Meredam Inflasi, Selamatkan Daya Beli
Sebelum terjadi kenaikan harga BBM, pemerintah telah mencatat tingkat inflasi tahunan di 27 provinsi sudah berada di atas rata-rata nasional pada Agustus 2022.

Ilustrasi. Pekerja kios menunggu pembeli di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Jumat.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kontribusi konsumsi rumah tangga masih mendominasi komponen pembentuk produk domestik bruto atau PDB nasional. Dengan kata lain, daya beli masyarakat memegang peran kunci dalam menopang geliat pertumbuhan ekonomi nasional.
Tekanan terhadap daya beli masyarakat yang saat ini terjadi akibat gejolak harga pangan sangat berpotensi memicu kontraksi pertumbuhan ekonomi. Terlebih lagi, daya beli masyarakat saat ini juga tergerus oleh kenaikan harga energi setelah lonjakan harga minyak dunia memaksa pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) per 3 September 2022.
Sebelum terjadi kenaikan harga BBM, pemerintah telah mencatat tingkat inflasi tahunan di 27 provinsi sudah berada di atas rata-rata nasional pada Agustus 2022. Tingginya lonjakan inflasi, di antaranya di Jambi dan Sumatra Barat, dipicu oleh kenaikan tarif angkutan udara.
Peran pemerintah daerah pun dipacu untuk meredam gejolak kenaikan harga di daerah, sekaligus menyelamatkan daya beli masyarakat di daerah.
Adapun, inflasi pada Agustus 2022 tercatat 4,69 persen secara tahunan, lebih rendah dari bulan sebelumnya yang mencapai 4,94 persen. Sementara itu, inflasi pangan (volatile food) yang menjadi pendorong tertinggi inflasi pada Agustus 2022 mencapai 8,93 persen secara tahunan.
Pemerintah memutuskan untuk mengalihkan sebagian subsidi energi senilai Rp 24,7 triliun untuk menambah bantalan sosial bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Peran pemerintah daerah pun dipacu untuk meredam gejolak kenaikan harga di daerah, sekaligus menyelamatkan daya beli masayrakat di daerah.
Dalam beleid Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 134/PMK.07/2022 tentang Belanja Wajib dalam Rangka Penanganan Dampak Inflasi Tahun Anggaran 2022, tertuang acuan terhadap skema berbagi beban antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam rangka meredam dampak inflasi terhadap masyarakat.

Proyeksi inflasi negara-negara di kawasan Asia pada 2022 dan 2023.
Pemerintah daerah diwajibkan untuk mengalokasikan sebagian dana transfer umum (DTU) yang bersumber dari dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH) untuk program bantuan sosial alias bansos. Nilainya tak bisa dibilang kecil, yakni mencapai 2 persen dari DTU.
Pemda juga diamanatkan untuk segera mengeksekusi penyaluran bansos. Jika tidak menjalankan berbagai ketentuan tersebut, aliran DAU dan DBH ke daerah bersangkutan bakal distop. Di luar beleid tersebut, Kementerian Keuangan juga akan menyalurkan Dana Insentif Daerah pada September dan Oktober 2022 masing-masing senilai Rp 1,5 triliun yang penggunaannya ditujukan untuk mengelola inflasi di daerah.
Namun, rasanya sanksi yang berkaitan dengan keuangan daerah harus dihindari karena dapat mengganggu keekonomian masyarakat mengingat pergerakan ekonomi di daerah sangat bergantung pada belanja pemerintah daerah.
Baca juga : Dana Insentif Daerah Didorong Untuk Pengendalian Inflasi
Alangkah lebih tepat bila sanksi yang diberikan mengarah kepada penundaan hak-hak keuangan dari pejabat daerah sehingga para pemangku kebijakan daerah bisa lebih termotivasi dalam merealisasikan program-program di daerah masing-masing. Di samping itu, pemerintah pusat juga jangan sampai menyamaratakan penilaian inflasi di daerah mengingat setiap daerah punya faktor-faktor pembentuk inflasi yang berbeda.
Sebenarnya keterlibatan pemerintah daerah dalam penanganan inflasi bukan hal baru. Selama ini pemerintah daerah juga melakukan berbagai upaya untuk meredam inflasi melalui keterlibatan dalam Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) yang secara hierarkis berada berkoordinasi dengan Tim Pengendali Inflasi Pusat (TPIP).
Dengan turut melibatkan kemampuan fiskal daerah, pemerintah telah menunjukkan bahwa berbagai sumber daya yang dimiliki negara akan dikerahkan untuk menjaga stabilitas daya beli masyarakat dari goncangan inflasi.

Petani bawang merah dari Kelompok Tani Tricipta di Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, mengolah lahan, Senin (12/9/2022). Hasil panen mereka ikut menekan inflasi di berbagai daerah di Indonesia.
Persoalannya saat ini, walaupun dapat menjadi salah satu solusi yang baik dalam menjaga daya beli masyarakat, skema pembagian beban antara pemerintah pusat dan daerah juga punya risiko mengganggu stabilitas fiskal di daerah. Masih tingginya ketergantungan pemerintah daerah terhadap dana transfer langsung pemerintah pusat menjadi penyebab kemandirian fiskal di daerah bak panggang jauh dari api.
Laporan Hasil Review atas Kemandirian Fiskal Pemerintah Daerah Tahun 2020 yang dibuat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat, sebanyak 98 persen dari total kabupaten serta 70 persen dari total kota di Tanah Air masuk dalam kategori belum mampu mengelola fiskal secara mandiri. Terwujudnya kemandirian fiskal ini terganjal oleh buruknya tata kelola keuangan, terutama dalam kaitan pajak daerah dan retribusi daerah.
Alangkah baiknya jika ke depan pemerintah mempertimbangkan kinerja anggaran serta kapasitas fiskal masing-masing daerah sehingga tak justru menjadi bumerang karena pembangunan di daerah menjadi tak optimal. Demikian pula skema sanksi yang lebih pas jika diubah menjadi insentif dan disinsentif yang adil sejalan dengan kinerja pengendalian inflasi masing-masing daerah.
Baca juga : Hadapi Tekanan Inflasi, Pusat-Daerah Perkuat Sinergi
Tidak dapat dimungkiri bahwa situasi bulan demi bulan menuju pengujung tahun ini kemudian dilanjutkan tahun depan akan amat menantang. Terlebih lagi, faktor ketidakpastian global masih akan sangat besar sehingga membuat opsi kebijakan menjadi terbatas. Meski demikian, evaluasi dan perbaikan harus terus dilakukan sehingga kebijakan yang ditempuh lebih terukur dan efektif.
Rasa waswas muncul ketika pemerintah memperingatkan bahwa laju inflasi pada akhir tahun ini berpotensi berada di level yang lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi, imbas dari kenaikan harga BBM dan pangan. Jika lebih tinggi daripada target pertumbuhan ekonomi 2022, dapat dipastikan laju inflasi ada kemungkinan berada di atas 5,2 persen.
Level inflasi bisa berada di atas level pertumbuhan ekonomi, tatkala kolaborasi dan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam meredam potensi inflasi tidak berlangsung dengan baik. Penguatan sinergi antara pusat dan daerah menjadi suatu keharusan mengingat faktor penyebab kenaikan harga pangan di setiap daerah berbeda-beda.

Pedagang bahan pangan menunggu pembeli di Pasar PSPT, Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (2/4/2021). Badan Pusat Statistik mencatat, angka inflasi pada Maret 2021 sebesar 0,08 persen. Cabai rawit dan bawang merah menjadi salah satu penyumbang inflasi.
Pasokan bahan pangan pokok seperti beras di sejumlah daerah juga perlu dimonitor ketat agar tetap mencukupi kebutuhan. Pemerintah mencatat, secara umum pasokan beras relatif aman, kecuali di lima provinsi rawan, seperti Riau, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Maluku Utara, dan Papua Barat.
Pemerintah juga perlu memiliki data valid dan mutakhir untuk memonitor kecukupan komoditas penyumbang inflasi, seperti jagung, cabai, bawang merah, daging ayam, dan telur. Pemutakhiran harus ditempuh agar sejumlah provinsi rawan akan kebutuhan pangan dapat segera teratasi dengan cepat.
Pengendalian harga pangan memang menjadi sangat krusial untuk menjaga inflasi tidak terus melambung. Jika inflasi tinggi dapat diredam, artinya gejolak harga pangan dapat diatasi. Jika kebutuhan dasar ini teratasi, daya beli masyarakat dapat terjaga baik. Mudah-mudahan di pengujung tahun ini tidak terjadi miskoordinasi atau miskulkasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam upaya pengendalian harga pangan di setiap wilayah.