Gejala sosial keagamaan dari Islamic Turn (William Liddle 1990), Conservative Turn (Martin van Bruinessen 2013), Populist Turn (NKRI bersyariah, Pancasila bertauhid) hingga Traditionalist Turn (Wasisto Raharjo Jati 2022)
Oleh
Ahmad Najib Burhani
·5 menit baca
Beberapa waktu lalu Ikatan Alumni UIN Jakarta mengadakan dialog kebangsaan dengan tema ”Mengembalikan UIN Jakarta sebagai Kampus Pembaharu Islam di Indonesia”. Tema ini penting dan menarik karena isu pembaharuan Islam seperti menghilang dari wacana publik dalam beberapa dekade belakangan ini dan digantikan dengan isu Islam politik, diskriminasi keagamaan, radikalisme, dan bahkan terorisme.
Tahun 1980-an, UIN Jakarta merupakan episentrum dari gagasan-gagasan Islam yang segar dan inovasi sosial dalam hal keagamaan. Ketika menjadi rektor (1973-1984), Harun Nasution, di antaranya dengan buku Teologi Islam, mempromosikan pemikiran Islam rasional dari Mu’tazilah. Nurcholish Madjid tentu saja menjadi gong terbesar dalam wacana pembaharuan Islam itu dengan berbagai pemikirannya, seperti gagasan sekularisasi yang di antaranya diejawantahkan dalam slogan ”Islam, Yes; Partai Islam, No”. Buku-buku yang diterbitkan kampus ini juga menjadi inspirasi dan referensi utama dari berbagai Perguruan Tinggi Agama Islam di seluruh tanah air. Inilah di antaranya yang menjadi daya tarik bagi siswa-siswi dari sejumlah daerah untuk pergi ke Jakarta dan kuliah di ”Kampus Pembaharu” tersebut.
Dalam Civil Islam: Muslim and Democratization in Indonesia (2000), Robert Hefner bahkan menyebut UIN sebagai pilar penting dari demokrasi dan apa yang disebutnya sebagai civil Islam itu. Alumni-alumni dari kampus agama itu merupakan penarik gerbong moderasi beragama di Indonesia, pionir toleransi beragama, kampiun demokrasi, isu-isu perempuan dan hak asasi manusia, serta menjadi representasi dari smiling Islam.
Tentu saja, pembaruan Islam pada tahun-tahun tersebut tidak hanya dilahirkan dan dikumandangkan oleh UIN Jakarta. Munawir Sjadzali, Menteri Agama 1983-1993, berijtihad untuk merevisi hukum waris dalam Islam yang sudah berlaku berabad-abad dan juga mendirikan Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) sebagai sekolah khusus untuk melahirkan ulama plus. Masdar Farid Mas’udi memunculkan gagasan Pajak itu Zakat, Djohan Effendi menjadi ”pelintas batas” agama-agama dan membangun kerja sama antar-iman, Dawam Rahardjo dengan ekonomi Islamnya, dan Haidar Bagir dengan Mizan-nya sebagai penerbit buku-buku Islam progresif.Pembaru besar lain yang sama sekali tak boleh dilupakan adalah Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang di antaranya memperkenalkan gagasan penting tentang ”pribumisasi Islam”.
Semenjak 1990-an, wacana pembaharuan itu mulai bergeser dan mulai berganti dengan Islamisasi politik. Dalam istilah William Liddle (1990), pada era 1990-an itu Indonesia mengalami apa yang disebut dengan ”Islamic Turn”, di mana para aktivis dan pemikir Islam masuk ke pemerintah, militer mengalami ”hijaunisasi”, santri-santri masuk birokrasi atau menjadi anggota kabinet, dan simbol-simbol Islam tumbuh di berbagai ruang publik. Jilbab yang sebelumnya banyak dilarang di sekolah negeri lantas dicabut. Di era ini pula Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Bank Muamalat, dan koran Republika berdiri. Presiden Suharto dan keluarga melaksanakan haji dan melakukan reorientasi politiknya juga pada dekade ini.
Dedake berikutnya, 2000-an, didefinisikan oleh Martin van Bruinessen (2013) sebagai ”Conservative Turn”. Dalam konteks global, perubahan besar yang terjadi pada dekade ini diawali dengan peristiwa 11 September 2001 ketika terjadi aksi terorisme yang merobohkan WTC di New York, AS. Di Indonesia, berbagai aksi terorisme juga terjadi, seperti Bom Malam Natal (2000), Bom Bali (2002), Bom JW Marriott (2003), dan Bom Kedubes Australia (2004).
Konflik antar dan intra-agama terjadi di beberapa tempat, upaya mengambalikan Piagam Jakarta dalam Undang-undang Dasar diusulkan oleh sejumlah kelompok Islam, dan perda syariah diterapkan di beberapa daerah. Tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang cukup kontroversial terkait pluralisme, liberalisme, dan sekularisme. Fatwa dan SKB terkait Ahmadiyah juga terjadi pada dekade ini. Di masa ini pula FPI dan HTI menjadi ormas Islam yang aktif, bahkan melakukan infiltrasi ke Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Memang, ada wacana berbeda yang muncul pada masa itu, yaitu lahir dan berkembangnya Jaringan Islam Liberal (JIL). Namun, tren umum secara nasional adalah menonjolnya kelompok konservatif.
Dekade berikutnya memang masih banyak memiliki ciri-ciri dari konservatisme tersebut, tetapi coraknya berbeda. Meski aksi terorisme tak sebanyak pada dekade sebelumnya, namun diskriminasi terhadap kelompok minoritas masih sering terjadi. Individu atau kelompok yang sebelumnya mempromosikan negara Islam, beralih menjadi bersedia mengadopsi demokrasi. Pada masa ini muncul wacana tentang ”NKRI Bersyariah” dan interpretasi eksklusif tentang Pancasila seperti ”Pancasila Bertauhid”. Namun, yang paling menonjol diparuh kedua dekade ini adalah berbagai Aksi Bela Islam. Inilah yang kemudian membuat dekade ini menjadi identik dengan ”Populist Turn” dan kondisi yang sama juga terjadi di negara lain di dunia.
Dekade 2020-an tentunya belum bisa didefinisikan secara pasti, tetapi istilah ”Traditionalist Turn” yang dipakai Wasisto Raharjo Jati (2022) sepertinya pas dipakai untuk menggambarkan awal dekade ini terutama bila melihat beberapa kecenderungan sosial-keagamaan di masyarakat. Kelompok yang dulu disebut sebagai traditionalist ini tidak hanya cukup kentara dalam beberapa posisi pemerintahan, mereka bahkan seperti menjadi mazhab negara saat ini.
Kembali ke persoalan awal, seperti apa nasib dan masa depan pembaharuan Islam di Indonesia? Apakah UIN Jakarta bisa kembali memposisikan dirinya sebagai motor pembaharuan Islam? Ataukah peran ini bisa diambil alih oleh Islam tradisionalis yang sekarang dekat dengan kekuasaan? Bisa saja tuntutan zaman memang sudah berbeda sehingga kita tak bisa berharap kondisi dan jawaban yang sama seperti era 1980-an.
Perlu dicatat bahwa sejumlah pemikir Muslim yang cukup menonjol saat ini adalah produk UIN Jakarta, di antaranya Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Nadirsyah Hosen, dan Syafiq Hasyim. Meski tak identik dengan satu pemikiran besar tertentu sebagaimana terjadi pada pemikir sebelumnya, nama-nama itu selalu memunculkan gagasan keagamaan yang menarik dan kritis terhadap berbagai fenomena sosial yang tak pas di masyarakat.
Dalam artikel yang akan terbit di ISEAS terkait industri halal dan ekonomi syariah, misalnya, Hasyim secara serius membuat ulasan dan catatan kritis terkait efek samping dari projek itu. Ia mewanti-wanti agar proyek halal nantinya tidak menjadi alat untuk ”syariatisasi negara”, menciptakan diskriminasi sistematis terhadap minoritas, dan menjadikan masyarakat tersegregasi berdasarkan agama. Indonesia bukan hanya umat Islam dan karena itu tidak boleh negara hanya memikirkan kepentingan satu umat beragama saja.
Ahmad Najib Burhani, Profesor Riset di BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional)