Harus diakui, meski bersifat konstitusional sekalipun atau kekuasaannya sangat dibatasi, monarki tetap bisa dipandang ”tidak adil”, menyalahi prinsip siapa pun dapat dipilih sebagai pemimpin negara.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Raja Charles III menghadapi era yang menantang. Masa depan monarki dan peran Inggris di dunia internasional mungkin akan ditulis ulang di eranya.
Saat ini, pusat pertumbuhan dunia berada di Asia-Pasifik, bukan lagi Eropa seperti pada abad ke-19. Negara-negara yang dahulu hanya bagian dari koloni imperium Inggris telah berkembang menjadi kekuatan ekonomi penting. China, misalnya, yang sebagian wilayahnya dulu dikuasai Inggris, tumbuh besar sebagai salah satu negara utama dunia. Ekonomi dan kekuatan militer negara itu bersaing dengan Amerika Serikat (AS), kekuatan adidaya.
Perubahan posisi Inggris telah terjadi saat Elizabeth II, ibunda Charles III, berkuasa. Seperti ditulis Philip Murphy dalam ”The Queen’s Diplomacy” (Foreign Affairs, 10 September 2022), saat Elizabeth II mulai berkuasa pada 1952, Inggris masih mengalami sisa-sisa kejayaan karena memenangi Perang Dunia II. Ada harapan, masa kekuasaan Elizabeth II mengantar era baru kepemimpinan global Inggris.
Pada 20 tahun kemudian, kenyataannya berbeda. Inggris kehilangan hampir seluruh ”kekaisarannya” yang pada saat puncak kejayaannya dulu meliputi seperempat luas permukaan Bumi. Dari ”pemeran utama” politik global, Inggris memiliki ”peran pembantu” di tengah persaingan AS-Uni Soviet.
Perubahan semakin besar sekarang. Seiring perkembangannya sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, Asia-Pasifik merupakan pusat dinamika politik dunia. AS pun menggeser konsentrasi kekuatan ke Asia guna mengantisipasi perkembangan di wilayah itu. Kapal-kapal perang negara Barat, termasuk Inggris, ikut bergerak ke Asia.
Di tengah dunia semacam itulah Charles III berkuasa. Tantangan terhadap apa yang disebut sebagai identitas nasional Inggris sangat besar. Sejumlah analisis menyebutkan, Elizabeth II cukup berhasil membuat warga Inggris tetap merasa memiliki identitas nasional meski perubahan besar dialami negara itu. Sosok sang Ratu tak ubahnya jangkar kuat di tengah lautan yang bergolak. Pertanyaan yang muncul sekarang, apakah peran itu mampu dimainkan oleh Charles III?
Di dalam negeri, setelah Inggris keluar dari Uni Eropa, muncul keinginan lebih kuat ketimbang sebelumnya dari Skotlandia serta Irlandia Utara untuk meninggalkan Kerajaan Inggris Raya. Tantangan ini akan lebih mudah dikelola jika pemimpin monarki menjalankan perannya secara pas. Dukungan terhadap kesatuan Inggris akan lebih besar dengan monarki yang dapat menjadi jangkar di tengah perubahan.
Pada saat yang sama, harus diakui, meski bersifat konstitusional sekalipun atau kekuasaannya sangat dibatasi, monarki tetap bisa dipandang ”tidak adil”, menyalahi prinsip bahwa siapa pun seharusnya dapat dipilih sebagai pemimpin negara. Hal ini tak pelak menambah tantangan yang tidak ringan bagi Charles III.