Mengawal Keselamatan Pasien
Kekeliruan medis jadi pembunuh nomor tiga di AS setelah penyakit jantung dan kanker. Saat ini bahkan muncul narasi: dapat perawatan RS lebih berbahaya daripada berhadapan dengan senjata. Bagaimana di Indonesia?
Hari Keselamatan Pasien Sedunia (World Patient Safety Day) diperingati beberapa hari lalu. Lewat momen tersebut, digaungkan kembali perlunya aksi global untuk mengedepankan keselamatan pasien.
Sebelum 1990, keselamatan pasien belum banyak diperhatikan. Keadaan berubah setelah Institute of Medicine (IOM) akhir 1990 mengeluarkan laporan bahwa setiap tahun terdapat 44.000-98.000 pasien rumah sakit (RS) di Amerika Serikat (AS) meninggal akibat kekeliruan medis (medical errors). Laporan ini menyentak.
Tak ada yang menyangka magnitudo kekeliruan medis sebesar itu. Laporan-laporan selanjutnya lebih mengejutkan lagi. Beberapa tahun lalu, Universitas John Hopkins merilis informasi bahwa per tahun lebih dari 250.000 orang meninggal di AS akibat kekeliruan medis. Angka ini melebihi kematian akibat penyakit paru yang berkisar 150.000 per tahun. Berdasarkan figur ini, kekeliruan medis jadi pembunuh nomor tiga di AS setelah penyakit jantung dan kanker. Saat ini bahkan muncul narasi: dapat perawatan RS lebih berbahaya daripada berhadapan dengan senjata.
Saat ini bahkan muncul narasi: dapat perawatan RS lebih berbahaya daripada berhadapan dengan senjata.
Kompleksitas vs keterbatasan
Kekeliruan bisa terjadi pada setiap tahap layanan medis. Jenisnya beragam, mulai dari kelalaian tenaga medis mencuci tangan sebelum tindakan hingga kesalahan pemberian obat, ketidaktepatan diagnosis, dan komplikasi tindakan. Setiap kekeliruan medis, sekecil apa pun, berpotensi mengancam keselamatan pasien. Pasien bisa mengalami komplikasi berat, kecacatan, bahkan kematian.
Karena itu, kekeliruan medis mesti ditekan seminimal mungkin. Faktanya, kekeliruan medis masih sangat marak. Menurut WHO, satu dari sepuluh pasien di negara-negara maju terancam keselamatannya saat menjalani pengobatan di RS. Di negara-negara berkembang, setiap tahun 134 juta kekeliruan medis terjadi di RS, yang mengakibatkan 2,6 juta kematian. Pada tingkat global, empat dari 10 pasien terancam keselamatannya saat mendapat pengobatan medis dan setiap menit lima orang meninggal akibat kekeliruan medis. Dengan magnitudo ini, kekeliruan medis jadi pembunuh nomor empat di dunia setelah penyakit jantung, stroke, dan penyakit paru obstruktif.
Sejumlah kondisi memudahkan terjadinya kekeliruan medis, antara lain ketidakseimbangan antara kompleksitas layanan medis dan kemampuan tenaga medis merespons kompleksitas itu.
Di mana-mana, layanan medis melibatkan sistem yang kompleks, termasuk di Indonesia. Pertama, dalam layanan medis terlibat beragam pemangku kepentingan. Pada level atas, Kementerian Kesehatan, organisasi-organisasi profesi, penyedia asuransi kesehatan, dan pemangku kepentingan lain berkontribusi dalam pembuatan undang-undang, aturan, dan standar layanan medis.
Di lapangan, berbagai profesi bekerja melayani pasien, termasuk dokter, perawat, petugas laboratorium. Setiap profesi memiliki tugas dan tanggung jawab berbeda. Jumlahnya pun bervariasi dari satu institusi ke institusi lain; bisa puluhan, ratusan, bahkan ribuan. Kompleksitas jaringan ini memutlakkan komunikasi dan kerja sama optimal antarprofesi; kalau tidak, kekeliruan medis mudah terjadi.
Di mana-mana, layanan medis melibatkan sistem yang kompleks, termasuk di Indonesia.
Kedua, diagnosis dan penatalaksanaan penyakit sangat beragam. Saat melayani pasien, tenaga medis dituntut mampu menegakkan diagnosis secara tepat. Ini tak mudah karena jenis penyakit sangat banyak. International Classification of Diseases 9 (ICD-9) versi WHO mencatat 15.000 lebih kode penyakit, sementara Malacard menyebut 18.000 penyakit.
Sebagian besar penyakit ini tak bisa ditegakkan tanpa pemeriksaan penunjang. Masalahnya, pemeriksaan penunjang tak selamanya tersedia. Akhirnya, tenaga medis sering hanya mengandalkan pemeriksaan fisik dalam penegakan diagnosis dengan risiko kekeliruan diagnosis.
Ketiga, saat pasien datang berobat, kondisi kesehatan pasien kebanyakan tak stabil. Perjalanan penyakitnya bisa berfluktuasi dan kadang sulit diprediksi. Semakin tak stabil kondisi pasien, semakin rumit penanganannya. Tenaga medis mesti sangat hati-hati dan jelimet dalam pemberian tindakan. Jenis tindakan dan dosis perlu diperhitungkan secara cermat. Kalau tidak, alih-alih memperbaiki kondisi, tindakan justru bisa mengancam keselamatan pasien.
Didie SW
Keempat, dunia medis berkembang sangat pesat. Hampir setiap hari terjadi perkembangan baru. Pedoman dan standar operasional tindakan berubah secara reguler. Hal yang dipraktikkan beberapa tahun lalu mungkin sudah outdated saat ini. Tenaga medis harus terus updated agar dapat memberikan pengobatan dan tindakan tepat. Kalau tidak, peluang terjadinya kekeliruan medis dan ancaman keselamatan pasien terbuka lebar.
Di sisi lain, tenaga medis adalah manusia biasa. Mereka bukan mesin yang bisa secara konstan beradaptasi dan mengantisipasi kompleksitas layanan medis. Mereka bisa mengalami overloaded dan kecapaian, yang membuat mereka lupa atau lalai mengikuti standar dan melakukan kekeliruan. Tenaga medis juga memiliki keluarga dan berhadapan dengan berbagai persoalan hidup. Konsentrasinya bisa menurun dan kesehatannya tidak selamanya prima.
Baca juga : Pemberian Obat Tanpa Bahaya
Baca juga : Penerapan Prinsip Keselamatan Pasien Belum Optimal
Apalagi jika mereka diberi beban melebihi kapasitas. Tak jarang terdengar tenaga medis harus bekerja lembur (over-time) dan double-shift akibat jumlah mereka kurang. Sebagian mereka terpaksa melakukan tindakan medis meski dengan fasilitas minim. Beragam faktor ini membuka peluang kekeliruan. Keterbatasan manusiawi ini membuat tenaga medis rentan melakukan kekeliruan. Konsep to error is human (melakukan kekeliruan adalah manusiawi) tepat menggambarkan kondisi ini.
Adanya benturan antara kompleksitas layanan dan keterbatasan respons tenaga medis menyebabkan perlunya menghindari pengandalan manusia semata (relying solely on human) dalam upaya keselamatan pasien. Agar keselamatan pasien terjaga, mesti ada sistem yang mem-back-up kemungkinan kekeliruan tenaga medis. Perannya semacam katup pengaman. Sistem ini bisa dalam bentuk hard ataupun soft elements dan mesti berlapis (multilayer).
Heryunanto
Untuk mencegah kesalahan pengobatan, misalnya, proses pemberian obat mesti memiliki beberapa lapisan proteksi. Lapisan pertama adalah keharusan dokter membuat diagnosis tepat. Jika dokter salah diagnosis, keselamatan pasien terancam. Lapisan kedua berada pada sistem peresepan obat. Peresepan sebaiknya secara elektronik, dilengkapi ikon peringatan otomatis jika dosis obat tidak tepat atau berpotensi menimbulkan interaksi. Dengan peringatan ini, dokter bisa memutuskan apakah melanjutkan dosis semula atau mengubahnya.
Lapisan selanjutnya pada bagian apotek. Petugas apotek mesti melakukan cross check untuk memastikan obat dan dosisnya sesuai keluhan pasien. Jika tak sesuai, petugas farmasi mesti mengomunikasikannya dengan dokter.
Lapisan terakhir adalah pasien dan keluarganya. Perlu penjelasan secara gamblang cara penggunaan obat dan diminta menghentikan obat jika muncul efek yang tidak diharapkan.
Gabungan keempat lapisan proteksi ini dapat meminimalkan kekeliruan medis. Semakin banyak lapisan proteksi, semakin kecil peluang ancaman keselamatan pasien. Beragam lapisan proteksi ini dikenal sebagai Swiss Cheese Model.
Untuk meminimalkan potensi kekeliruan, rumah sakit seharusnya memiliki pendekatan sistem ( system approach) yang dapat mem-back-up kemungkinan kekeliruan.
Kesalahan sistem
Dalam pola tradisional layanan medis, lumrah menyalahkan tenaga medis atas setiap kekeliruan yang terjadi. Pasalnya, mereka adalah pihak yang melakukan tindakan. Dengan mudah tenaga medis dilabel melakukan kesalahan individual (human error). Faktanya, hanya 10 persen kekeliruan medis disebabkan oleh human error. Pada hampir semua kekeliruan medis, akar masalahnya selalu melibatkan kesalahan sistem (system error).
Seorang dokter di ruang gawat darurat mudah dituduh melakukan human error saat ia memerintahkan perawat memberikan suntikan diclofenac kepada seorang pasien dan pasien itu meninggal pasca-suntikan. Ketika diinvestigasi, ternyata banyak faktor sistem berkontribusi: sang dokter hanya satu-satunya dokter yang bertugas hari itu dan telah bekerja 15 jam lebih, pasien membeludak, dan perawat yang membantunya hanya satu orang dan juga telah bekerja sif ganda.
Pada saat bersamaan, beberapa obat yang diperlukan untuk penanganan syok sudah kedaluwarsa dan tak bisa digunakan. Dengan kondisi rentan demikian, dokter dan perawat lalai menanyakan status alergi pasien dan tak bisa memberikan pertolongan adekuat saat pasien mengalami syok. Kasus ini memperlihatkan, meski secara superfisial dokter tampak melakukan kesalahan, beragam faktor sistem memicu kesalahan dokter.
Didie SW
Untuk meminimalkan potensi kekeliruan, rumah sakit seharusnya memiliki pendekatan sistem (system approach) yang dapat mem-back-up kemungkinan kekeliruan. Pendekatan sistem sangat krusial bagi keselamatan pasien. Dengan pendekatan ini, dilakukan identifikasi dan koreksi terhadap elemen dalam sistem yang berpotensi memicu kekeliruan medis.
Terkait kasus di atas, RS seharusnya memiliki aturan yang tidak membolehkan dokter dan perawat bekerja lebih dari delapan jam per hari atau melakukan double-shift. Rumah sakit juga mesti memiliki tenaga medis cadangan yang bisa diperbantukan jika pasien membeludak. Obat-obatan gawat darurat mesti selalu tersedia dan diperbarui agar bisa digunakan. Pendekatan sistem ini bisa mencegah kekeliruan akibat penyuntikan.
Pendekatan sistem mesti berlapis dan disesuaikan dengan skop institusi. Untuk level RS, biasanya lebih kompleks. Dari aspek sumber daya, misalnya, perlu disediakan tenaga medis yang jumlahnya sesuai beban kerja yang ada. Tenaga medis ini perlu dilatih secara reguler berkomunikasi efektif dalam pekerjaannya.
Pendekatan sistem sangat krusial bagi keselamatan pasien.
Dari aspek fasilitas, institusi perlu menggunakan peresepan dan pelaporan elektronik dalam bentuk electronic medical record. Kalaupun fasilitas ini belum tersedia, mesti ada upaya untuk menutup celah-celah kekeliruan yang rentan ditimbulkan peresepan dan pelaporan manual. Pelayanan di ruang suntik mesti didahului pengisian status alergi pasien dan informed consent serta upaya pengecekan ulang suntikan sebelum diberikan.
Perlu ada pengecekan secara reguler validitas obat-obatan. Pada saat bersamaan, perlu dibudayakan kegiatan melaporkan setiap insiden dan kekeliruan yang terjadi (disclosure of an incident) sebagai pembelajaran; bukan untuk menghukum pelaku kekeliruan. Dengan budaya ini, tenaga medis menjadi lebih waspada tentang celah-celah kekeliruan dan berupaya menghindarinya.
Meski perannya sangat penting, pendekatan sistem masih belum mendapat perhatian serius di negara-negara berkembang dan juga di Indonesia. Alasan- nya, pendekatan ini terlalu kompleks, rumit, dan membutuhkan biaya besar.
Kasarnya, tak menguntungkan secara ekonomis. Pandangan ini perlu diluruskan. Pendekatan sistem justru memiliki cost-benefit ratio yang sangat baik dan dapat meminimalkan kerugian akibat kekeliruan medis. Pada tingkat global, kesalahan memberikan obat saja menimbulkan kerugian 42 miliar dollar AS setiap tahun. Jika sistem diperbaiki, kesalahan dapat berkurang dan kerugian bisa diminimalkan.
Mengawal keselamatan pasien sangat penting meski tak mudah. Dibutuhkan komitmen kuat dan aksi sungguh-sungguh dari semua pihak, termasuk masyarakat. Program keselamatan pasien mesti segera diimplementasikan agar kekeliruan medis bisa ditekan seminimal mungkin. Ini penting karena kekeliruan medis marak dan menyebar di mana-mana. Bisa terjadi pada siapa pun, kapan pun, dan di mana pun. Maka tak keliru jika sebagian ahli menggelari kekeliruan medis ini sebagai non-disease pandemic. Dan setiap pandemi memang harus dikontrol sebisa dan sesegera mungkin.
(Iqbal Mochtar Pengurus PB IDI dan PP IAKMI. Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah)