Ikhtiar Politik Masyarakat Adat di Panggung Elektoral 2024
Masyarakat adat terus terlibat dalam ruang demokrasi dengan melakukan berbagai iktiar politik. Misinya kerja politik tersebut untuk mengakhiri pengabaian, penindasan, dan pencamplokan kepada kehidupan masyarakat adat.
Oleh
ERNEST L TEREDI
·4 menit baca
Panggung politik elektoral di tahun 2024 semakin gencar dibicarakan. Percakapannya tentang aktor dan kekuatan partai. Pelbagai survei dipublikasikan oleh tiap-tiap lembaga. Perdebatan setiap faksi politik yang belum menentukan sikapnya menjadi bumbu untuk menambah riuh, renyahnya diskursus politik.
Ignasius Jaques Juru mengkritiki fenomena ini dengan sebutan audience democracy/demokrasi pemirsa (Kompas.id, 18/7/2022). Dalam kerangka demokrasi pemirsa, rakyat dipandang sebagai konsumen politik bagi produk politik yang dihasilkan para elite dan konsultan politik sehingga tak salah, yang substansial, penting, dan utama dalam percakapan politik terabaikan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Atmosfer politik demikian setidaknya telah membatalkan dua hal yang sifatnya resiprokal. Pertama, terkait isu-isu besar kebangsaan. Kedua, tema-tema kecil yang terpinggirkan dan dipinggirkan selama ini. Kalaupun dua hal ini dibicarakan, itu hanya terjadi dalam komunitas yang benar-benar menggelutinya. Katakanlah, intelektual dan aktivis.
Sungguh banal lanskap politik Indonesia. Demokrasi dilumat oleh aktor-aktor yang masing-masing mencari keuntungan. Imajinasi tentang manusia Indonesia dipinggirkan. Keadaan ini menjelaskan kepada publik bahwa waktu saja yang berjalan. Pikiran kepolitikan di dalam tubuh elite tak berkembang signifikan apalagi bertransformasi.
Politik keterlibatan
Situasi tersebut menghadirkan malaikat pembelah kegelapan. Dalam arti beberapa partikular politik mereaktivasikan identitasnya untuk terlibat dalam ruang demokrasi. Seperti masyarakat adat, membangun suatu haluan gerakan politik dengan terlibat penuh dalam urusan negara.
Keterlibatan tersebut menjadi penanda penting bagi demokrasi. Seperti yang dirumuskan oleh (Laclau dan Mouffe, 2008) bahwa demokrasi akan bermakna selama rakyat yang pasif diubah menjadi aktif. Dalam arti, secara sadar masyarakat adat menempatkan demokrasi sebagai ruang untuk memberi political demand, kontrol terhadap kebijakan publik dan semua urusan negara yang menyangkut kepentingan umum.
Misi kerja politik keterlibatan masyarakat adat sebagai manifestasi dari ikhtiar untuk mengakhiri pengabaian, penindasan, dan pencamplokan kepada kehidupan masyarakat adat.
Misi kerja politik keterlibatan masyarakat adat sebagai manifestasi dari ikhtiar untuk mengakhiri pengabaian, penindasan, dan pencamplokan kepada kehidupan masyarakat adat. Karena suka tidak suka, bahwasanya dalam konteks global dan mondial kemunculan politik masyarakat adat yang spesifik disebabkan terus bekerjanya nalar kolonialisme melalui berbagai institusi negara (Djalong, 2011).
Tercatat sejak kongres pertama di bawah nama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) tahun 1999, masyarakat adat secara kontinu melakukan dua hal, yakni advokasi dan politik praktis. Advokasi dengan melakukan pemberdayaan, pendidikan, kaderisasi, kursus, pemetaan wilayah adat, dan mendorong tingkat pemerintah provinsi dan kabupaten untuk membuat peraturan daerah (perda) tentang masyarakat adat. Baik itu sifatnya perda pengakuan, pengukuhan, ataupun dalam dimensi yang lain.
Kristalisasi lewat kerja politik tersebut berupa munculnya kesadaran secara imparsial pada setiap komunitas masyarakat adat. Di sisi lain adanya produk kebijakan, seperti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 (MK 35) yang menempatkan masyarakat adat sebagai ”penyandang hak” dan subyek hukum atas wilayahnya (Siscawati, 2014), serta berbagai perda telah sedikit mempermudahkan kerja dari gerakan politik masyarakat adat di berbagai wilayah.
Lalu, dalam dimensi politik elektoral, termutakhir masyarakat adat mengutus kadernya untuk ikut berkontestasi mulai dari pemilihan kepala desa (pilkades), pemilihan kepala daerah (pilkada), dan pemilihan umum (pemilu). Masyarakat adat juga mengurut kader untuk menempati posisi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu).
Data yang dirilis oleh AMAN tahun 2019, terdapat 163 orang maju sebagai caleg melalui 16 partai politik di semua tingkatan pencalonan, yaitu calon anggota DPD (6), calon anggota DPR (12), calon anggota DPRD provinsi (27), dan calon anggota DPRD kabupaten/kota (118). Mereka, teridiri dari 134 caleg laki-laki dan 29 caleg perempuan, menyebar di berbagai provinsi dan kabupaten kota. Dari jumlah itu, yang memenangi pertarungan politik elektoral tersebut sekitar 30 orang.
Jejak politik keterlibatan AMAN dapat dikategorikan signifikan dalam dimensi kuantitatif. Politik keterlibatan AMAN melalui advokasi dan ikut dalam pentas elektoral mampu membangun sikap kritis dan mereaktivasi subyek masyarakat adat dan juga mampu melahirkan kebijakan yang setidaknya berpihak kepada masyarakat adat (Teredi, 2021).
Meski demikian, ikhtiar politik masyarakat adat belumlah berakhir dan tidak akan pernah berakhir. Sebab, politik selalu berada dalam ketegangan tanpa akhir. Perjuangan politik masyarakat adat ke depan ialah dengan memperkuat dan memperkokohkan political demand melalui produksi kebijakan.
Salah satu perjuangan besar untuk konteks kebijakan ialah ihwal Undang-Undang Masyarakat Adat. Berbagai pejuang masyarakat adat sangat intens mendiskusikan dan menyuarakan untuk mempercepat penetapan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang sudah lama disuarakan. Kiranya hal ini terus disuarakan secara kontinu oleh berbagai kalangan pegiat masyarakat adat.
Di sisi lain, kerja politik akar rumput juga harus ditingkatkan dengan tujuan setiap partikular masyarakat adat semakin memiliki misi besar, sehingga selain mentereng dalam menyuarakan, maka kokoh secara fundasi juga adalah relasi resiprokal dalam ikhtiar politik masyarakat adat ke depan.
Ernest L Teredi, Peneliti Lembaga Terranusa Indonesia