Kasus Sambo, Manipulasi dan Konstruksi Hukum
Mengapa para pelaku kasus pembunuhan Brigadir J mampu melakukan upaya manipulasi secara terstruktur dan sistematis? Manipulasi dan ”obstruction of justice” terjadi karena pelaku punya akses kuasa atas penanganan kasus.
It is in justice that the ordering of society is centered.
Aristoteles
Kasus kematian Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J memperoleh pemberitaan begitu luas dan menyita perhatian publik. Informasi awal yang disampaikan pihak kepolisian memicu kecurigaan dan pertanyaan bagi publik.
Narasi yang dibangun dan disampaikan ke publik tentang peristiwa ini sulit diterima nalar dan dicurigai telah terjadi manipulasi tentang fakta-fakta yang sesungguhnya.
Belakangan, pihak kepolisian meralat informasi sebelumnya dan menyajikan informasi yang berbeda tentang peristiwa kematian Brigadir J ini. Ada dugaan kematian terjadi karena pembunuhan yang melibatkan salah satu petinggi kepolisian: Irjen Ferdy Sambo.
Kasus dugaan pembunuhan ini menarik perhatian publik dan memperoleh liputan sangat masif dari beragam media, baik media cetak, elektronik, maupun media sosial. Kasus ini makin diperhatikan dan menjadi berita hangat karena terkait dengan siapa yang terlibat, tempat kejadian, bagaimana kejadiannya, mengapa peristiwa itu terjadi, bagaimana proses terjadinya peristiwa tersebut, latar belakang kejadian, bagaimana respons lembaga kepolisian, hingga implikasinya bagi lembaga kepolisian yang memiliki otoritas untuk menangani peristiwa ini sesuai dengan sistem hukum yang ada.
Baca juga : Kuasa Hukum Keluarga Brigadir J Siapkan Lagi Laporan Baru
Baca juga : Populernya Kasus Ferdy Sambo di Media Sosial
Selain kepolisian, ada juga lembaga lain yang terlibat dengan beragam cara, posisi, dan porsinya; Presiden; Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; DPR; Komnas HAM; Komnas Perempuan, LPSK; Kompolnas; LSM; dan tentu media massa.
Banyaknya liputan media atas kasus ini tampaknya juga menyuburkan munculnya beragam opini dan persepsi dari berbagai pihak dengan beragam latar belakang: pakar hukum, pakar psikologi, mantan penegak hukum, praktisi hukum, hingga masyarakat biasa, menyampaikan opini dan persepsinya di berbagai kesempatan dan beragam media.
Berbagai media meliput secara intensif dan berkelanjutan serta menyajikan kepada masyarakat. Pemberitaan yang begitu masif terhadap kasus pidana, khususnya dugaan pembunuhan, bukan hanya kali ini terjadi.
Didie SW
Kasus lain yang juga mendapat pemberitaan masif misalnya kasus yang melibatkan Jessica Kumala Wongso. Persidangan kasus dugaan pembunuhan terhadap Mirna yang diduga dengan menggunakan kopi sianida itu juga menjadi perhatian publik. Persidangan kasus ini bahkan ditayangkan secara langsung (live) oleh stasiun televisi.
Pemberitaan dan peliputan oleh media yang begitu luas terhadap suatu kasus hukum tidak hanya terjadi di Indonesia. Situasi serupa juga terjadi di negara lain. Di Amerika Serikat (AS) ada kasus OJ Simpson yang sangat terkenal. OJ Simpson adalah mantan pemain football atau sepak bola Amerika dan bintang Hollywood yang diadili karena didakwa membunuh mantan istrinya, Nicole Brown Simpson, dan Ronald Goldman pada tahun 1994.
Sidang pengadilan terhadap OJ Simpson dalam kasus ini menjadi perhatian publik AS dan menjadi fokus utama liputan media televisi, radio, dan seluruh koran di negara itu.
Kasus pidana ini mendapat sorotan luas dari media massa dan publik AS karena tersangka adalah mantan atlet berkulit hitam yang sangat berbakat dan bintang Hollywood. Setelah melalui pengadilan berkepanjangan, OJ Simpson dinyatakan tak bersalah dan dibebaskan pada 3 Oktober 1995.
Setelah melalui pengadilan berkepanjangan, OJ Simpson dinyatakan tak bersalah dan dibebaskan pada 3 Oktober 1995.
Di Afrika Selatan ada kasus hukum yang melibatkan Oscar Pistorius, atlet paralimpik yang mendapat pemberitaan luas dan menjadi perhatian dunia. Oscar dituduh terlibat dalam kasus pembunuhan kekasihnya, Reeva Steenkamp, seorang model. Awalnya Oscar Pistorius divonis tidak bersalah. Namun, dalam keputusan berikutnya, ia divonis bersalah dan dihukum enam tahun, dan akhirnya Mahkamah Agung menguatkan hukumannya menjadi 15 tahun penjara.
Sidang kasus ini tak hanya menjadi perhatian di Afrika Selatan, tetapi juga negara-negara sekitar Afrika dan Persemakmuran Inggris karena tersangka adalah atlet unggulan paralimpik yang banyak dikenal, sementara korban pembunuhan adalah seorang model.
Alibi dan manipulasi
Informasi lain yang juga menarik dari kasus Ferdy Sambo adalah adanya dugaan manipulasi untuk menciptakan alibi dan perbuatan yang mengarah pada upaya menghalangi penyidikan (obstruction of justice). Merujuk pada laporan yang dikeluarkan oleh Komnas HAM (1/9/2022), telah terjadi manipulasi terhadap fakta yang sesungguhnya dan mengarah pada terjadinya obstruction of justice dalam berbagai tindakan.
Memanipulasi fakta dan obstruction of justice dilakukan dengan beragam cara dan dapat dikatakan secara terstruktur dan sistematis, di antaranya membuat skenario dan mengonsolidasikan saksi; menyeragamkan kesaksian para saksi, baik mengenai latar belakang peristiwa, tempat kejadian perkara, maupun alibi.
Selain itu, menghapus atau menghilangkan sesuatu yang merugikan; upaya mengonsolidasi tempat kejadian perkara (TKP); mengubah lokasi TKP; perusakan, pengambilan, dan/ atau penghilangan dan penggantian barang bukti di TKP dan di sekitar TKP; penanganan TKP yang tak sesuai prosedur; pembiaran terhadap pihak-pihak yang tak memiliki otoritas untuk memasuki TKP; membuat narasi untuk mengaburkan fakta; memanipulasi laporan; membuat video guna menyesuaikan dengan skenario; penggunaan pengaruh jabatan; hingga perintah untuk membersihkan TKP.
Mengapa para pelaku mampu melakukan upaya manipulasi secara terstruktur dan sistematis?
Mengapa para pelaku mampu melakukan upaya manipulasi secara terstruktur dan sistematis? Tindakan manipulasi dan obstruction of justice secara terstruktur dan sistematis terjadi karena para pelaku memiliki akses dan kuasa terhadap penanganan kasus ini. Tanpa akses dan kuasa yang dimiliki, kecil peluang untuk melakukan manipulasi dan obstruction of justice secara terstruktur dan sistematis.
Muara perdebatan
Pada ujungnya, kasus pidana ini akan dibawa ke pengadilan dan diajukan kepada hakim untuk mendapatkan keputusan hukumnya. Semua perdebatan nantinya akan bermuara di lembaga peradilan. Hakim yang menyidangkan kasus inilah yang akan memberikan kata akhir atas beragam interpretasi atas peristiwa yang menyita perhatian publik ini.
Dalam konteks demikian, hakim yang bertugas memutus kasus ini harus berhadapan dengan para pihak yang terlibat dalam proses persidangan dan proses pembuktiannya. Di hadapan hakim akan tersaji konstruksi hukum, alat bukti, dan argumentasi yang diajukan penyidik dan penuntut umum berhadapan dengan konstruksi hukum, alat bukti, dan argumentasi versi terdakwa dan penasihat hukumnya. Di luar persidangan, terdapat opini dan persepsi pihak lain lagi.
Hakim akan membuat konstruksi hukum dan memutuskan apa dan bagaimana hukumnya berdasarkan otoritas dan kapasitas yang dimiliki. Hakim akan memverifikasi semua fakta yang tersaji di persidangan, menguji kesahihan semua fakta dan argumen, yang diajukan kepadanya. Apa yang dikonstruksi, dan apa yang diputuskan oleh hakim, bisa jadi tidak akan sama dengan apa yang selama ini dibicarakan, diketahui, dan diwacanakan oleh publik dan media. Seperti kata pepatah, ”Judges rule on the basis of law, not public opinion”.
Lembaga peradilan saat ini sangat diperhatikan publik, apa yang diputuskan diharapkan menjadi rujukan tentang standar sosial yang sahih. Hakim diharapkan menetapkan putusan yang mampu menjaga tertib sosial dan mencapai tujuan kemasyarakatan serta menjadi rujukan normatif ke depan.
Kepada hakimlah akhir dari semua sengketa hukum itu dipercayakan karena kita percaya ada rule of law di negara ini.
Hakim yang menyidangkan kasus ini harus mampu menguji semua fakta dan argumentasi dan menerapkan hukum dengan pemihakan yang jelas terhadap kebenaran, keadilan, dan kemanfaatan. Tugas yang berat, tetapi demikianlah, hakim berkewajiban memberikan perlindungan kepada masyarakat. Karena itu, mereka disebut ”Yang Mulia”.
Kepada hakimlah akhir dari semua sengketa hukum itu dipercayakan karena kita percaya ada rule of law di negara ini. Hakim diharapkan mampu menguji dan mengevaluasi semua fakta, serta memutus secara arif, dengan nalar dan nurani yang jernih. Jangan sampai, seluruh proses hukum yang ditempuh justru mengonfirmasi pernyataan Steven Magee: ”Corrupt governments run corrupt courts that protect corrupt cops”.
Sigit Riyanto, Dekan Emeritus dan Guru Besar Fakultas Hukum UGM