Prediktor Koalisi Pilpres
Dibandingkan tiga pilpres terakhir, keadaan menjelang 2024 menghadirkan lebih banyak variabel yang tidak mudah diprediksi. Namun, di tengah ketidakpastian koalisi ada satu variabel pengunci, yaitu bakal calon dominan.
Para analis peta politik dalam pemilu hingga saat ini cenderung punya konsensus bahwa peta kompetisi Pemilihan Presiden 2024 masih cair. Pemilihan presiden masih anybody’s game.
Peta kompetisi akan tergambar lebih jelas kalau koalisi sudah terbentuk atau lebih mudah diduga.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Koalisi untuk pilpres harus mengandung dua unsur sekaligus, yaitu kecukupan ambang batas pencalonan presiden dan pasangan calon presiden beserta wakil presidennya. Sejauh ini belum ada satu pun bakal koalisi yang memenuhi dua unsur itu sekaligus.
Dibandingkan dengan tiga pilpres terakhir, keadaan menjelang 2024 menghadirkan lebih banyak variabel yang tidak mudah diprediksi. Variabel yang menjadi pengunci banyak variabel itu juga tidak tersedia menjelang 2024.
Di tahun 2009, 2014, dan 2019, ada variabel kunci, yaitu dominasi elektabilitas bakal calon presiden dan atau ada petahana yang populer sehingga mudah membaca peta koalisi. Kurang dari satu setengah tahun menjelang Pilpres 2024, kedua variabel pengunci ini tidak ada.
Dibandingkan dengan tiga pilpres terakhir, keadaan menjelang 2024 menghadirkan lebih banyak variabel yang tidak mudah diprediksi.
Ada minimal empat variabel utama yang dapat dipakai sebagai prediktor koalisi pilpres, yaitu regulasi ambang batas pencalonan presiden, peta dukungan publik yang tergambar dari elektabilitas bakal calon potensial, komunikasi atau interaksi antar partai, dan kemauan para pengambil keputusan di partai. Hanya satu dari empat prediktor ini yang sudah pasti (fixed), yaitu syarat ambang batas pencalonan presiden. Tiga yang lain, terutama yang ketiga dan keempat, masih belum tentu arahnya.
Arena dan dukungan publik
Arena atau lapangan untuk kompetisi pilpres tergantung pada pengaturan soal siapa yang berhak dinyatakan menang dan siapa kandidat yang boleh berkompetisi. Arena terkait dengan berapa lama waktu kompetisi dan pola pertarungan.
Ada dua ketentuan utama di sini. Pertama, konstitusi mengatur bahwa pilpres dilaksanakan dengan sistem dua putaran (run-off). Ada tidaknya putaran kedua tergantung pada apakah pasangan calon lebih dari dua atau tidak dan apakah ada pemenang di putaran pertama yang memperoleh lebih dari 50 persen suara dengan syarat ketersebaran suara sesuai ketentuan konstitusi.
Ketentuan kedua adalah ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). UU mengatur bahwa pasangan calon presiden hanya bisa diajukan oleh partai atau gabungan partai yang memiliki minimal 20 persen kursi DPR atau total perolehan suaranya dalam pemilu legislatif sebelumnya 25 persen.
Melihat konfigurasi jumlah kursi partai di DPR saat ini, maka maksimal dapat terbentuk empat koalisi. Berdasarkan pengalaman pemilu sebelumnya, minimal dapat terbentuk dua koalisi. Bila hanya terbentuk dua koalisi, pilpres akan berlangsung hanya satu putaran. Sejauh ini bakal koalisi lebih mengarah ke tiga atau empat koalisi dengan kemungkinan minimal ada dua kubu seperti 2014 dan 2019.
Ada potensi kubu PDI Perjuangan (PDI-P), kubu Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), dan kubu Gerindra bersama PKB. Tiga partai lagi, yaitu Nasdem, Demokrat, dan PKS, juga potensial membangun satu koalisi lagi.
Baca juga: Pemilih Ragu dan Konsolidasi Partai Politik
Ketentuan tentang arena adalah prediktor koalisi pilpres yang relatif paling pasti dibandingkan prediktor yang lain.
Berdasarkan variabel ketentuan tentang arena ini, peta sudah cukup jelas, tetapi sebatas kejelasan bahwa jumlah koalisi bisa dua, tiga, atau empat. Belum ada kejelasan yang lebih detail. Ketentuan tentang arena adalah prediktor koalisi pilpres yang relatif paling pasti dibandingkan prediktor yang lain.
Prediktor kedua adalah potensi elektabilitas capres yang menggambarkan aspirasi publik. Variabel kedua ini sebetulnya sudah cukup jelas. Dari semua jajak pendapat secara nasional dua tahun terakhir terlihat indikasi yang sangat jelas, dukungan publik diarahkan paling banyak ke tiga nama: Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan. Yang belum jelas adalah siapa cawapres yang paling cocok mendampingi setiap nama tersebut.
Aspirasi publik biasanya adalah prediktor kuat untuk memperkirakan siapa saja calon yang akan berkompetisi. Di negara demokrasi lainnya yang memiliki perhelatan pilpres, seperti Amerika Serikat, Brasil, atau Korea Selatan, dibolehkan adanya calon independen atau nonpartai, yang membuat dukungan publik menjadi prediktor kuat. Figur-figur yang cukup kuat dukungan publiknya biasanya akan maju baik lewat partai maupun sebagai independen.
Di Indonesia, karena tiket pencalonan hanya ada di partai politik, maka dukungan publik kepada bakal calon, apalagi yang tidak memiliki partai, atau tidak menjadi prioritas di partai, belum tentu menjadi jalan untuk diajukan sebagai capres atau cawapres. Maka, meski kita punya bayangan siapa yang diinginkan publik menjadi calon, peta pencalonan tetap belum jelas sampai partai-partai memutuskannya.
Interaksi antarpartai dan kemauan elite partai
Variabel ketiga adalah interaksi antarpartai. Ada dua ukuran di sini. Pertama, apakah partai tertentu memiliki alasan yang bersifat jangka panjang untuk dekat atau berkoalisi dengan suatu partai dibandingkan partai lainnya? Kedua, apakah partai tertentu memiliki halangan yang bersifat jangka panjang untuk dekat atau berkoalisi dengan suatu partai dibandingkan dengan partai lainnya?
Jawaban untuk kedua pertanyaan terkait variabel ini di Indonesia sama, yaitu tidak ada. Partai yang satu dengan partai yang lain tidak punya alasan kuat berjangka panjang untuk dekat/berkoalisi atau untuk tidak dekat/berkoalisi dengan partai lainnya. Yang punya halangan untuk berkoalisi hanya Demokrat dengan PDI-P dan PKS dengan PDI-P.
Selain itu, semua partai tidak punya alasan lebih kuat dibandingkan partai lainnya untuk saling berkoalisi satu sama lain. Ini berarti interaksi antarpartai bisa bersifat sangat cair dan bisa berubah-ubah seiring berjalannya waktu. Partai yang satu relatif bisa berkoalisi dengan partai mana pun.
Baca juga: Konstelasi Koalisi Dapat Berubah Pasca-pertemuan Puan-Prabowo
Karena itu, satu-satunya faktor yang membuat interaksi itu menjadi tetap adalah waktu. Bila waktu pendaftaran paslon capres sudah sangat dekat, barulah pilihan koalisi itu akan jelas. Ketika waktunya masih cukup panjang seperti sekarang ini (sekitar satu setengah tahun menjelang pendaftaran), pola koalisi belum akan terbentuk dengan cukup pasti. Variabel interaksi antar partai bersifat sulit ditebak dengan cukup pasti.
Yang keempat adalah kemauan elite atau pengambil keputusan di partai. Sama dengan interaksi antar partai, faktor ini tidak berdiri sendiri. Banyak faktor yang dipertimbangkan para elite partai, termasuk tiga variabel tadi. Karena hanya satu dari tiga variabel itu yang sudah pasti, maka faktor yang jadi pertimbangan para elite partai juga dapat berubah seiring berjalannya waktu.
Sebagai contoh, bila pengambil keputusan suatu partai tak berniat mencalonkan salah satu dari tiga nama yang populer, maka kalau dia ingin partainya dan calon dari partainya menang, keputusan dia mau tak mau harus mempertimbangkan juga apakah tak ada satu pun partai lain yang akan mencalonkan satu di antara tiga nama populer itu.
Kalau ada satu saja yang dicalonkan salah satu partai, potensi mengalahkannya lebih mungkin bila mencalonkan nama calon populer yang lain. Karena itu, mau tak mau dia akan mempertimbangkan juga salah satu dari nama yang populer tersebut.
Yang jadi tantangan adalah mungkin tiap partai berpikir dengan cara yang sama. Akibatnya, tidak ada yang berani mengumumkan calonnya lebih dulu secara lengkap (capres sekaligus cawapres). Maka, publik pun akan sulit memprediksi apa kemauan elite partai karena faktor yang bisa menjadi pertimbangannya juga potensial masih berubah hingga menjelang batas akhir waktu pendaftaran pasangan calon.
"The waiting game"
Di tengah ketidakpastian tiga dari empat prediktor koalisi pilpres tersebut, ada variabel yang bisa mengunci, yaitu keberadaan figur bakal calon yang dominan (misalnya dengan tingkat elektabilitas konsisten di atas 40 persen) atau adanya petahana yang populer dan sulit dikalahkan.
Tahun 2009 dan 2019 ada petahana yang populer sehingga koalisi pilpres lebih mudah diprediksi dan terbentuk. Di tahun 2014 tidak ada petahana, tetapi ada dua figur bakal calon yang dominan, yaitu Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Maka, koalisi pilpres ketika itu lebih mudah diprediksi juga.
Dalam waktu dekat, partai-partai akan terus bermanuver melakukan silaturahmi politik ke berbagai arah.
Menjelang Pilpres 2024, baik petahana maupun figur bakal calon yang dominan tak ada. Peluang suatu koalisi memenangi pilpres sangat tergantung pada pembentukan dan manuver koalisi lain. Yang lebih dulu mengumumkan koalisi lengkap akan memungkinkan partai lain membangun koalisi untuk antisipasi bila waktu masih tersedia.
Karena itu, sangat mungkin kita akan disuguhi permainan saling menunggu (the waiting game) antarpartai dan antarkoalisi potensial sampai waktu makin mepet ke batas akhir masa pendaftaran. Dalam waktu dekat, partai-partai akan terus bermanuver melakukan silaturahmi politik ke berbagai arah.
Djayadi Hanan, Dosen Ilmu Politik Universitas Islam Internasional Indonesia, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia