Kepastian pasokan pangan dinilai dapat meredam risiko inflasi yang dipicu oleh kenaikan harga bahan bakar minyak. Pemerintah pusat dan daerah memperkuat identifikasi sumber inflasi dengan menyinergikan data.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah pusat dan daerah memperkuat sinergi dalam penguasaan data komoditas pangan penyumbang inflasi. Dengan demikian, pemantauan komoditas strategis bisa lebih mudah dan akurat dilakukan guna memastikan ketersediaan dan keterjangkauan harga.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam Rapat Koordinasi Pusat dan Daerah Pengendalian Inflasi 2022 yang digelar secara hibrida, di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (14/9/2022), menyatakan, pengendalian inflasi hingga akhir tahun ini ditempuh dengan memperkuat identifikasi sumber tekanan inflasi di daerah melalui pemanfaatan data makro dan mikro secara detail. Kerja sama antardaerah diperlukan guna mengurangi disparitas pasokan dan harga bahan pangan antarwilayah.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi pada Agustus 2022 mencapai 4,69 persen secara tahunan, lebih rendah dari inflasi Juli 2022 yang tercatat 4,94 persen. Penurunan inflasi secara keseluruhan sejalan dengan penurunan inflasi harga pangan bergejolak (volatile food), yakni dari 11,47 persen pada Juli 2022 menjadi 8,93 persen pada Agustus 2022.
Akan tetapi, kendati turunan, harga pangan tetap berada di atas kesepakatan Tim Pengendali Inflasi Pusat, yakni di kisaran 3-5 persen. Menurut Airlangga, pergerakan harga pangan berkontribusi besar terhadap pergerakan inflasi yang bisa mengganggu stabilitas ekonomi nasional. Ia mencontohkan, per Maret 2022, pergerakan harga beras berkontribusi pada 23,04 persen garis kemiskinan di wilayah desa serta 19,36 persen garis kemiskinan di kota.
Pergerakan harga pangan berkontribusi besar terhadap pergerakan inflasi yang bisa mengganggu stabilitas ekonomi nasional.
Selain beras, komoditas pangan lain juga berkontribusi terhadap garis kemiskinan, yakni telur ayam, gula pasir, daging ayam ras, dan mi instan. Hal ini karena 74,08 persen pengeluaran rumah tangga miskin adalah makanan sehingga pengendalian inflasi, khususnya bahan pangan, berkait erat dengan penanggulangan kemiskinan.
”Saat ini inflasi akibat dampak kondisi global masih sulit dikendalikan. Namun, kita masih bisa menjaga harga komoditas pangan dalam negeri dengan menjaga rantai pasoknya. Tim Pengendali Inflasi Pusat dan Daerah akan terus bersinergi dan gotong royong menjaga stabilitas harga dan mengendalikan pencapaian inflasi nasional,” ujarnya.
Untuk menjaga stabilitas pasokan bahan pangan dalam jangka pendek, otoritas di daerah diarahkan untuk meningkatkan operasi pasar dengan melibatkan berbagai pemangku guna memastikan harga pangan terjangkau. Upaya itu termasuk peningkatan program Ketersediaan Pangan dan Stabilitas Harga (KPSH) untuk menstabilkan harga beras.
Sementara dalam jangka menengah, lanjut Airlangga, hilirisasi produk hortikultura melalui pengembangan program kemitraan agribisnis dalam ekosistem berbasis digital akan diperluas. Upaya ini ditopang dengan sarana-prasarana penyimpanan produk hasil panen, baik di daerah sentra produksi maupun daerah konsumsi, untuk menjamin kecukupan pasokan pangan dalam jangka lebih lama.
Untuk menjaga gejolak inflasi bahan pangan, Airlangga menekankan kepada pemerintah daerah untuk tidak ragu ragu mengoptimalkan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk program ketahanan pangan. Dalam menjaga akuntabilitas, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga memberikan dukungan melalui pendampingan dalam pelaksanaan berbagai program pengendalian inflasi di daerah.
Tim Pengendali Inflasi Pusat dan Tim Pengendali Inflasi Daerah akan terus memperkuat koordinasi maupun sinergi program kebijakan untuk stabilisasi harga, terutama usai penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM), guna mendukung pencapaian target inflasi nasional. ”Pemerintah menargetkan inflasi pangan bergejolak di bawah 5 persen karena sundulan inflasi dari sektor energi bisa 1,6 persen hingga 2 persen,” kata Airlangga.
Daya beli
Dalam kesempatan yang sama, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, kenaikan harga barang yang diatur pemerintah (administered price), khususnya BBM bersubsidi dan tarif angkutan, telah berimbas pada peningkatan inflasi pangan. Apabila inflasi pangan bergejolak tidak bisa ditekan ke bawah 5 persen, daya beli masyarakat akan tergerus sehingga dapat berimbas pada tingkat kesejahteraan masyarakat.
Untuk menjaga agar inflasi harga barang yang diatur pemerintah tidak turut mengerek kenaikan inflasi inti yang saat ini masih berada di kisaran 3 persen, daya beli masyarakat dijaga dengan bantuan langsung tunai (BLT), bantuan subsidi upah (BSU), serta alokasi 2 persen dana transfer umum (DTU) untuk bantalan sosial.
Upaya pengendalian inflasi, lanjut Perry, perlu diperkuat dengan mencermati bagaimana dampak rambatan kenaikan harga BBM serta efektivitas subsidi penyangga sosial dalam menjaga daya beli masyarakat. ”Jika imbas kenaikan harga BBM pada tarif angkutan bisa dikendalikan, dampak rambatannya terhadap harga pangan dan harga lain yang memengaruhi daya beli bisa dikendalikan. Dengan begitu, inflasi inti yang kini ada di level 3 persen tidak merambat naik,” ujarnya.
Terkait upaya menjaga gejolak inflasi bahan pangan, BI berupaya mengimplementasikan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di setiap daerah semakin merata. Saat ini, lanjut Perry, sebanyak 46 kantor perwakilan BI di daerah sudah bekerja sama dengan pemerintah daerah dan berbagai pihak, antara lain dengan menggelar 179 pasar murah, menyalurkan lebih dari 900.000 polybag untuk pertanian perkotaan, hingga operasi pasar.
Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Faisal Rachman, menilai, inflasi akibat kenaikan harga BBM dapat dikendalikan jika pemerintah dapat memastikan keamanan pasokan bahan pangan. Pengendalian inflasi pangan tidak hanya penting untuk upaya menekan inflasi secara umum tetapi juga untuk menjaga tingkat kesejahteraan masyarakat.
Secara teknis, kenaikan harga BBM akan memicu kenaikan harga barang dan jasa yang berkaitan dengan BBM, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jika pemerintah mampu menjaga stok bahan pangan serta memastikan kelancaran distribusinya, imbas kenaikan harga BBM terhadap harga pangan dapat diminimalkan.
”Pengendalian inflasi pangan sangat penting karena pangan adalah kebutuhan pokok sehingga akan berkaitan erat dengan daya beli dan tingkat kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.
Wakil Menteri Dalam Negeri John Wempi Wetipo menyampaikan bahwa hal penting yang dapat menjadi kunci keberhasilan pengendalian inflasi, di antaranya menggalakkan Gerakan Tanam Pangan Cepat Panen, mengawasi penyaluran BBM subsidi, mengumumkan persentase inflasi di kabupaten/kota setiap bulannya, dan mengintensifkan jaring pengaman sosial.
Guna menahan gejolak inflasi akibat kenaikan harga BBM, pemerintah Provinsi Jawa Timur telah mengalokasikan anggaran hingga Rp 185 miliar untuk menjaga stabilitas ekonomi di daerah. Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak menjelaskan, total anggaran tersebut merupakan anggaran reguler dan hasil realokasi yang mengikuti aturan 2,21 persen DTU dari anggaran yang belum tersalurkan.
Secara rinci, intervensi yang dilakukan di antaranya distribusi bantuan sosial Rp 600.000 per orang untuk pengemudi ojek konvensional dan daring. Di sektor pertanian dan perkebunan, Dinas Pertanian Jatim menganggarkan Rp 3,65 miliar untuk bantuan perlindungan sosial diberikan kepada kelompok tani Rp 30,45 juta per desa dengan total penerima 120 desa.
”Rencana bantuan terdiri dari alat hidroponik, benih, bibit, pakan, kolam ikan, dan pendampingan. Untuk Dinas Perkebunan sebesar Rp 3,16 miliar untuk kelompok tani perkebunan khususnya kopi, kakao, cengkih, jambu mete dan nilam agar petani perkebunan dapat mengurangi biaya produksi,” ujarnya.
Ia menambahkan, dari sektor transportasi, Dinas Perhubungan Jatim telah menganggarkan Rp 24 miliar, yang terdiri dari subsidi angkutan kapal perintis, subsidi bus Trans Jatim. ”Dengan total anggaran Rp 9 miliar kami ingin agar tarif penumpang tetap terjangkau sehingga ujungnya kendaraan pribadi beralih ke angkutan umum,” kata Emil.