerakan itu di Batavia. Organisasi ini dibentuk oleh para pemuda terdidik berusia belasan tahun. Rata-rata dari mereka adalah para pemuda dari suku Jawa. Mereka adalah mahasiswa Stovia (School tot Opleiding van Indische Artsen)—Sekolah Dokter Pribumi. Penggagasnya adalah dr Sutomo, pemuda kelahiran Desa Ngepeh, Nganjuk, Jawa Timur. Pergerakan ini sangat penting dicatat dalam proses terbentuknya semangat kebangsaan pada kemudian hari.
Pergerakan Budi Utomo memulai semangatnya dengan melahirkan The Dawn of Indonesian Nationalism (Fajar Nasionalisme Indonesia). Kelahiran Budi Utomo ini oleh Robert van Niel menandai perubahan cara pikir kaum muda Jawa. Dari yang semula tradisional, mistis-animistis ke lingkungan mental yang rasional-realistis (hlm 6). Seolah menandai betapa era kegelapan pada zaman akhir Kerajaan Mataram seperti mendapatkan cahaya terang dalam membangun kebangsaan Indonesia.
Keduanya berjuang dengan pemikiran melalui tulisan-tulisan. Moh Yamin menulis soal kebahasaan dan Hamka melahirkan karya sastra.
Pada tahun 1920 dua nama tokoh nasionalis akhirnya muncul. Mereka adalah Mohammad Yamin dan Hamka. Dua tokoh pergerakan yang membangkitkan kebangsaan negeri dengan cara berbeda. Keduanya berjuang dengan pemikiran melalui tulisan-tulisan. Moh Yamin menulis soal kebahasaan dan Hamka melahirkan karya sastra. Namun, kekuatan kebangsaan dua tokoh Minangkabau ini sangat menjelaskan betapa keindonesiaan harus dipertebal dengan kebangsaan yang lebih tegas (hlm 57).
Bagian sangat penting dari buku ini ketika Anthony Reid menulis khusus mengenai ”Jejak Nasionalis Indonesia Mencari Masa Lampaunya” (hlm 81). Penulis mengingatkan betapa lambannya kita membukukan sejarah nasionalisme Indonesia. Baru pada periode pendudukan Jepang lahir buku karya Sanusi Pane berjudul Sejarah Indonesia. Para sejarawan dunia sering mempertanyakan betapa masa lampau akan menjadi modal bagi peristiwa masa kini dan masa yang akan datang. Keterlambatan merangkum sejarah nasionalisme Indonesia ditengarai dengan kegamangan para pemikir dalam merespons cara pandang masa depan bangsanya.
Pemikiran Islam dan citra Majapahit
Dikemukakan bahwa pemikiran Islam menjadi bagian yang tak dapat ditinggalkan dalam sejarah Indonesia. Pada dekade pertama abad ke-19, manuskrip-manuskrip Melayu mulai dikumpulkan oleh pemerintah kolonial Belanda di Batavia. Elisa Netscher, seorang sejarawan dan pejabat Belanda yang kemudian menetap di Riau, mengemukakan, ”Karya sastra yang dihasilkan di Riau Lingga, selain berakar dalam kesusasteraan Melayu dan Islam, tecermin kental pada tulisan Raja Ali Haji bin Raja Ahmad pada tahun 1809-1870.” (hlm 149-159)
Sekalipun Raja Ali Haji menandai produk zamannya, ia sangat memperhatikan produk perubahan sosial-politik yang dialami dunia Melayu abad ke-18-19. Sebagaimana ditulis Virginia Matheson dan Barbara Watson Andaya dalam Thammarat al-Mahammah, Raja Ali Haji tetap menggunakan konsep ideal mengenai raja dan politik praktis. ”Raja yang jelek dapat dilihat dari sikapnya yang congkak, iri hati, jahat, serakah, menghambur-hamburkan uang, tidak acuh terhadap persoalan administrasi, penipu, tidak memiliki humor dan bersikap menghambat (pada bagian berjudul ”Pemikiran Islam dalam Tradisi Melayu”).
S Supomo menandai hal terpenting berdirinya Kerajaan Majapahit, sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah Indonesia.
S Supomo menandai hal terpenting berdirinya Kerajaan Majapahit, sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah Indonesia. Pada abad ke-15 telah muncul karya tulis amat dahsyat, sebagaimana yang kita kenal hingga sekarang, yakni Negarakertagama dan Pararaton, dua manuskrip yang menempatkan Majapahit dalam kedudukannya yang khas mengenai karya tulis Jawa Kuno. Negarakertagama karya Mpu Prapanca dan Pararaton mengisyaratkan bahwa raja-raja di masa lalu memiliki tradisi mengunjungi desa-desa, sebagaimana kebiasaan negara dengan membiasakan tradisi yang suci. Pararaton memiliki arti kitab para raja dan di dalamnya termaktub sejarah para raja Singasari dan Majapahit.
Dari situlah akar pembahasan sejarah keindonesiaan terjalin sehingga bangsa ini tidak lahir serta-merta menjelang kemerdekaan dan pascakemerdekaan semata, melainkan memiliki manuskrip mainstream berabad-abad sebelumnya. Semoga buku ini bisa mengantarkan ingatan kita tentang betapa pentingnya menata ulang kembali sejarah kebangsaan dari waktu berabad silam.
(Handry TM, Penulis sastra dan pemerhati kebudayaan)
Judul Buku: Indonesia dan Masa Lalunya
Penulis : Benedict O’Gorman Anderson, Deliar Noor, dkk