Dalam upaya pengendalian kelahiran, sering kali perempuan mau tidak mau menerima peran untuk memakai alat kontrasepsi sebagai tanggung jawab sebagai istri. Perempuan tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri.
Oleh
OTI LESTARI
·4 menit baca
Hari Kontrasepsi Sedunia yang diperingati pada 26 September pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesadaran terkait kesehatan seksual dan reproduksi. Peringatan ini meningkatkan kesadaran kesehatan reproduksi tentang metode pengendalian kelahiran (birth control) termasuk mendorong pendidikan yang lebih baik terkait seks yang aman dan terlindungi.
Di Indonesia, menyebut tentang kontrasepsi akan selalu identik dengan perempuan, dan bukan lelaki. Padahal, kontrasepsi selalu berkaitan dengan lelaki dan perempuan. Tetapi kenyataannya, partisipasi lelaki masih rendah dalam penggunaan alat kontrasepsi (alkon).
Di satu sisi, hal itu tidak lepas dari keterbatasan jenis kontrasepsi lelaki. Tetapi yang utama, fakta biologis yang dilekatkan kepada perempuan membuat perempuan harus menjalankan pengalaman hidupnya berdasarkan fungsi biologisnya, seperti hamil, melahirkan, menyusui, dan juga memakai alkon untuk mengontrol kesuburan.
Rahim menjadi penting dalam kehidupan perempuan karena perempuan akan dihargai sejauh rahimnya berfungsi. Oleh karena itu, tempat di mana pembuahan berlangsung itu perlu dikendalikan. Juga prinsip bahwa yang hamil dan melahirkan adalah perempuan, maka perempuan menjadi pengguna kontrasepsi. Paham ini membentuk konstruksi wacana seksualitas yang timpang pada pihak perempuan yang diwajibkan menggunakan kontrasepsi.
Di masyarakat juga ada anggapan bahwa cukup salah satu pihak saja yang memakai alkon, yaitu perempuan. Perempuan tidak memiliki posisi tawar dalam keluarga karena lelaki merupakan kepala keluarga. Perempuan mau tidak mau menerima peran untuk memakai alkon sebagai tanggung jawab sebagai istri. Perempuan yang menganggap dirinya subur berpikiran bahwa alkon sebagai penyelamat dari kehamilan dan anak yang tidak diinginkan.
Perempuan mau tidak mau menerima peran untuk memakai alkon sebagai tanggung jawab sebagai istri.
Kenyataannya, pemakaian alkon kerap menimbulkan efek samping, di antaranya perdarahan, tidak menstruasi, kegemukan, maupun efek psikologis pada perempuan. Sebenarnya telah terjadi kesakitan-kesakitan yang tak terbicarakan akibat penggunaan kontrasepsi.
Dengannya, perempuan tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri. Tubuh menjadi medan makna bagi kekuasaan simbolik yang diberlangsungkan melalui jejaring elemen sosio-kulturalnya.
Tubuh obyek
Tubuh perempuan jadi memuat berbagai kepentingan. Tubuh perempuan hanya dipandang sebagai tubuh obyek semata demi kepentingan masyarakat (dan negara). Bahkan, negara melakukan intervensi hingga pada ranah privat (baca: tubuh perempuan) dan menjadikannya bukan lagi milik empunya, tetapi telah menjadi tubuh publik.
Fungsi reproduksi perempuan yang pada dasarnya berada di sektor privat, yang sepatutnya diputuskan dalam lingkup keluarga, diorganisasikan oleh negara, dalam bentuk ”kewajiban” pemasangan alkon. Narasi kultural hubungan suami istri dalam keluarga dan pemasangan alkon tidak lagi dilihat sebagai cara untuk meningkatkan kualitas kesehatan perempuan, tetapi meluas pada kepentingan publik, dalam hal ini angka pertumbuhan penduduk yang akan memengaruhi masalah demografi, harapan hidup, kesuburan, kesehatan, makanan hingga lapangan kerja (Haryatmoko, 2016).
Tubuh perempuan menjadi tubuh sosial di mana makna atas tubuh ditentukan oleh pihak eksternal di luar diri perempuan. Tubuh sosial menunjukkan berbagai makna atau definisi yang dilekatkan, di antaranya baik atau buruk, bersatu dengan jiwa atau terpisah, privat atau publik, personal atau milik negara, dan pada saat yang bersamaan menjadi subyek sekaligus menjadi obyek (Synnott, 2007).
Dominasi wacana tubuh biologis ini juga terjadi di keluarga di mana suami menjadi pengambil keputusan alkon apa yang akan diletakkan dalam tubuh istrinya. Padahal, lelaki tidak cukup memiliki pengetahuan mengenai alkon sehingga acuh dalam setiap tahap pengalaman perempuan. Hal ini karena negara dan medis tidak melibatkan lelaki dalam sosialisasi alkon secara sistemis.
Di sisi lain, ini menunjukkan program Keluarga Berencana berpotensi bias jender. Pada saat yang sama, hal ini berlangsung dengan tidak dirasakan sebagai suatu bentuk kekerasan simbolik terhadap tubuh perempuan, tetapi justru diterima sebagai sesuatu yang wajar.
Konstruksi sosial tentang jender (peran dan posisi lelaki dan perempuan) ini bisa diletakkan dalam konteks analisis pendisiplinan tubuh dan kekuasaan biopower. Wacana dan relasi kekuasaan semacam ini menjadikan dominasi lelaki sebagai sesuatu yang biasa sehingga bisa diterima.
Hutaminingsih (2015) menyebut bahwa kontrasepsi yang menjadi pedoman ilmiah dengan bukti kesahihan dalam mengatur pola kelahiran, menjadi bentuk wacana dalam memengaruhi mekanisme kekuasaan dalam kehidupan berumah tangga. Pengetahuan berkaitan perencanaan keluarga termanifestasi dalam produk kontrasepsi yang difasilitasi pemerintah dengan tujuan mengatur laju angka pertumbuhan penduduk, menjadi bentuk konkret pengetahuan yang tidak bebas kepentingan.
Kontrasepsi menjadi bentuk wacana dalam memengaruhi mekanisme kekuasaan dalam kehidupan berumah tangga.
Perempuan akan selalu menjadi subyek yang menantang dan penuh kontroversi karena berada di persilangan. Orang memandang mereka sebagai penggoda yang profan, yang lain menganggapnya sebagai korban eksploitasi patriarki, dan lainnya lagi memuja mereka sebagai dewi tradisi. Untuk itu dibutuhkan perenungan yang mendalam agar tidak terjebak dalam dikotomi, tetapi juga tidak berhenti kepada pemujaan terhadap perbedaan.
Perempuan perlu mewacanakan apa yang dipikir dan dirasakannya agar tercipta suara baru, dunia baru dan makna-makna baru yang emansipatif, egaliter, dan eksistensif. Masyarakat (lelaki) perlu memaknai kesetaraan yang lebih menitikberatkan kepada partisipasi dalam membangun konstruksi sosial agar kebijakan-kebijakan publik bisa menjadi lebih responsif terhadap kondisi dan posisi perempuan, terlebih menyangkut sisi paling privat dalam kehidupan personalnya, yaitu tentang reproduksi.
Oti Lestari, Ibu Berputri Satu; Bergiat di Kajian Sosial Budaya Masyarakat