Kebijakan Afirmasi Penerimaan Mahasiswa Baru
Kebanyakan pengelola PTN melihat bahwa sumber dana tambahan yang paling mudah diperoleh adalah dari mahasiswa. Namun, langkah melekatkan sumbangan BOP pada seleksi penerimaan jalur tertentu terbukti menyimpan masalah.
Keberatan terhadap penghapusan jalur mandiri dalam penerimaan mahasiswa baru perguruan tinggi negeri atau PTN sejauh ini didasarkan pada dua alasan.
Pertama, jalur mandiri dianggap mekanisme afirmasi, yaitu PTN mau menunjukkan keberpihakan kepada calon mahasiswa berprestasi. Dengan asumsi ini, menghapus jalur mandiri dianggap menghilangkan keberpihakan.
Kedua, pengelola PTN umumnya melihat jalur mandiri sebagai jendela untuk memungut dana dari calon mahasiswa. Skemanya berupa sumbangan biaya operasional pendidikan (BOP), yang ditetapkan PTN masing-masing. Menghapus jalur mandiri dianggap menutup peluang penghasilan tambahan PTN.
Alasan-alasan itu sangat lemah dari sisi legalitas ataupun logika, dan tak dapat dijadikan pembenar untuk mempertahankan jalur mandiri. Namun, sayangnya, pembaruan mekanisme penerimaan mahasiswa baru PTN oleh Mendikbudristek (Kompas, 8/9/2022) belum menyentuh esensi persoalan, bahwa selama ini justru jalur mandiri telah mencerabut semangat keberpihakan sosial dalam penerimaan mahasiswa baru PTN.
Baca juga: Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri Diperbarui, Jalur Mandiri Tetap Ada
Baca juga: Perubahan Seleksi Nasional PTN Mulai Diterapkan 2023
Kebijakan afirmasi ini amanat Pasal 71 Ayat 1 UU No 12/ 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pasal ini mewajibkan PTN ”mencari dan menjaring calon mahasiswa dengan prestasi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi, dan calon mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima paling sedikit 20 persen dari seluruh mahasiswa baru yang diterima”.
Amanat ini berlaku sebagai prinsip umum yang harus melandasi semua mekanisme penerimaan mahasiswa baru. Artinya, keberpihakan pada kelompok sosial ekonomi kurang mampu seharusnya melekat pada jalur-jalur seleksi penerimaan mahasiswa baru yang berlaku secara nasional, bukan hanya pada jalur seleksi tertentu yang berlaku secara lokal di tingkat institusi PTN.
Jika dicermati, kebijakan afirmasi terwadahi dalam jalur penerimaan yang disebut seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN).
Sebagaimana dinyatakan dalam Permendikbudristek No 6 Tahun 2020 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru Jenjang Sarjana pada Perguruan Tinggi Negeri, Pasal 3 Ayat 1 huruf a, ”Seleksi nasional masuk PTN (SNMPT) dilakukan berdasarkan hasil penelusuran akademik, non-akademik, dan/atau portofolio calon mahasiswa”.
Berdasarkan permendikbudristek tersebut, SNMPTN telah menjamin afirmasi bagi para calon mahasiswa yang memiliki prestasi khusus ataupun portofolio tertentu. Pengakuan atas prestasi non-akademik telah menjadi salah satu cara untuk diterima sebagai mahasiswa PTN. Di sisi lain, ketentuan portofolio memungkinkan mahasiswa dengan ekonomi kurang mampu dapat diakomodasi di dalam jalur SNMPTN.
Dengan pemikiran ini, kebijakan afirmasi dalam SNMPTN mengakui prestasi akademik maupun non-akademik sebagai pertimbangan seleksi masuk PTN. Jadi, tak perlu ada jalur mandiri dengan dalih afirmasi.
Afirmasi sosial ekonomi
Meskipun demikian, perbaikan mekanisme penerimaan perlu dilakukan dengan mempertegas keharusan afirmasi sosial ekonomi, khususnya melalui jalur SNMPTN.
Pertama, penerimaan calon mahasiswa dapat dilakukan melalui penjaringan ”bibit unggul” dari daerah-daerah yang pendapatan asli daerah (PAD)-nya dan angka partisipasi kasar (APK) sektor pendidikan tinggi masih tergolong rendah. Pola ini dulu pernah dijalankan, tetapi dihentikan karena menguatnya pendekatan neoliberal dalam pengelolaan perguruan tinggi.
Kedua, afirmasi dengan cara menyediakan kuota khusus bagi lulusan sekolah menengah dari daerah yang belum memiliki PTN, atau belum memiliki program studi tertentu yang lulusannya sangat dibutuhkan oleh daerah asal mereka.
Ketiga, pemerintah secara khusus dapat menetapkan prioritas afirmasi penerimaan mahasiswa baru PTN sesuai proyeksi kebutuhan tenaga kerja untuk mendukung pembangunan yang sedang dicanangkan.
Dengan sejumlah skenario itu, tak perlu ada jalur afirmasi khusus dan terpisah dalam penerimaan mahasiswa baru PTN.
Misalnya, untuk proyeksi pengembangan ibu kota negara (IKN), pemerintah pasti akan memerlukan banyak jenis keahlian dalam beberapa tahun ke depan. Agar anak-anak dari wilayah IKN ataupun daerah perbatasan dapat menjadi bagian dari tenaga ahli dan bukan sekadar ”penonton” dalam gerak maju IKN, pemerintah dapat mewajibkan PTN menerima sejumlah tertentu calon mahasiswa dari wilayah-wilayah itu sesuai bidang keahlian program studi yang dibutuhkan.
Dengan sejumlah skenario itu, tak perlu ada jalur afirmasi khusus dan terpisah dalam penerimaan mahasiswa baru PTN. Apalagi jika jalur itu diserahkan sepenuhnya kepada pengelola PTN tanpa mekanisme pengawasan terbuka oleh publik.
Sumbangan pendidikan
Di sisi lain, kita memahami kebutuhan PTN akan BOP semakin besar. Selama ini alokasi pendanaan dari APBN untuk PTN sudah jauh lebih besar daripada untuk PTS yang jumlah lembaganya lebih banyak.
Selain itu, skema badan hukum bagi sejumlah PTN seharusnya mendorong pengelola PTN mencari dana pengembangan dari berbagai sumber secara kreatif. Namun, semua itu belum dapat menutup kebutuhan pembiayaan PTN.
Kebanyakan pengelola PTN melihat bahwa sumber dana tambahan yang paling mudah diperoleh adalah dari mahasiswa. Namun, langkah melekatkan sumbangan BOP pada seleksi penerimaan jalur tertentu terbukti menyimpan dan telah menimbulkan masalah.
Karena itu, mekanisme pungutan sumbangan BOP dalam penerimaan mahasiswa baru PTN perlu dibenahi total. Ketentuan untuk memberikan sumbangan BOP sebaiknya diberlakukan bagi semua mahasiswa yang telah diterima melalui jalur penerimaan apa pun.
Jika BOP bersifat sukarela sebagaimana diklaim sejumlah pengelola PTN selama ini, penawaran untuk menyumbang dapat diberikan kepada semua mahasiswa yang mampu dan rela menyumbang, tidak hanya kepada mahasiswa yang diterima melalui jalur tertentu.
Sebagaimana telah menjadi diskusi luas, sumbangan pihak mahasiswa tak harus dalam bentuk uang, tetapi dapat juga dalam bentuk infrastruktur atau peralatan. Jika sumbangan dalam bentuk uang, pembayarannya harus disertai rencana pengelolaan dan alokasi yang spesifik dari pihak PTN.
Misalnya, sumbangan BOP berbentuk uang bisa disalurkan ke dalam suatu program beasiswa mahasiswa sebagai wujud subsidi silang, atau program pembiayaan kegiatan tridarma dosen, misalnya penelitian. PTN juga dapat menciptakan posisi profesorial yang didanai kumpulan sumbangan BOP dari orangtua mahasiswa.
Agus Suwignyo,Pedagog cum Sejarawan Fakultas Ilmu Budaya UGM