Mencuri (Fakta) Raden Saleh
Menelaah film ”Mencuri Raden Saleh” lewat fakta lukisan ”Penangkapan Pangeran Diponegoro”, banyak hal yang menarik untuk diketahui.
Sejak 25 Agustus 2022, layar bioskop Indonesia diramaikan oleh film Mencuri Raden Saleh karya sutradara Angga Dwimas Sasongko. Sebuah film yang sanggup menarik lebih dari 2,3 juta penonton hingga 22 hari penayangan.
Film ini mengangkat cerita yang sangat jarang digarap sinema film Indonesia: pencurian dan pemalsuan lukisan. Sebelumnya, hanya film Brush with Danger besutan Livi Zheng (2015) yang menggali tema serupa. Di film Indonesia-Hollywood itu diceritakan bagaimana susahnya hidup imigran gelap di Amerika sehingga terlibat dalam pemalsuan dan penjualan lukisan palsu.
Sementara itu, film Hollywood yang mengambil tema itu tak kurang-kurang jumlahnya. Yang amat terkenal di antaranya Thomas Crown Affair (1999) karya John Mc Tierman yang dibintangi Pierre Brosnan dan Faye Dunaway. Juga The Forger (2014) karya Philip Martin dengan pemeran John Travolta dan Christhoper Plummer.
Baca juga: Menonton Sinema, Memaknai Indonesia
Tema pemalsuan dan pencurian lukisan (atau seni rupa berharga lainnya) memang layak diangkat di layar sinema. Hal ini karena problem kriminal itu merupakan cerita klasik yang sudah berlangsung sangat lama dengan menyimpan beragam modus (kelas tinggi sampai kelas rendah) yang amat memikat dan seru apabila diungkap.
Seolah faktual
Film Mencuri Raden Saleh (MRS) menceritakan pemalsuan dan pencurian lukisan ”Penangkapan Pangeran Diponegoro” karya Raden Saleh yang dipajang di Istana Negara. Pencurian dilakukan pada saat pameran koleksi Istana Presiden di Galeri Nasional Indonesia, yang merujuk pada 2016. Sebelum dicuri, terlebih dahulu lukisan itu dibuat duplikatnya untuk kemudian ditukar dengan lukisan asli yang akan dicuri.
Pelakunya adalah Piko (Iqbaal Ramadhan), mahasiswa seni rupa; Ucup (Angga Yunanda), hacker yang piawai; Gofar (Umay Shahab), jagoan mekanik; Tuktuk (Ari Irham), pebalap liar; Sarah (Aghniny Haque), si cantik ahli bela diri; dan Fella (Rachel Amanda), bandar judi. Sementara biang dari pemalsuan dan pencurian adalah Permadi (Tio Pasukadewo), mantan wakil presiden; dan Dini (Atiqah Hasiholan), pialang lukisan.
Film MRS layak ditelaah bukan hanya lantaran ceritanya yang banyak aksi, berpengetahuan seni rupa, dan bervisual apik, melainkan juga karena menyisakan hal-hal yang seolah faktual dalam kisah yang jelas fiksional. Kita tahu, unsur-unsur ”seolah faktual” ini sengaja dimunculkan untuk menggapai gereget serta ekstensitas dan intensitas cerita. Jadi, kehadiran ”seolah faktual” itu diterima sebagai bagian yang mendukung.
Film MRS layak ditelaah bukan hanya lantaran ceritanya yang banyak aksi, berpengetahuan seni rupa dan bervisual apik, melainkan juga karena menyisakan hal-hal yang seolah faktual dalam kisah yang jelas fiksional.
Unsur-unsur ”seolah faktual” itu di antaranya bisa disimak sebagai berikut:
Film MRS memunculkan adegan pelelangan lukisan-lukisan karya Widajat. Lukisan karya maestro Indonesia itu terjual dengan hammer price Rp 700 juta. Hebat. Namun, reputasi harga segera luruh ketika diketahui bahwa karya yang dilelang itu ternyata palsu lantaran lukisan tersebut adalah hasil repainting (pelukisan kembali) lukisan Widajat yang dikerjakan oleh Piko.
Padahal, dalam sejarah lelang nasional, regional ataupun internasional, tidak ada karya Widajat palsu yang dijual. Sebab, seandainya ada yang diindikasi palsu, biasanya telah ditarik atau di-withdrawn dari lot sebelum pelelangan berlangsung. Sebab, sebelum acara lelang dilakukan, semua karya di-display selama beberapa hari agar publik bisa mencermati. Pada momen ini, koreksi asli dan palsu kembali dilakukan.
Alhasil, adegan ”Widajat palsu” dalam MRS mendatangkan gerutu bagi kolektor lukisan Widajat yang pernah membeli dalam lelang. ”Jangan-jangan koleksi saya dituduh bikinan Si Piko....”
”Seolah faktual” lain terkait dengan ukuran lukisan. Setelah dibanding-bandingkan dengan tubuh para pemeran film, tercitra bahwa lukisan ”Penangkapan Pangeran Diponegoro” berukuran lebar lebih dari 2 meter. Padahal, ukuran asli lukisan ini hanya 111 cm x 178 cm. Pembesaran semacam ini tentulah wajar dan bahkan perlu dalam sebuah film karena bertujuan memberi impresi superlatif atas subyek cerita kepada penonton.
Dalam film juga diceritakan bagaimana rumitnya para pencuri mencari data forensik soal kondisi lukisan ”Penangkapan Pangeran Diponegoro” yang kuno. Sampai akhirnya ditemukan kenyataan bahwa cat lukisan itu mengalami retak seribu pada sangat banyak sisi kanvasnya akibat dimakan usia.
Baca juga: Merayakan Kembali Keagungan Perjuangan Diponegoro
Dalam film, citra retak seribu itu lantas dibikin di kanvas baru yang dipakai untuk memalsu agar lukisan kelihatan seperti kuno dan aus. Padahal, dalam realitasnya, lukisan itu pada saat dicuri, dengan merujuk kejadian dalam film yang berkait dengan pameran 2016, kondisinya sangat bagus.
Lukisan tersebut memang pernah rapuh, berjamur, dan retak seribu dengan lapisan varnis tebal menguning. Namun, setelah direstorasi oleh Susanne Edgard pada 2012, karya itu jadi segar seperti lukisan baru. Namun, untuk dramatisasi peristiwa dan sekalian untuk menegaskan betapa rumitnya memalsukan atau me-repainting lukisan kuno, upaya peretakseribuan dalam film itu menarik adanya.
Pada akhir film dikisahkan, setelah lukisan itu dicuri, para maling ramai dan gembira menafsir harganya Rp 150 miliar. Nominal ini boleh-boleh saja. Namun, mengingat hasrat superlatif Angga Dwinas Sasongko sebelumnya, tafsiran para maling itu menjadi sungguh kurang jumlahnya.
Tim ahli nominal Koleksi Benda Seni Istana Kepresidenan menafsir, kini harga lukisan itu sekitar Rp 300 miliar. Bahkan, Werner Krauss, peneliti Raden Saleh, mengatakan paling sedikit Rp 350 miliar. Ini mengingat bahwa lukisan Raden Saleh ”Perburuan Banteng” yang dilelang di kota Vannes, Perancis, 27 Januari 2018, terbayar 8.928.000 euro (atau sekitar Rp 146 miliar).
Tim ahli nominal Koleksi Benda Seni Istana Kepresidenan menafsir, kini harga lukisan itu sekitar Rp 300 miliar.
Padahal, dibandingkan dengan ”Penangkapan Pangeran Diponegoro”, lukisan ”Perburuan Banteng” kalah jauh dalam berbagai aspek. Dalam tema, kerumitan kerja, kompleksitas obyek, dan historiografinya.
Misteri visual lukisan Diponegoro
Lepas dari film MRS, kita boleh masuk ke sisi visual lukisan ”Penangkapan Pangeran Diponegoro” itu, yang sebagian unsurnya tak henti menawarkan pertanyaan. Misalnya, mengapa figur-figur Belanda dalam lukisan tersebut digambarkan berproporsi serba pendek (agak kuntet). Sementara semua tahu bahwa orang Belanda, apalagi para tentaranya, bertubuh jangkung. Padahal, dalam sketsa lukisan itu, tubuh-tubuh para Belanda digambarkan normal.
Apakah penguntetan ini disengaja oleh Raden Saleh? Masih jadi pertanyaan. Meskipun atas hal itu banyak yang menduga: jangan-jangan Saleh sengaja memendekkan tubuh itu sebagai karikatur ihwal petinggi Belanda yang dianggap cekak roso (dangkal rasa). Walaupun dalam realitasnya Raden Saleh selalu cinta Belanda lantaran hampir sepanjang hidupnya difasilitasi oleh Pemerintah Belanda.
Bahwa Saleh pernah melukis para Belanda dalam tubuh serba pendek, sejarah sudah mencatat. Pada 1836 Saleh melukis Gubernur Jenderal Van den Bosch sedang berdiri gagah di sebuah ruangan dengan latar belakang Gunung Salak. Dalam lukisan itu tubuh Bosch digambarkan pendek. Proporsi agak kuntet itu juga terlihat pada ”Portrait of JC Baud and Family”, yang menggambarkan Baud beserta istri dan delapan anaknya.
Sejumlah referensi mengatakan bahwa karya itu dicipta kala Saleh baru memperdalam melukis sosok manusia dari Cornelis Kruseman tahun 1830-an. Pada kurun itu persepsi Saleh atas tubuh orang Jawa yang relatif pendek masih mengatur perjalanan kuasnya. Jadi, tersimpul, kekuntetan itu adalah hasil dari ”kesalahan”. Namun, mengapa ketika sudah mencapai kematangan pada 1857, Saleh masih saja melukis Jenderal HM de Kock dan kawan-kawannya dalam proporsi agak kuntet?
Yang tetap harus diingat, lukisan ”Penangkapan Pangeran Diponegoro” ini merupakan adaptasi responsif atas lukisan Nicolaas Pieneman, ”Diponegoro Menyerah”. Syahdan Saleh tidak ingin Sang Pangeran digambarkan menyerah dan layu dengan tangan terambai-ambai pasrah ke bawah bagai dalam lukisan Pieneman sehingga di kanvasnya Saleh melukis Diponegoro berdiri gagah menantang.
Baca juga: Raden Saleh Vs Pieneman
Dan, apabila adegan lukisan Pieneman menghadap ke kiri, maka lukisan Saleh dibikin menghadap ke kanan. Ini tak lain lantaran komposisi lukisan Saleh meniru karya Louis Gallait (1841) yang menggambarkan adegan pengunduran diri Raja Charles V demi putranya, Philippe II di Brussel, tahun 1555.
Hal yang juga layak dikagumi, puluhan figur dalam lukisan itu satu per satu ternyata ada orangnya. Dan dipercaya wajah orang-orang itu persis adanya. Maka, selain sosok Pangeran Diponegoro dan Jenderal HM de Kock, di lukisan itu tampak Mayor Johan Jacob Perrie, Residen Kedu Frans Gerardus Valkc, Raden Ayu Ratnaningsih (salah satu istri Diponegoro), Mayor FVH Antoine Ridder de Stuers, Ali Basah Ngadulkamil Mertanegara, Ali Basah Ngabdulmahmud Gandakusuma, Jayasurata (abdi dalem paling setia Diponegoro), serta sosok Raden Saleh sendiri. Bahkan, para peneliti juga sedang memastikan di situ ada sosok Kapten Johan Jacob Roeps, Letnan Kolonel WA Roest, dan lain-lain. Sayang film MRS tak menyinggung hal yang luar biasa ini.
Ujung kalam, lukisan ”Penangkapan Pangeran Diponegoro” karya Raden Saleh, yang berada di Indonesia sejak 1978, sesungguhnya selalu terpajang anggun di Ruang Resepsi Istana Merdeka, Jakarta.
Agus Dermawan T, Narasumber Ahli Koleksi Benda Seni Istana Presiden