Melalui tokoh Dropadi, Triyanto Triwikromo membawa pembaca memasuki kedalaman narasi dan dialog yang mempertanyakan nasib manusia di hadapan Sang Pencipta, dengan segala keterbatasan dan kelebihan-kelebihannya.
Oleh
S PRASETYO UTOMO
·4 menit baca
Awal mula penciptaan novel ini adalah kesadaran pengarang akan kekuatan sanggit terhadap kisah Mahabharata. Ia melakukan penciptaan kembali dengan tafsir baru atas tokoh Dropadi. Berkembanglah defamiliarisasi tokoh Dropadi, istri Pandawa, yang mengundang pemahaman baru pembaca terhadap kisah Mahabharata yang ditulis C Rajagopachari.
Berbeda dengan Seno Gumira Ajidarma yang melakukan defamiliarisasi tokoh Rama dalam Kitab Omong Kosong yang fokus terhadap hegemoni kekuasaan, Triyanto Triwikromo cenderung melakukan defamiliarisasi tokoh Dropadi dari sisi spiritualitas dan transendesi.
Dalam novel ini, tokoh Dropadi mengalami defamiliarisasi ragawi, spiritual, dan karakter.
Dalam novel ini, tokoh Dropadi mengalami defamiliarisasi ragawi, spiritual, dan karakter. Secara ragawi, ia mengalami kebutaan. Kadang ia mengalami buta total, kadang hanya bisa melihat dunia dalam sepertiga pandangan. Kebutaan ini telah membawa suasana batin dan konflik-konflik yang mengarah pada persoalan-persoalan transenden, yang menenggelamkan pembaca pada perenungan akan keilahian, takdir, dan keajaiban-keajaiban yang dialami Dropadi. Melalui tokoh Dropadi, pembaca dibawa dalam narasi dan dialog yang mempertanyakan nasib manusia di hadapan Sang Pencipta, dengan segala keterbatasan dan kelebihan-kelebihannya.
Defamiliarisasi spiritual telah menempatkan tokoh Dropadi dalam lintasan-lintasan peristiwa yang sakral, dan perjalanan hidup yang menguak penyingkapan-penyingkapan akan surga, neraka, dan pertaruhan manusia untuk melakukan dialektika peran di hadapan Sang Pencipta. Dropadi juga berhadap-hadapan dengan dewa-dewa, raja, dan kesatria untuk mempertajam pandangan-pandangan spiritualitasnya, dengan kekuatan mata batin, untuk melihat peristiwa-peristiwa yang akan terjadi, dalam kehidupan di masa mendatang. Ia memang bukan awatara (titisan dewa), tetapi kekuatan spiritualitasnya bisa setara dengan manusia titisan dewa.
Yang tak kalah menarik, tentu, defamiliarisasi karakter Dropadi. Tokoh ini telah belajar dari Srikandi sehingga bisa tampak sebagai pria dan sekaligus wanita. Ia mencuri ilmu dari Kunti sehingga dewa terpikat padanya. Ia mencuri ilmu dari Gandari sehingga bisa mendengarkan lebih tajam percakapan-percakapan musuh. Ia mempelajari ilmu yang dimiliki Drestadyumna yang siap menghadapi pertempuran-pertempuran paling ganas. Ia juga mencuri ilmu Guru Drona. Ia bisa bercakap-cakap dengan makhluk lain, pohon-pohon, bunga-bunga, angin, dan hujan.
Sebagaimana Mahabharata yang ditulis C Rajagopalachari, Triyanto Triwikromo menarasikan tokoh Dropadi dengan penjelajahan religiositas, filosofi, dan mitos secara lebih kompleks. Tokoh Dropadi yang diciptakan Triyanto Triwikromo dalam novel ini dinaungi keajaiban-keajaiban yang tak terduga. Ketajaman transendensi yang terus-menerus menyusup dalam setiap motif telah mengantarkan teka-teki baru, yang menggugah ketajaman batin pembaca, untuk merenungkan setiap pergerakan tokoh Dropadi, dalam menghadapi pertempuran besar Pandawa melawan Korawa.
Tokoh Dropadi yang diciptakan Triyanto Triwikromo dalam novel ini dinaungi keajaiban-keajaiban yang tak terduga.
Setidaknya, saya menemukan tiga daya tarik tokoh Dropadi yang meminta pembaca untuk terus mengikuti struktur narasinya. Pertama, tokoh Dropadi bukanlah sosok perempuan yang menerima segala nasib dan perlakuan yang ditimpakan kepadanya. Kedua, tokoh Dropadi memiliki begitu banyak keleluasaan ruang gerak yang melampaui kodrat manusia, di samping keterbatasan dan penderitaan yang melekat dalam hidupnya: buta dan selalu mencium bau busuk di mana pun berada. Ketiga, tokoh Dropadi selalu mencari jati dirinya agar tercatat dalam kitab-kitab kehidupan manusia—menolak untuk menjadi anonim.
Tokoh Dropadi dalam novel ini dipenuhi dengan pergolakan batin, dan tak seteduh narasi sufisme Danarto yang dikenal dengan manunggaling kawula-Gusti. Triyanto Triwikromo memunculkan tokoh Dropadi dalam tarik-menarik antara menerima peristiwa-peristiwa keilahian dan menggugatnya; menyadari keterbatasan-keterbatasan sebagai manusia dan sekaligus menampakkan kekuatan adikodrati; meratapi nasib dan sekaligus bersyukur atas karunia yang diterimanya. Ia adalah pribadi yang penuh dengan paradoks. Ini menjadi daya pikat novel.
Dalam novel yang sangat tebal ini, ia tak kehabisan motif-motif untuk mengalirkan struktur narasi, dan selalu menjaga style, kontemplasi, dan dialog-dialog spiritual. Kita tak dapat menuntaskan novel ini dengan terburu-buru, mesti dibaca dengan teliti dan cermat, agar tak melewatkan setiap keajaiban transendental Dropadi dalam kejutan-kejutan baru yang tak terduga. Dalam novel ini pengarang menampakkan kematangannya sebagai seorang sastrawan yang mengolah religiositas dan filosofi dalam zaman manusia yang penuh dengan lapis-lapis kepalsuan, dusta, kesangsian, kecurigaan, dan kedengkian terhadap tokoh-tokoh yang dimitoskan.
Lalu, apakah perbedaan novel ini dengan novel-novel Yanusa Nugroho dalam menghidupkan tokoh? Yanusa Nugroho mengalirkan struktur narasi dengan kontemplasi dan keagungan tokoh Mahabharata atau Ramayana. Triyanto Triwikromo menghadirkan tokoh dengan pergolakan-pergolakan batin, pertanyaan-pertanyaan mendasar, bahkan menggugat tentang religiositas, mitos, dan filosofi. Ia menohok kita dengan retorika-retorika nakal, tajam, dan menikam, agar pembaca menemukan makna baru akan kehadiran tokoh.
Keadiluhungan tokoh Dropadi memperoleh makna baru dalam novel ini.
Novel ini lazim menjadi bacaan yang memperkaya batin pembaca. Keadiluhungan tokoh Dropadi memperoleh makna baru dalam novel ini. Bagi peneliti sastra, tak mustahil novel ini menjadi bahan kajian yang tiada habis untuk dianalisis. Sungguh sebuah karya yang agung bukan karena ketebalannya, melainkan karena renungan-renungan yang melapisi setiap motif, struktur narasi, dan kisah.
(S Prasetyo Utomo, Sastrawan; Doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes, Semarang)