”Lebih Senyap dari Bisikan” karya Andina dokumen kiat berumah tangga tanpa kamuflase dengan sejumlah jargonnya yang tak penting, yang seolah menjadi perempuan dan menjadi ibu semudah jargon iklan sosis; tinggal ”lheeb”.
Oleh
HUBBI S HILMI
·5 menit baca
Ketimpangan atau ketidakadilan jender lebih dahulu lahir dan hadir dari ranah domestik, salah satu yang memotret hal itu ialah karya sastra, dalam hal ini novel. Novel merupakan representasi dunia pengarangnya, ia hadir bukan hanya melalui imajinasi, melainkan juga dari pengalaman dan pengetahuan para penulisnya. Pun dengan novel Lebih Senyap dari Bisikan karya Andina Dwifatma yang membicarakan perempuan dengan segala problematikanya, baik dalam ranah domestik maupun dalam ranah publik.
Novel ini sendiri merupakan novel yang pernah dinobatkan sebagai Buku Sastra Pilihan Tempo 2021 kategori Prosa. Sementara novel Andina terdahulu berjudul Semusim, dan Semusim Lagi (GPU, 2013) memenangkan sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2012.
Ada tiga perempuan dalam Lebih Senyap dari Bisikan, yakni Amara, Mami (ibu tokoh Amara), dan Dewi. Ketiganya bernasib serupa, membesarkan buah hati seorang diri, tanpa seorang lelaki. Mami misalnya, membesarkan Amara dalam yatim. Lalu Dewi, melahirkan Lula dan ditinggalkan suami pada tahun ketujuh pernikahannya untuk menjadi TKI dan tak pernah kembali. Lain halnya dengan Amara–tokoh utama dalam novel ini–yang meski melahirkan ditemani seorang suami (Baron), tetapi mengurus anaknya tetap dalam kesendirian. Tanpa seorang lelaki. Tanpa Ayah.
Melalui Amara kita diajak mengarungi pasang surutnya bahtera rumah tangga, mulai dari sebelum, memulai, hingga faktor-faktor penentu utuhnya sebuah keluarga.
Amara meretas perbedaan dengan menikahi Baron yang berbeda agama. Menikah dengan dua kesakralan umat beragama yang berbeda. Memilih berpisah dengan Mami yang membesarkannya. Memulai kehidupan baru bersama suaminya dan tetap dalam perbedaan.
Melalui Amara kita diajak mengarungi pasang surutnya bahtera rumah tangga, mulai dari sebelum, memulai, hingga faktor-faktor penentu utuhnya sebuah keluarga. Khususnya menjadi seorang perempuan dalam sebuah pernikahan, yang berarti berani menanggung segala risikonya.
Ia (perempuan) akan selalu menjadi sasaran ”omongan tetangga”, terlebih menjadi perempuan yang Amara, yang delapan tahun semenjak menikah belum mendapati momongan. Amara lah yang didakwa menjadi faktor penyebab belum hadirnya seorang anak, bukan Baron (lelaki). Perempuan yang belum hamil selalu diberondong semacam ”keheranan” para tetangga, seolah diksi ibu, diksi perempuan sempurna hanya pantas diberikan kepada mereka yang dengan sekejap mampu hamil dan mampu memproduksi keturunan.
Bukan hanya perihal omongan tetangga sebelum hamil, pun ketika pada akhirnya Amara hamil dan akhirnya melahirkan, Amara tetap saja tetap dijadikan sebagai liyan dan tentu laki-laki tetap menjadi yang diprioritaskan. ”Sekarang saya jahit ya, Bu. Ini teknologi canggih, jadi enggak perlu cabut benang,” kata dokter. Suaranya terdengar riang. Sebelum aku menyadari apa yang terjadi, ada rasa perih di bibir vaginaku dan bunyi cetik cetik benang di gunting. ”Kita rapetin ya, biar Bapak senang,” dokter terkekeh sendiri (hlm 54).
Menjadi ibu tak segampang jargon di TV
Menggendong, menyusui, dan merawat bayi tak segampang jargon iklan di televisi. Amara dalam novel Lebih Senyap dari Bisikan menjadi representasi kegundahan, kemarahan, hingga kemuakkan para perempuan. Penderitaan sebelum mengandung yang berlanjut hingga pasca-melahirkan. Pasca-melahirkan, ia diwajibkan harus mampu menggendong, menyusui, hingga lihai merawat bayi. Hal itulah yang menjadi indikator diksi ibu, diksi perempuan sempurna pantas disematkan pada Amara, pada perempuan.
Kehidupan Amara juga menjadi representasi relasi kuasa yang timpang dalam ranah domestik. Beban kerja lebih ditimpakan padanya–selain mengurusi anak, ia juga diharuskan mengurusi keperluan suaminya dan membereskan pekerjaan rumah–merupakan gambaran ketimpangan relasi kuasa dalam rumah tangga.
Relasi kuasa yang timpang kian terlihat jelas ketika Baron hilang pekerjaannya, kalah dalam permainan saham, menggadaikan warisan bapaknya dan mengorbankan tabungannya (ia dan istrinya: Amara), tanpa memberi tahu Amara, apalagi meminta persetujuan Amara. Sikap yang ditunjukkan Baron merupakan satu indikasi relasi kuasa yang timpang, di mana perempuan dianggap dianggap tidak berhak dalam memberikan pendapat, untuk didengar pendapatnya, apalagi membuat keputusan.
Menjadi Amara bukan hanya menderita secara fisik, melainkan juga psikologis.
Menjadi Amara bukan hanya menderita secara fisik, melainkan juga psikologis. Amara dituntut untuk mengerti situasi Baron yang merugi dan hilang pekerjaannya, tetapi disaat yang sama, ia juga dituntut untuk tetap siaga merawat dan memenuhi kebutuhan bayinya, sementara Baron hanya mampu bengong, mengutuki diri dan keadaan.
Psikologis Amara kian tertekan ketika mendapati kondisi tubuh bayinya yang kian menyusut dari hari ke hari. Lebih-lebih ketika datang kabar dari seorang suster, Suster April, Amara diwajibkan melakukan tes kelayakan, tes psikologi karena dianggap tak becus merawat anaknya. Tak becus menjadi seorang ibu. Tapi suara Suster April tetap tenang, seperti mesin. ”Tes ini bersifat wajib. Jika Ibu tidak mengambilnya, dan kondisi fisik Yuki tidak membaik, kami akan mempertimbangkan mengambil alih perawatan Yuki” (hlm 128). Psikologisnya makin terguncang, ketika Amara mendapati Yuki (anaknya) digigit tikus di kontrakannya, sementara Baron pergi entah kemana. Meninggalkan Amara dan Yuki dalam segala keterbatasan.
Amara dalam Lebih Senyap dari Bisikan merupakan cermin pergolakan hati para perempuan, teriakan para ibu, amarah para perempuan. Mulai dari pergolakan hati para perempuan yang memilih mencintai yang ”berbeda”, kesah para perempuan yang diintimidasi oleh mulut tetangga, teriakan para perempuan yang selalu dianggap sebagai liyan, tetapi dituntut menjadi yang utama dalam urusan rumah tangga dan tentu menjadi yang selalu pantas untuk disalahkan ketika tak sesuai rencana.
Amara merupakan amarah para perempuan yang diberikan beban kerja lebih dan dipaksa selalu mengerti keadaan. Lebih Senyap dari Bisikan karya Andina merupakan dokumen kiat berumah tangga tanpa kamuflase dengan sejumlah jargonnya yang tak penting, yang seolah menjadi perempuan dan menjadi seorang ibu semudah jargon iklan sosis; tinggal lheeb (hlm 57).
Hubbi S Hilmi, Penulis dan pengajar di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Khairun, Ternate.