Gejala singkatan, akronim, dan pemendekan kata dapat menjadi salah satu gejala atau kode khusus dalam permainan bahasa. Gejala ini sangat mungkin hilang pada zaman berikutnya.
Oleh
Nizar Machyuzaar
·3 menit baca
Kesemena-menaan menjadi salah satu karakter bahasa, terutama dalam penggunaannya. Dengan itu, perbendaharaan kata diperkaya—lepas dari kesepakatannya yang kemudian dibakukan dan dimasukkan ke dalam kamus.
Bagaimana dengan kata halu yang dipenggal dari kata halusinasi? Saya cukup sering mendengar kata tersebut terselip dalam lalu lintas percakapan, baik lisan maupun tulisan. Tentu saja, gejala pemenggalan kata ini dihelat penutur bahasa Indonesia dengan tujuan mengefektifkan lalu lintas percakapan.
Namun, kata halu cenderung ditempatkan pada konteks pernyataan yang berkonotasi negatif. Seolah-olah, orang yang dilabeli dengan kata halu tidak memiliki dasar pemikiran faktual dan kontekstual. Entah siapa orang yang pertama memenggalnya dan memakainya dalam percakapan.
Konteks dan generasi penutur sezaman menandai modus kata halu dalam permainan bahasa yang sangat mungkin hilang pada zaman berikutnya.
Gejala abreviasi (pemendekan) ini merupakan salah satu bentuk kesemena-menaan dalam berbahasa. Kridalaksana (1986) membaginya dalam tiga jenis, yakni singkatan (TNI: Tentara Nasional Indonesia), akronim (Polri: Kepolisian Republik Indonesia), dan penggalan (dok: dokter).
Hemat saya, gejala penggalan kata halu terjadi karena beberapa pertimbangan. Pertama, dalam ragam lisan gejala ini sangat dimungkinkan dilakukan partisipan percakapan karena intensitas pemakaian kata tersebut. Akibatnya, ada semacam kesepakatan temporal antarpartisipan percakapan untuk memendekkan kata halusinasi menjadi halu.
Kedua, dalam ragam tulisan, gejala pemendekan kata cenderung terjadi pada ranah percakapan dalam aplikasi berbagi pesan, seperti Whatsapp, Telegram, dan Messenger. Pada aplikasi media sosial Facebook, Tweeter, dan lain-lain pun gejala ini terjadi karena fiturnya menyertakan komentar penanggap atas konten yang diunggah.
Saat ini ruang menulis pesan dalam aplikasi berbagi pesan dan media sosial dapat menampung gagasan pesan yang panjang. Lain hal dengan SMS pada era 2G sekira tahun 1990-an atau sebelum dipakai layanan internet 3G, 4G, dan 5G. Partisipan percakapan harus berhitung dengan jumlah huruf yang terbatas dan pesan yang akan disampaikan. Dengan begitu, gejala pemendekan semestinya tidak terjadi.
Meski demikian, kelenturan bahasa yang dapat disingkat, diakronimkan, dan dipenggal memberi energi positif bagi bahasa untuk berkembang. Hal ini terdukung dengan anggapan bahwa bahasa dalam tataran praksisnya adalah sebuah permainan simbol dengan kesukarelaan dan kemanasukaan selera antarpartisipan percakapan.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Wittenstein tentang permainan bahasa dalam buku Philosophical Investigations (1953). Menurut dia, pada dasarnya praktik berbahasa sehari-hari akan mengebawahkan ketatabahasaan. Dengan itu, gejala singkatan, akronim, dan pemendekan kata dapat menjadi salah satu gejala atau kode khusus dalam permainan bahasa.
Akhirnya, konteks dan generasi penutur sezaman menandai modus kata halu dalam permainan bahasa yang sangat mungkin hilang pada zaman berikutnya. Kita dapat menyebutnya dengan narasi halu manakala gejala budaya pop menawarkan citra dan pencitraan hasil reka kreasi pewacana.
Yang dimaksud adalah fenomena Citayam Fashion Week. Konstruksi wacana yang dibangun, terutama oleh para pendukungnya di media sosial, telah memberi makna lain atas istilah halu. Bagaimanapun, kesukarelaan dan kemanasukaan pemakaian istilah ini oleh partisipan wacana akan berkorelasi dengan budaya populer yang laris manis dalam sesaat.
Nizar Machyuzaar, Mahasiswa Magister Ilmu Sastra FIB Unpad, Bandung