Kalau ilmuwan hanya mengejar skor Sinta tinggi dengan memproduksi buku dan prototipe/produk tanpa memikirkan publikasi pada jurnal nasional apalagi internasional, maka dikhawatirkan ilmuwan kita akan jago kandang.
Oleh
HEFNI EFFENDI
·4 menit baca
Belakangan ini para dosen di perguruan tinggi disibukkan dengan upaya menyinkronisasi skor Sinta.
Nantinya skor Sinta ini akan dijadikan tolok ukur untuk menilai kinerja universitas dan kinerja akademik seorang dosen, khususnya yang berkaitan dengan riset, publikasi ilmiah di jurnal nasional dan internasional, penulisan buku ilmiah, hasil temuan/inovasi, hak paten/kekayaan intelektual, serta pengabdian ke masyarakat.
Sinta merupakan agregat dari indeks kinerja ilmiah dari Google Scholar, Scopus, WOS (Web of Science), dan Indeks Garuda. Kesemuanya merupakan gambaran tentang reputasi publikasi ilmiah dari seorang dosen, baik di jurnal nasional maupun internasional.
Di sisi lain, Sinta juga memberikan penilaian terhadap komponen penulisan buku ilmiah yang dipublikasi dengan nomor international standard book number (ISBN). Jadi semakin produktif seorang dosen dalam menulis buku ilmiah akan, semakin tinggi pula skor Sinta. Selain itu, semakin produktif dosen melakukan penelitian yang menghasilkan prototipe/produk dan menghasilkan paten, semakin tinggi pula skor Sinta yang diperoleh.
Secara random penulis mendapati seorang dosen yang indeks Scopus nol, indeks WOS nol, Google Scholar sangat rendah, tetapi memiliki skor Sinta ribuan. Sementara, ada juga seorang dosen yang Scopus, WOS, dan Google Scholar-nya dua digit, tapi mempunyai skor Sinta yang rendah, hanya ratusan.
Seorang ilmuwan lainnya, bagus reputasinya di tataran internasional dan di komunitas keilmuwan internasional, tapi memiliki skor Sinta yang jauh lebih rendah dari seorang ilmuwan yang mungkin tak pernah menulis di jurnal internasional bereputasi. Ironis!
Bagaimana ini bisa terjadi? Barangkali seorang ilmuwan yang skor Sinta-nya tinggi tersebut—walaupun Scopus dan WOS-nya sangat rendah atau bahkan nol—banyak menulis buku ilmiah (buku ajar, buku referensi, dan buku monograf) atau banyak menghasilkan prototipe/produk dari hasil penelitiannya, baik dari riset yang didanai maupun riset mandiri.
Jika memang demikian adanya, ilmuwan tersebut sangat bagus kinerjanya bagi pengembangan pendidikan di negeri ini. Apalagi kalau buku ilmiah tersebut dijadikan sebagai bahan referensi dan disitasi oleh banyak peneliti lain. Juga prototipe atau produk yang dihasilkan banyak digunakan khalayak. Hal ini yang diharapkan, agar ilmuwan berkontribusi nyata. Namun jika hanya mengejar banyaknya jumlah buku yang ditulis dan banyaknya menghasilkan prototipe/produk untuk mengejar skor Sinta tinggi, ini yang tak diinginkan Direktoral Jenderal PendidikanTinggi (Dikti).
Masalah lainnya adalah buku yang ditulis dan prototipe/produk yang dihasilkan bersifat self-declared. Lalu karya itu diunggah ke sistem Sinta, dan mendapat nilai tinggi. Artinya buku tersebut tak perlu mengalami peer review.
Hal serupa juga terjadi pada prototipe/produk yang juga tak perlu peer review. Bahkan ada teman yang berkelakar, setiap penelitian bisa dibuat prototipe oleh si penelitinya. Memang ketika dokumen sudah diunggah ke Sinta, akan diverifikasi, tapi rasanya verifikator tidak akan tega menghapus buku-buku dan prototipe/produk yang diunggah penulisnya.
Suatu ide/gagasan/inovasi mestinya harus direkognisi oleh suatu komunitas ilmuwan yang bidangnya serupa, baik di level nasional maupun internasional.
Tak dorong ”go international”
Buku ilmiah dan prototipe/produk ini sangat tinggi nilainya bahkan setara dengan publikasi pada jurnal internasional bereputasi Q1. Dengan adanya hal demikian, berarti sistem penilaian kinerja dosen kita tak mendorong untuk go international. Suatu ide/gagasan/inovasi mestinya harus direkognisi oleh suatu komunitas ilmuwan yang bidangnya serupa, baik di level nasional maupun internasional.
Barangkali ilmuwan kita bisa berkilah bahwa sulit menembus jurnal-jurnal internasional bereputasi. Pemeo ini mungkin bisa diterima pada beberapa dekade lalu, bahkan ada artikel ilmiah berjudul ”Lost Science in the Third World” pada Jurnal Scientific American (Agustus 1995) yang mengelaborasi adanya keengganan jurnal di negeri maju untuk menerima naskah artikel peneliti dari negeri berkembang (inherent prejudice in the mind of some referees in the West about authors from Third World countries).
Namun, sinyalemen ini sudah terpatahkan dengan mulai banyaknya ilmuwan dari Dunia Ketiga yang berhasil masuk ke jurnal bergengsi.
Semoga Dikti dapat mempertimbangkan agar tak Sinta semata yang dijadikan alat ukur untuk menilai kinerja perguruan tinggi dan kinerja dosen. Sebab, kalau ilmuwan hanya mengejar skor Sinta tinggi dengan memproduksi buku dan prototipe/produk sebanyak mungkin, tanpa memikirkan publikasi pada jurnal nasional apalagi internasional, dikhawatirkan ilmuwan kita akan jago kandang. Berdomisili di dunia yang tersembunyi.
(Hefni Effendi, Guru Besar Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen MSP -Guru Besar Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen MSP - FPIK - IPB University)