Belajar dari hasil pemekaran selama ini, saatnya untuk menggunakan pertimbangan yang lebih jernih dan rasional saat akan kembali melakukan kebijakan itu.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Kotak pandora pemekaran daerah seperti kembali terbuka saat pemerintah dan DPR sepakat membentuk empat provinsi baru di Papua dan Papua Barat.
Kebijakan itu mendorong sejumlah daerah kembali mengajukan usulan pemekaran. Berdasarkan data Ditjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, hingga September 2022, ada 329 usulan daerah otonomi baru (DOB). Usulan itu terdiri dari 55 provinsi, 247 kabupaten, dan 37 kota. Hanya daerah di DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Bali yang tidak mengajukan usulan pemekaran.
Pemekaran menjadi salah satu fenomena baru di era Reformasi. Pada akhir pemerintahan Orde Baru, ada 297 kabupaten/kota di 27 provinsi, sementara saat ini ada 514 kabupaten/kota di 37 provinsi. Jumlah ini belum termasuk Provinsi Papua Barat Daya yang segera disahkan.
Di tengah maraknya pemekaran ini, hasil evaluasi pemerintah tahun 2012 menunjukkan, 70 persen DOB hasil pemekaran sejak tahun 1999 belum memberikan hasil yang memuaskan terkait peningkatan kesejahteraan rakyat.
Di saat yang sama, pembentukan DOB itu turut menambah beban keuangan pemerintah pusat. Pada 1999, total dana alokasi umum (DAU) yang ditransfer ke daerah Rp 54,31 triliun. Tahun 2009, anggaran DAU melonjak tiga kali lipat hingga Rp 167 triliun.
Jika menengok ke belakang, pertimbangan utama sejumlah pemekaran diduga memang bukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, antara lain, lewat memendekkan rentang pelayanan publik, melainkan karena hal lain. Sebut saja desakan elite politik lokal ataupun nasional yang berkepentingan dengan daerah itu atau untuk meredam konflik di daerah tersebut.
Pembentukan tiga provinsi baru di Papua juga sempat menimbulkan pertanyaan, apakah tujuannya semata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat setempat atau memang ada tujuan lain, seperti politik kekuasaan?
Perkembangan daerah dan masyarakat memang membuat kebijakan moratorium pemekaran daerah yang ditetapkan tahun 2006 tidak dapat selamanya dilakukan. Namun, belajar dari hasil pemekaran selama ini, saatnya untuk menggunakan pertimbangan yang lebih jernih dan rasional saat akan kembali melakukan kebijakan itu.
Jika disebut tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, apakah hal itu benar-benar jujur dipikirkan cara mencapainya melalui pemekaran? Jika pertimbangan politis yang dipakai, seperti untuk membuat daerah lebih aman atau terkendali, apakah pemekaran memang jawaban? Jangan-jangan, jawabannya di tempat lain, seperti dengan mempercepat pembangunan atau membuat kebijakan yang lebih adil dan bermartabat bagi masyarakat setempat.
Hal ini perlu dilakukan karena saat pemekaran dilakukan, sulit untuk menariknya kembali. Wacana seperti penggabungan kembali DOB yang dinilai gagal adalah baik. Namun, butuh energi besar untuk melaksanakannya karena di DOB itu sudah ada kepala daerah, DPRD, dan aparat birokrasi.