Menteri Wakaf Uni Emirat Arab Sheikh Khaled bin Ali al-Khalifa mengingatkan, jika para ulama menutup diri dan lambat melakukan ijtihad, umat Islam akan semakin tertinggal dan menjadi umat pinggiran pada era sekarang ini.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·5 menit baca
Riak-riak suara seruan pembaruan pemikiran Islam kembali bergema dari kota Kairo, Mesir. Kota ini sejak awal abad ke-19 M telah menjadi titik tolak lahirnya semacam suara keprihatinan atas kemunduran bangsa Arab dan ummat Islam. Cendekiawan Mesir, Abdullah Nadhim, pada tahun 1893 M untuk pertama kalinya menerbitkan buku dengan judul “Mengapa Bangsa Eropa Maju dan Kita Mundur ?”
Setelah lebih dari satu abad, persisnya setelah 129 tahun, yakni pada akhir September 2022, ada dua momentum di kota Kairo yang kembali mengungkapkan keprihatinan atas kemunduran umat Islam saat ini. Disebutkan pada kesempatan tersebut, pentingnya sekarang melakukan ijtihad untuk mengejar ketertinggalan umat Islam di semua bidang.
Momentum pertama berlangsung di forum Konferensi Majelis Tinggi Islam Kementerian Wakaf Mesir pada 24-25 September 2022. Di forum itu, kembali digemakan suara tentang keharusan melakukan ijtihad pada era modern ini.
Momentum kedua muncul saat tulisan cendekiawan Mesir Ahmed Zakaria el-Shalaq terbit di harian Al Ahram edisi 26 September 2022. Judulnya ialah “Muhammad Abduh dan Gerakan Kebebasan Berpikir”.
Dua momentum tersebut saling terkait satu sama lain. Tulisan Ahmed el-Shalaq tentang seruan Muhammad Abduh akan kebebasan berpikir menyambut positif hasil Konferensi Majelis Tinggi Islam yang menegaskan bahwa ijtihad adalah sebuah kenincayaan pada era modern ini. Tulisan itu terbit tepat sehari setelah selesainya konferensi tersebut.
Saya turut hadir dalam forum konferensi itu. Tertangkap jelas tentang narasi yang berkembang dalam forum konferensi tersebut bahwa keharusan ijtihad pada era modern ini penting untuk menghadapi perkembangan zaman yang begitu cepat dan kompleks.
Menteri Wakaf Uni Emirat Arab (UEA) Sheikh Khaled bin Ali al-Khalifa dalam sambutan pada forum konferensi tersebut menegaskan, tidak ada pilihan lain bagi para ulama Islam kecuali melakukan ijtihad dalam menghadapi perkembangan zaman yang sangat kompleks saat ini, seperti tren perubahan iklim, era gitalisasi, dan energi terbarukan.
Menurut Sheikh Khaled, jika para ulama terus menutup diri dan lambat melakukan ijtihad, umat Islam akan semakin tertinggal dan menjadi umat pinggiran pada era sekarang ini. Tentu, tegas Sheikh Khaled, ijtihad tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, melainkan oleh para ulama yang mumpuni keilmuannya dan memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad.
Bahkan, lanjut Sheikh Khaled, proses ijtihad tidak bisa dilakukan oleh hanya seorang ulama dengan latar belakang ilmu agama saja, tetapi harus dilakukan secara kolektif dengan melibatkan para ulama atau ilmuwan yang terkait dengan obyek sasaran ijtihad tersebut.
Apa yang ditegaskan oleh menteri Waqaf UEA itu sejalan dengan rekomendasi konferensi tentang narasi ijtihad yang disampaikan pada akhir konferensi. Di antara rekomendasi itu adalah keharusan melakukan ijtihad kolektif, terutama terkait isu ekonomi, medis, lingkungan, teknologi pertanian, kedokteran hewan, dan lain-lain.
Ditegaskan pula, seorang ulama agama harus meminta pendapat atau berkonsultasi dengan ilmuwan terlebih dahulu yang terkait bidang yang menjadi obyek ijtihad sebelum mengeluarkan ijtihad. Artinya, fatwa agama atas isu-isu kehidupan modern saat ini harus berpijak atau bersandar pada pendapat ilmuwan terkait bidang obyek ijtihad.
Karena itu, konferensi menegaskan tentang pentingnya ijtihad kolektif atau ijtihad institusional yang melibatkan para ulama yang pakar di bidang ilmunya masing-masing.
Rekomendasi konferensi menegaskan pula bahwa ijtihad harus mengandung elemen yang menjamin keseimbangan antara elemen agama dan ilmu modern. Selain itu, konferensi juga mengingatkan pula tentang bahaya jumud dan dampaknya. Ditegaskan pula tentang bahaya mengadopsi teks-teks yang lahir pada situasi dan kondisi tertentu, tetapi dicoba digeneralisasikan untuk semua situasi dan kondisi.
Seperti gayung bersambut, sehari setelah konferensi Majelis Tinggi Islam itu berakhir, tulisan Ahmed el-Shalaq terbit di harian Al Ahram, harian terkemuka di Mesir. Dalam artikelnya, ia mengangkat lagi semangat dan gerakan kebebasan berpikir yang pernah dilontarkan ulama besar Mesir, Muhammad Abduh.
Abduh (1849-1905) adalah seorang pemikir pembaruan Islam yang sangat populer pada abad ke-19 M. Pemikiran pembaruan yang dikemukakannya sampai saat ini terus menjadi rujukan dan dikutip oleh para sarjana Barat maupun Timur. Hal ini menunjukkan pengaruhnya masih sangat dirasakan dan cukup kuat di berbagai negara berpenduduk mayoritas Muslim, baik di Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara maupun Afrika.
Bahkan, pemikiran pembaruan Abduh juga menjadi rujukan di pusat-pusat studi Islan di Eropa dan Amerika Utara. Menurut Ahmed el-Shalaq, pemikiran pembaruan Abduh masih sangat relevan saat ini. Pemikiran Abduh menegaskan tentang pemahaman modern terhadap agama Islam yang sarat dengan pesan-pesan kemanusian.
Pemikiran Abduh juga menyerukan tentang keharusan gerakan kebebasan berpikir dan harus terus melakukan ijtihad, serta membangun pemahaman terhadap agama secara modern sesuai dengan zamannya yang terus berkembang.
Ahmed el-Shalaq menyebut, prinsip umum pemikiran pembaruan Abduh adalah, pertama, pembebasan akal dari cara berpikir khurafat dan jumud. Kedua, pembebasan umat secara politik dan ekonomi dari penjajah dan penguasaan kelompok tertentu. Ketiga, kesetaraan, partisipasi politik dan keadilan sosial. Keempat, membangun cara berpikir ilmiah dan kritis serta keluar dari tradisi berpikir taklid.
Ia menyebutkan pula, Abduh sangat prihatin atas situasi di Mesir yang sempat bangkit pada era Muhammad Ali Pasha yang berkuasa di Mesir pada era 1805–1849 M. Ali Pasha dikenal bapak modern Mesir.
Namun, pascaera Ali Pasha, Mesir mengalami keterpurukan lagi. Pada era Khadive Ismail (1863–1879 M), Mesir mencoba bangkit kembali seperti pada era Ali Pasha, namun tidak meraih sukses berarti karena pengaruh penjajahan asing saat itu.
Kini, Majelis Tinggi Islam Kementerian Waqaf Mesir melalui forum konferensi tentang keharusan melakukan ijtihad pada 24-25 September 2022 mencoba lagi melakukan seperti yang pernah dilakukan Ali Pasha, Khadive Ismail, dan Abduh dalam upaya merancang kembangkitan kembali negeri Mesir dan umat Islam di seluruh dunia.