Unjuk rasa berdarah di Iran pekan ini membuka tabir represi yang dialami perempuan di negara itu. Kubu reformis menyebut pengawasan polisi moral sebagai petaka.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Jarang terjadi, kaum perempuan di Iran begitu demonstratif dalam mengekspresikan kemarahan dan protes kepada aparat pemerintah di beberapa kota, seperti pekan ini. Sebagian dari perempuan pengunjuk rasa itu melepas dan membakar penutup kepala yang mereka pakai serta memotong rambutnya. Dalam unjuk rasa di salah satu kota dilaporkan foto Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei juga dibakar.
Aksi mereka merupakan bagian dari unjuk rasa warga Iran yang dipicu kematian Mahsa Amini (22) saat ditahan aparat pada 16 September lalu. Perempuan asal Saqqez, Provinsi Kurdistan, itu meninggal tiga hari setelah ditangkap polisi moral (Gasht-e Ershad) karena memakai celana panjang ketat dan penutup kepala yang dinilai terlalu longgar.
Polisi mengklaim, Amini meninggal karena serangan jantung saat berada di ”pusat bimbingan”, semacam pusat pembinaan untuk mengajari perempuan soal aturan berpakaian di negara itu. Klaim ini diragukan keluarga Amini yang menyatakan, sebelum ditahan, Amini dalam keadaan sehat.
Kabar Amini meninggal setelah ditahan polisi moral segera memantik unjuk rasa meluas hingga sedikitnya di 15 kota di seluruh negeri. Upaya Presiden Iran Ebrahim Raisi menelepon keluarga Amini dan memerintahkan investigasi atas kasus kematiannya tak meredakan kemarahan pengunjuk rasa.
Unjuk rasa berlangsung hampir sepekan. Dalam unjuk rasa itu, massa membakar mobil polisi dan merusak properti umum. Informasi resmi menyebutkan, sedikitnya 17 orang, termasuk aparat keamanan, tewas. Televisi Pemerintah Iran melaporkan, korban tewas bisa mencapai 26 orang. Aparat membatasi akses internet dalam upaya meredam protes. Muncul juga unjuk rasa tandingan yang pro-pemerintah.
Skala unjuk rasa pekan ini belum sebesar tahun 2019 yang diikuti sekitar 200.000 warga dan, menurut catatan Reuters, menewaskan sekitar 1.500 orang. Namun, isu yang melatarbelakangi dan insiden pemantiknya menarik dicermati, yakni terkait aturan berpakaian bagi perempuan dan sikap aparat.
Setelah revolusi tahun 1979, seperti dilansir Al Jazeera, Iran memberlakukan aturan bagi perempuan semua kewarganegaraan dan penganut agama—bukan hanya warga Muslim Iran—untuk menutup rambut dan leher dengan kerudung serta memakai jubah atau baju longgar pelapis pakaian.
Tak ada ketentuan baku soal penerapan aturan itu. Kubu konservatif garis keras, yang saat ini memerintah, menuntut penerapan aturan secara keras. Banyak sorotan pada tindakan polisi moral dalam menegakkan aturan itu. Mantan Presiden Mohammad Khatami, tokoh reformis, menyebutkan tindakan polisi moral itu sebagai petaka.
Penegakan aturan oleh aparat dinilai represif bagi perempuan. Partai reformis, Etemad Melli, mendesak Raisi menertibkan polisi moral dan bahkan mengusulkan parlemen membatalkan aturan kewajiban berhijab di negara itu.