Tindak kekerasan dalam rumah tangga—yang dilakukan oleh suami kepada istri, orangtua kepada anak, majikan kepada asisten rumah tangga, dan seterusnya—dikenal sebagai kekerasan dalam rumah tangga.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Satu lagi perempuan berani bersuara, melaporkan kekerasan dalam rumah tangga yang ia alami. Semoga langkahnya mengilhami para perempuan untuk berdaya.
Terima kasih kepada Lesti Kejora, juara D’Academy Indosiar musim pertama, 2014, karena tidak banyak perempuan mempunyai keberanian ini. Ia melaporkan sang suami, Rizky Billar, ke Polres Metro Jakarta Selatan, Rabu (28/9/2022). Hari itu, Billar dua kali melakukan kekerasan kepada Lesti.
Tindak kekerasan dalam rumah tangga—yang dilakukan oleh suami kepada istri, orangtua kepada anak, majikan kepada asisten rumah tangga, dan seterusnya—dikenal sebagai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kekerasan tidak hanya fisik, tetapi juga psikis. Secara verbal ataupun sikap.
Tindak kekerasan, tidak hanya dalam rumah tangga, tetapi juga dalam skala lebih luas, umumnya terjadi karena subordinasi, marjinalisasi, dan stereotype. Perempuan dan anak yang posisinya paling lemah, paling sering menjadi korban.
Padahal, pada dasarnya manusia dilahirkan sama. Tidak peduli apa jenis kelaminnya, suku, ras, agama, ataupun kondisi sosial ekonominya. Setiap manusia memiliki hak asasi yang melekat secara kodrati. Setiap manusia berhak dilindungi, diperhatikan, dan dipenuhi kebutuhannya.
Hak asasi mencakup kebutuhan untuk bebas hidup dan merdeka, bebas dari penganiayaan dan penindasan, bebas berpendapat dan berekspresi, serta bebas mendapatkan pendidikan dan pekerjaan. Oleh karena itu, KDRT adalah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan.
Meski demikian, tidak mudah menghapus KDRT. Data yang dihimpun Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sepanjang 2004-2020 menunjukkan ada 544.452 kasus KDRT yang meliputi kekerasan terhadap istri, kekerasan terhadap anak perempuan, kekerasan terhadap pekerja rumah tangga, dan kekerasan relasi personal lainnya. Yang memprihatinkan, KDRT diperburuk oleh kehadiran teknologi informasi komunikasi.
Memang, Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), berlaku sejak 2004. Namun, kenyataan menunjukkan, UU ini belum tersosialisasi dengan baik. Banyak korban belum memahami prosedur hukum, sementara di sisi lain penegak hukum masih bersikap formal dan administratif.
Kondisi makin memprihatinkan ketika orang menggunakan agama untuk membuat perempuan taat menjaga martabat keluarganya sehingga KDRT dianggap sebagai aib yang terus ditutupi. Terjadilah lingkaran kekerasan, makin lama makin berat dan luas eskalasinya. Dari membentak hingga menghajar, dari suami mengerasi istri, istri mengerasi asisten rumah tangga, anak, dan seterusnya.
Tidak ada jalan lain. Masyarakat harus bergerak bersama. Dorong inisiatif lokal untuk menolak kekerasan dan perbaiki sistem pelaporan KDRT yang berempati terhadap korban.
Lesti Kejora telah bersuara. Mari kita dukung dengan semangat bahwa KDRT adalah tindak pidana yang harus dilaporkan dan dihukum pelakunya.