Menggagas Pesantren sebagai Agen Transformasi Keilmuan
Pesantren harus membangun paradigma keilmuan tersendiri agar impian menjadi agen transformasi keilmuan bisa terealisasi. Memadukan sesuatu yang tradisional dan yang modern menjadi pilihan.
Sistem pendidikan pesantren dalam parameter modernisasi oleh sebagian kalangan masih dipandang remeh, ndeso, dan terbelakang. Ini karena pesantren dianggap terlalu mempertahankan tradisi dan kurang tanggap terhadap perkembangan zaman.
Meskipun belakangan, pesantren dengan manajemen kulturalnya mampu memikat sejumlah pihak karena pesantren yang bersifat indigenous Indonesia dengan segala kekurangannya ternyata masih bertahan dan tetap berkontribusi positif bagi bangsa. Bahkan terdapat beberapa pesantren melakukan sejumlah transformasi dan dinamisasi terhadap perkembangan yang terjadi serta berusaha menuju kebangkitan ilmiah, menjadi pusat pendidikan dan peradaban.
Pesantren di era Revolusi Industri 4.0 saat ini sebagian besar sudah menyadari betapa pentingnya berpegang pada prinsip continuity and change. Sikap keterbukaan, elastis, dan tetap kritis, serta berjangkar kepada identitas kebudayaan pesantren—harus berjalan beriringan agar tetap kuat menghadapi gelombang revolusi dunia karena pesantren kini berada pada perubahan zaman yang tak terelakkan.
Baca juga : Pesantren sebagai Simpul Peradaban Nusantara
Perubahan itu pasti, sunnatullah. Mengutip pernyataan Heraclitus, ”panta rei kai uden menei” (semuanya mengalir dan tidak sesuatu pun yang tetap tinggal). Sementara dalam sebuah kitab kearifan tertua dari China (I Ching); ”gerak adalah suatu yang alami, dan muncul secara spontan”. Perubahan waktu, saat ini sangat cepat, Anthony Giddens menyebutnya time space distanziation (2002).
Agar tetap survive dan tak mudah tergerus zaman, pesantren perlu melakukan kajian mendalam; ”Reimagining Our Futures Together: A New Social Contract for Pesantren”. Pesantren sangat memungkinkan bisa mengatasi gelombang disrupsi sosial dan segala dampak yang ditimbulkannya. Apalagi pesantren dalam prespektif historis telah teruji dan tak terbantahkan ikut andil dalam mencerdaskan anak bangsa dan mempunyai peran vital atau strategis dalam mempertahankan kemerdekaan dan menyukseskan serta mengisi pembangunan nasional.
Selain itu, pesantren senantiasa terdepan dalam center of education, dengan peran utama kultural pesantren sebagai transfer pengetahuan, moral, dan pengabdian kepada masyarakat. Pesantren diyakini bukan sekadar memiliki akar dan koneksi dengan khazanah turots (karya-karya ulama klasik) lintas generasi yang senantiasa bisa dipedomani.
Pesantren pernah menjadi laboratorium epistemik dan keilmuan yang luar biasa. Dipenuhi literatur dan karya-karya keilmuan Islam yang ditulis oleh para ulama besar lintas abad dan generasi. Pesantren terbukti melahirkan para kiai besar, selain produktif dan melahirkan banyak karya juga berguna bagi umat, bangsa, dan negara. Sebut saja Mbah Sholeh Darat, Syeikh Nawawi Al-Bantani, dan para santri Syeikh Cholil Bangkalan Madura, di antaranya: Kiai Hasyim Asyári, Wahab Hazbullah, dan KH Bisyri Syansuri.
Di tengah gelombang IOT (internet of things) dan big data yang melimpah, hal itu kadang menyeret masyarakat kepada keberagamaan instan (tidak rumit dan penting mudah), malas membaca dan meneliti, sering menyandarkan pada sumber tidak valid, dan terjerembap pada budaya hoaks. Maka, keberadaan pesantren menjadi sangat vital dan diharapkan mengembalikan budaya literasi agar masyarakat tetap hati-hati dalam melakukan saring sebelum sharing. Beragama dan beribadah harus dengan ilmu. Ngaji pada kiai. Sekaligus mencegah terjadinya the date of expertise.
Tak salah, jika pesantren menggunakan fasilitas teknologi modern yang canggih sekarang. Agar pesantren selalu up to date dan tidak tergilas perkembangan teknologi; perlu melakukan percepatan quantum learning dengan memberikan fasilitas laboratorium komputer dan akses internet, berkenalan dengan alat komunikasi portable (laptop, HP), dan media sosial (telepon pintar/smartphone).
Pesantren perlu menyiapkan kebutuhan SDM talenta digital dan membuat semacam regulasi dengan sistem blocking akses untuk mendukung pembelajaran dan pencarian sejumlah referensi yang diperlukan oleh santri dan kiai dengan mudah dan cepat.
Pesantren perlu menyiapkan kebutuhan SDM talenta digital dan membuat semacam regulasi dengan sistem blocking akses untuk mendukung pembelajaran dan pencarian sejumlah referensi yang diperlukan oleh santri dan kiai dengan mudah dan cepat. Selain itu, pesantren juga perlu menyediakan sejumlah informasi melalui video tutorial, berita, jurnal, e-book, dan lain sebagainya.
Pesantren harus memasarkan dan melakukan proses edukasi melalui jaringan internet. Urgensi pesantren digital ini, dengan sebuah pertimbangan; kebanyakan dunia pendidikan ramai-ramai melakukan pengembangan dari sekadar nilai guna menjadi nilai jual (marketable).
Meminjam teori komodifikasi yang dipopulerkan Vincent Moscow (1996: 127), sepertinya pesantren pun jangan ketinggalan, perlu melakukan hubungan interaksi dengan pasar secara terus-menerus. Sementara menurut Greg Fealy dalam Consuming Islam: Commodified Religion and Aspirational Pietism in Contemporary Indonesia (2008); pesantren harus lebih menekankan kepada penghayatan iman yang spontan, progresif, dan dinamis sesuai dengan perkembangan kontemporer.
Memperkuat paradigma keilmuan
Lebih dari itu, pesantren harus membangun paradigma keilmuan tersendiri agar impian menjadi agen transformasi keilmuan bisa terealisasi. Pesantren harus menunjukkan ontologi dari hakikat dan struktur keilmuan, epistemologi dari obyek, cara memperoleh dan ukuran kebenaran keilmuan, juga perlu menunjukkan aksiologi. Kegunaan keilmuan yang diharapkan pesantren harus menghasilkan ilmu-ilmu baru yang bersifat teo-antroposentris dan berbasis kearifan lokal.
Agar pesantren mampu melahirkan generasi masa depan yang kredibel, bermutu, dan bertakwa, serta karakter cendekiawan sekaligus ulama yang berkepribadian sebagai bangsa Indonesia, pesantren perlu memadukan sesuatu yang tradisional dan modern. Sehingga menurut Abdurrahman Wahid, memungkinkan pesantren menjadi wadah bagi resistansi moral dan budaya atau penerus tradisi intelektual Islam (Faisol, 2011).
Sekaligus, pesantren harus melakukan antisipasi dan partisipasi terhadap tantangan pendidikan kontemporer agar mampu melakukan innovative learning. Pembelajaran bukan sekadar teoritis-kontemplatif atau iluminasi utopis dan bersifat metafisik semata, melainkan menggunakan pendekatan praktis-produktif dan menghadirkan falsafah rasional.
Pesantren harus melakukan antisipasi dan partisipasi terhadap tantangan pendidikan kontemporer agar mampu melakukan innovative learning.
Menjadikan pesantren sebagai pendidikan alternatif dan menunjukkan eksistensinya sebagai pendidikan masa depan, pesantren harus segera mengisi ruang-ruang penting dalam dunia maya, dengan selalu melakukan penyebaran dan desiminasi hasil pemikiran dan kajian dari para santri dan kiai. Menyuguhkan informasi yang sangat dibutuhkan masyarakat secara obyektif dan faktual.
Di sinilah peran penting entertainment, publikasi, dan riset pesantren. Sehingga, pesantren mempunyai peran ganda untuk lita’aruf, ta'alum, dan tafaqquh (matrikulasi, studi pendalaman, dan mempunyai unggulan).
Selain itu, pesantren harus terdepan dalam memberikan solusi transformatif di masyarakat. Sebuah pemikiran dan respons masyarakat pesantren atas keprihatianan sosial yang retak menuju masyarakat yang toleran, demokratis, dan penuh kasih. Memecahkan berbagai persoalan masyarakat—melalui model pendidikan demokratis.
Baca juga : Era Disrupsi Menuntut Transformasi Pesantren
Hal itu selaras dengan visi Islam transformatif, yaitu perubahan masyarakat dan menekankan dakwah sebagai upaya penegakan amar ma'ruf nahi munkar dan aktualisasi nilai-nilai Islam dalam setiap aspek kehidupan. Dakwah dan pendidikan pesantren berorientasi pada perubahan dengan aksi nyata dan dalam kerangka pemecahan masalah yang sedang dihadapi umat, seperti kebodohan, kemiskinan, ketimpangan sosial, radikalisme, dan lain sebagainya.
Pesantren perlu mendesain sebuah gerakan penyadaran untuk bersama-sama membangun karakter dan menjadi role model bagi masyarakat. Jika dalam budaya pesantren berkembang kaidah lisanu al-hal afshahu min lisani al-maqal (contoh yang baik lebih efektif dari sekadar ucapan), maka pesantren harus bisa menjadi contoh bagaimana bisa menghadapi dan mencari pemecahan masalah pada kondisi obyektif sosial ekonomi di tengah gejolak politik global yang semakin kasar, semrawut, dan tidak adil. Membuat sebuah gerakan untuk menemukan kembali air kehidupan yang memungkinkan setiap jiwa raga manusia bisa berenang dengan indah dan gembira.
Tantangan dan peluang
Memang revolusi digital telah menyulap kehidupan masyarakat kontemporer, di antaranya kecanduan hidup dan selalu bergantung pada layar digital. Terlepas sisi positif komunikasi digital yang memudahkan dan membuka berbagai kemungkinan baru yang tak terpikirkan sebelumnya, hal itu juga berdampak serius bagi kehidupan. Merusak dan melalaikan. Asyik bercengkerama dan berselancar di dunia maya, lupa keluarga dan zikir. Bahkan tanpa disadari, sentuhan jari kadang menjerumuskan pada kejahatan, seperti kebohongan, kebencian, dan kecabulan.
Menghadapi situasi dan ambivalensi kehidupan saat ini; inovasi dan improvisasi kreatif perlu senantiasa dilakukan pesantren dalam membangun literasi digital. Supaya pesantren ikut mewarnai perkembangan di dunia digital secara positif dan tidak terseret pada arus negatif globalisasi. Pesantren harus senantiasa memberikan penguatan literasi digital kepada santri sehingga para santri mempunyai kecerdasan literasi yang berbasis teknologi informasi, memiliki keterampilan berpikir menggunakan sumber pengetahuan dalam bentuk cetak, visual, digital, dan auditori.
Jika tidak diimbangi dengan kecerdasan literasi digital dan sikap kritis, maka kebenaran medsos yang digandrungi masyarakat kontemporer sekarang tidak akan memberikan sumber-sumber kebaikan. Melainkan berubah mengajarkan kebenaran hoaks dan menarasikan kekerasan, konflik, dan sentimen SARA. Dengan kondisi ini, secara otomatis medsos telah menfasilitasi mereka untuk menjadi guru-guru kehidupan yang tidak ramah dan menyenangkan. Bahkan, menyeret mereka pada suatu ”kehidupan hitam” yang jauh dari nilai agama dan moralitas; saling membenci, bermusuhan, dan bertindak intoleran.
Baca juga : Mengapa Kita Kembali Berharap kepada Pesantren
Lebih dari itu, dengan literasi digital, pesantren memungkinkan melakukan transfer pengetahuan dan transfer nilai-nilai; lebih-lebih dalam menjaga ketahanan identitas dan budaya pesantren. Sekaligus membentuk kepercayaan dan kecintaan sebagai warga negara. Relevan dengan persoalan ini, pesantren perlu memperkenalkan bahwa kebangsaan itu berakar dari budaya, dan ditopang dengan pemahaman negara modern yang di dalamnya terdapat pilar intelektual dan moral. Hal ini tertancap kuat dalam tradisi pesantren.
Bukti sejarah menunjukkan bahwa pesantren selalu menekankan bagi para santri sikap dan karakter self-understanding of nation sehingga menimbulkan kebanggaan nasional (national pride), harga diri, dan rasa swadaya. Dari situlah pesantren melahirkan banyak pemikir dan pahlawan hebat serta terbukti menjadi penyangga kebudayaan Nusantara. Kebudayaan pesantren melahirkan awareres (kesadaran), leadership (kepemimpinan), brain (kecakapan), achievement (kemapanan prestasi), dan balance (keseimbangan). Dalam hal ini terutama mampu membangun harmoni dan menciptakan keseimbangan, terfokus pada dunia dan akhirat, bukan?
Syamsul Ma’arif, Guru Besar dan Dekan FPK UIN Walisongo